KEDAULATAN YANG TERGADAIKAN

"Dominasi Asing Mengancam Kedaulatan Bangsa Indonesia"

Dominasi Asing kian merajalela seluruh sektor sudah di ambil alih oleh swasta, kita di tuntut untuk bergerak maju namun keadaan membuat kita semakin terbelakang. Hal apa yang membuat demikian adanya ? Pertanyaan besar bagi kita semua. Periode ke periode sistem pemerintahan kita menawarkan solusi yang sistematis menangani kesenjangan sosial, namun di satu sisi periode tersebut malah menciptkan bentuk kejehatan yang tersistem, sebut saja Korupsi, Kolusi dan nepotisme (KKN), dalam situasi seperti ini negara telah kehilangan kendali dalam mengontrol serta mengawasi kelompok yg melakukan kejehatan tersebut yang di pandang sangat merugikan negara. ironinya lagi bahwa yang melakukan kejehatan yang menyensarakan rakyat tersebut di dominasi oleh mereka yang di percaya oleh rakyat untuk di jadikan sebagai perwakilan dan pemimpin untuk rakyat itu sendiri, baik dari lembaga legislatif maupun eksekutif. Akhir -akhir ini rakyat indonesia di perhadapkan dengan masalah yang begitu besar yang berkemungkinan akan mengancam kedaulatan bangsa indonesia. masalah yang menggerogoti bangsa indonesia saat ini ialah banyaknya dan masifnya Dominasi asing di berbagai sektor, mulai dari sektor kelautan, pertanian sampai pada sektor industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti air, tanah , minyak dan pangan telah di kuasai oleh Asing maupun swasta. Negara berpandangan bahwa dengan di serahkannya sebagian besar aset negara untuk di kelola oleh swasta maupin asing dapat memperbaiki ekonomi indonesia. sebagian rakyat indonesia sadar akan bahaya yang akan timbul dari kebijakan pemerintah tersebut, namun banyak pula yg terbungkam mulutnya untuk meneriakan perlawanan, bibir terasa seperti terjahit dengan rapat, badan terasa tertancap seperti paku, bagaikan paku yang berdiri tegak namun tak mampu berbuat apa-apa. banyak di antara kita tak sadar bahwa penguasa memiliki cara sehingga membuat kita seperti patung, salah satu di antaranya ialah melalui cara yang membuat kesadaran kita terbungkam seperti pemberian bantuan uang maupun pendanaan kepada kita dengan melalui berbagai macam program -program seperti program indonesia sehat, Program indonesia Pintar, dan program-program lainnya yang berjenis bantuan pendanaan. modus melalui program seperti ini telah membungkam kesadaran akan ketertindasan yang sebenarnya sedang berjalan di negeri Kita , kita tidak sadar kalau uang yang telah di berikan kepada kita melalui program bagi bagi uang tersebut merupakan utang atau pinjaman yang bersumber pada asing atau lembaga donor keuangan internasional sepwrti IMF, WB, WTO, MNc, dan lembaga-lembaga donor lainnya yang tidak cukup satu lembar kertas kalaupun di catat nama nama lembaga tersebut. Lembaga donor seperti IMF, WB, WTO, dan sejenisnya menjalankan modus operandinya dalam bentuk pemberian modal kepada negara berkembang seperti indonesia yang secara ekonomi masih lemah, dengan dalih membangun ekonomi negara berkembang. Pemberian Modal dengan pendanaan yang begitu besar tidak serta merta di berikan begitu saja, tanpa harus ada jaminan.
Penggusuran, perampasan hak atas tanah rakyat, reklamasi pantai yang di dominasi oleh segelintir pemodal, swasta, maupun asing merupakan jaminan yg di berikan Negara kepada pihak asing, dan jangan heran banyak rakyat indonesia yang harus kehilangan tanah dan tempat tinggal mereka, belum lagi sistem perpolitikan dan hukum kita yang di intervensi oleh asing sehingga produk kebijakan pemerintah yang di keluarkan selalu berpihak dan menguntungkan para Pemilik Modal (borjuasi) dan tidak selalu berpihak kepada rakyat kecil.

"Hukum dan perpolitikan bangsa kita telah tergadaikan oleh penguasa yang zolim, tidak lama lagi indonesia hanya tinggal nama dan indonesia hanya tinggal kenangan."

Bangkit melawan atau hilang selamanya!

Oleh:MUKHLIS PLANO* 
*Penulis adalah kader Front Perjuangan Pemuda Indonesia Kota Makassar

Perbudakan "Nilai" Dalam Pendidikan

Perbudakan ternyata tidak hanya dalam hal pemaksaan fisik saja, tapi bisa juga dalam hal mental atau pikiran. Perbudakan dalam KBBI berarti system yang membuat segolongan manusia dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja demi kepentingan golongan manusia lain. Dalam hal perbudakan fisik, yang dirampas adalah kebebasan untuk memilih apa yang harus mereka kerjakan menggunakan badan mereka, sedangkan perbudakan mental yang dirampas adalah hak untuk melakukan apapun yang diinginkan oleh manusia.
Begitu juga bagi para pelajar, pelajar di Indonesia dari tingkat SD sampai SMA masih mengalami perbudakan. Pelajar-pelajar saat ini sangat dibudaki oleh “Nilai”. Nilai yang tinggi menurut para pelajar dan orang tua saat ini adalah hal yang wajib didapat dan hal yang dijadikan patokan seberapa sukses pelajar tersebut dalam proses pembelajaran.
Pemikiran seperti itu akhirnya membuat pelajar rela melakukan apa saja demi mendapatkan nilai yang tinggi. Sehingga cara-cara curang pun banyak dilakukan oleh para siswa, cara-cara yang sering dilakukan contohnya mencontek, membuat catatan dan sebagainya. Ini dilakukan para siswa karena mereka takut kalau mereka tidak mendapatkan yang terbaik saat ujian, akan mendapatkan masa depan yang buruk.
Seperti halnya yang terjadi di sebuah SD, seorang guru terbukti menerima sejumlah uang dari orangtua murid agar anaknya mendapat nilai yang tinggi saat Try Out Ujian Nasional dan juga saat Ujian Nasional, pola yang dilakukan adalah memberikan soal yang akan diujikan sehari sebelumnya. Dan orangtua murid rela merogoh kocek yang dalam demi mendapatkan hasil nilai yang sempurna.
Hal ini tentu saja mencederai proses pendidikan di sekolah. Karena tujuan pendidikan sesungguhnya adalah seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire dan di amini oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu memanusiakan manusia. Lalu manusia mana yang dimanusiakan dengan proses pendidikan yang penuh kecurangan seperti itu? Selain itu, guru yang seharusnya sebagai penuntun siswa dalam belajar disini justru memberikan jalan bagi para siswa untuk berbuat curang dengan cara menjual nilai. Mungkin itu adalah satu dari banyaknya kasus yang terjadi di lingkungan Pendidikan Dasar, masih banyak sekali persoalan yang terjadi karena siswa diperbudak oleh “Nilai”.
Hal ini juga yang harus menjadi perhatian bagi orangtua murid. Yang perlu ditekankan adalah sekolah bukan tempat untuk memproduksi nilai di raport, tetapi proses belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Dari kasus-kasus yang ada membuktikan bahwa nilai raport yang selama ini diagung-agungkan ternyata tidak sesuai dengan nilai moral yang didapat oleh anak. Kejujuran digadaikan demi “Nilai” yang justru malah memperbudak siswa.
Lalu, jika kejadian ini terus berulang, kesalahannya terdapat dimana? Guru yang salah? Siswa yang salah? Atau memang dari awal system pendidikan kita yang salah? Mari sama-sama berpikir.

Liga Indonesia Bercanda

Diawali liga dengan carut marut, segala regulasi dirubah dan dikeluarkan dengan seenak jidat membuat liga Indonesia kali ini sangat tak karuan ditambah lagi dengan memilih anggota militer menjadi ketua di fedarasi yang memang sialan ini.

Entah memang sudah pada dasarnya di negara ini perputaran kapitalis nya yang sangat kuat entah juga semua orang tengah dilanda gelap harta. Ya, bukti kongritnya saat federasi dari awal liga sampai akhir liga sekarang selalu panen sanksi, pun begitu perputaran uangnya selalu kuat. Dari setiap klub saja hampir merogoh uang ratusan juta rupiah untuk membayar sanksi tersebut. Hal gila kan.

Tak hanya soal menyoal tentang uang dan sanksi, sering berubahnya regulasi pun banyak menjadi bahan dagelan para supporter di Indonesia, dari peraturan MP,U22 hingga pasal pasal yang selalu di labas oleh federasi disini.

Ditambahi di penghujung liga ini dimana Bhayangkara FC diplot sebagai kampiun liga lawak,meski dari segelintir anggota pssi masih mengelak, tapi kita bisa nyaksikan bahwa memang klub tersebut bakalan menjadi juaranya + dilaga akhir mendapatkan point ghoib karena dinyatakan menang Walk Out atas Mitra Kukar. Hahaha, sungguh terbahak bahak bukan kita melihat kejadian ini.

Dan satu lagi sebagai penutup, melihat satu cuitan di twitter ada hal menarik yang menjadi bahasan saya. Dia berkata "apakah kalian sadar bahwa kita sedang di adu domba oleh pssi, dimana supporter yang sudah berdamai menjadi musuhan lagi, dan yang musuhan semakin menjadi jadi, dan kita sebagai supporter hanya dijadikan sebagai alat menutupi kebusukan mereka" begitulah kira kira cuitan akun tersebut.

Mungkin, tahun depanpun tidak akan beda jauh dengan tahun tahun sebelumnya. Dimana para mafia sialan,investor dan segalanya yang ingin merusak sepakbola di negara ini semakin hancur.

FPPI MAKASSAR PERINGATI SUMPAH PEMUDA DENGAN AKSI, INI TUNTUTANNYA!

uluan Mahasiswa yang tergabung dalam  FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) Makassar telah melakukan unjuk rasa di  Jl Sultan Alauddin. Depan kampus 1 UIN Alauddin Makassar kemudian melanjutkan aksinya didepan Gedung DPRD Kota Makassar.

Adapun poin tuntutan kader FPPI Makassar tersebut adalah mencabut Perppu Ormas, Laksanakan Refoma Agraria, Nasionalisasi Aset Negara, Tolak APBN Pengamanan pilpres 19,2 T, Tuntaskan Pelanggaran HAM,  & Stop kriminalisasi Mahasiswa sekaligus Wujudkan Demokratisasi Kampus.

Dalam penyampaian orasinya massa menuntut tegas kepada pemerintah agar mencabut dan menghapus segala bentuk kebijakan yang tidak mendukung rakyat.

Pada, Sabtu (28/10/2017) di depan Kampus I, UIN Alauddin Makassar.
Jendral Lapangan, Anas dalam orasinya meminta pemerintah untuk tunduk & patuh pada keinginan rakyat.

"Kebebasan berserikat dan berkumpul dalam rangka mengawal serta mengontrol kebijakan pemerintah dapat terhambat dikarnakan produk kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, " kata Anas.

Mampus Kau Dikoyak-Koyak Ospek!

Hal Konyol Itu Bernama Ospek !

Akhirnya kita kembali dalam semester ganjil. Selesai sudah kegembiraan liburan dan kembali juga kita bersama di hadapan dosen- dosen galak itu.  Dimana tahun ajaran baru juga kembali bergulir di berbagai kampus. Tentu, hal ini gak luput dari dimulai nya melankolia dunia kuliah bagi ribuan mahasiswa yang baru saja diterima di perkuliahan ini.

Ciee, yang sekarang sudah jadi mahasiswa, bolehlah kalian berbangga. Karena sudah hampir berhasil merdeka dari sistem pendidikan yang kita tahu sangat memperbudak ini. Meski ya, naif juga jika berpikir bahwa kuliah sendiri itu tidak memperbudak. Tapi, bersyukurlah kalian tidak harus berkutat dengan seragam serta mata pelajaran yang tidak kalian sukai. Jadi, sesedikit bersyukur aja lah..

Aku sebagai mahasiswa butiran rinso yang sudah dijajah oleh tugas dan dosen selama satu tahun ini akan mulai membahas tentang sebuah ritual yang selalu diadakan kampus setiap tahun ajaran baru. Ya, ritual yang punya sebutan halus “pengenalan” agar terlihat lebih manusiawi. Permasalahannya apakah ritual tersebut masih perlu untuk dilestarikan dalam dunia kampus kita?

Akhir- akhir ini mulai banyak mahasiswa yang menggugat kampusnya sendiri dikarenakan sistem yang merugikan mahasiswa. Contoh saja adalah bagaimana bergulir sistem pembayaran UKT yang melilit leher banyak mahasiswa dikarenakan mahalnya harga yang harus dibayar untuk bisa belajar di dalam kampus. Penindasan ini tak hanya berhenti dalam bentuk UKT saja, melainkan juga lewat sebuah perubahan sistem yang dilakukan oleh pemerintah lewat kampus- kampus negerinya. Salah satunya adalah penetapan status Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH) yang sudah mulai ditetapkan di banyak kampus. Awalnya memang kebijakan- kebijakan ini terlihat baik dikarenakan akan membuat sistem pengajaran di kampus berjalan efektif. Namun, kenyataan yang terlihat malah jauh lebih menyedihkan. Pendidikan sekarang menjadi sebuah komoditas yang dijual oleh otoritas kampus untuk mencari keuntungan. Lihat saja, banyak dari mahasiswa yang mendapatkan UKT yang sangat mahal dan bahkan tidak wajar melihat kondisi keluarga mahasiswa tersebut.

Selain itu, birokrat kampus seakan tidak peduli dengan fasilitas pendidikan yang ada. Banyak gedung yang dibangun dengan kualitas seadanya, bahkan banyak juga yang terhenti pembangunannya. Unit Kegiatan Mahasiswa atau UKM-pun juga banyak yang kesulitan mendapatkan dana yang pantas untuk acara- acara yang mereka jalankan. Sehingga banyak dari mereka harus berusaha keras mencari dana agar acara mereka tetap lancar terlaksana. Malah, kampus  yang didukung oleh regulasi komersialisasi macam PTN- BH melakukan pemborosan dan memberikan jalan masuk untuk para pemodal kedalam kampus. Tak heran jika kantin kampus serta gedung- gedung fakultas sudah ada sponsor layaknya klub bola. Mereka juga turut mencari keuntungan dari kantong para mahasiswa yang sejatinya sudah dieksploitasi oleh regulasi dan institusi kampus.

Jadi, apa hubungannya ospek dengan berbagai fenomena mahasiswa yang menuntut hak yang dikebiri oleh kampusnya sendiri?

Ospek atau yang dikenal dengan pengenalan lingkungan kampus,PBAK, atau semacamnya ini menghabiskan dana yang tidak kecil dengan sementara sarana prasarana kampus yang begitu memprihatinkan. Jelas, acara megah sekelas ospek kampus itu tidak main- main dana nya. Kita semua sadar soal itu dan malah mengaminkan hal tersebut tetap terjadi. Saya berani fair jika adek- adek(kata-kata para kandayya) bisa berpikir lebih terbuka, merdeka, dan kritis dengan diadakan nya hal konyol sebesar itu. Namun nyatanya? Contoh saja apa yang saya liat dan alami di kampus sendiri adalah bagaimana perjuangan mahasiswa seakan dilupakan. Okelah jika lagu- lagu perjuangan seperti “DARAH JUANG” atau “Buruh Tani” seringkali dikumandangkan saat acara tersebut. Ditambah pula dengan pekikan “Hidup Mahasiswa ! dan Hidup Rakyat Indonesia” yang dilakukan oleh pejabat- pejabat organisasi pemerintahan mahasiswa dengan muka penuh sangar seakan ketika memekikan jargon tersebut kemenangan revolusi sudah didepan mata. Cuman ya, maaf nih. Semua itu sebatas pemanis saja. Jadi, saya yakin ditelinga para maba hanya akan terdengar sebagai sebuah identitas manis agar keliatan keren aja. Toh juga gak menutup kemungkinan jika banyak yang merasa terpaksa ketika disuruh meneriakkan atau menyanyikan itu akibat tubuh dan pikiran yang sudah lelah setelah ceramah berbagai orang penting dan teriakan- teriakan korlap yang ga jauh beda sama Satpol PP.

Yang perlu saya soroti lagi adalah bagaimana ritual ini mengenalkan isi kampus sebagai tempat yang gitu- gitu aja. Konten yang diperkenalkan bukanlah mengenai pergerakan mahasiswa atau bagaimana perjuangan mahasiswa yang menuntut akan hak- hak mereka. Melainkan malah hanya memperkenalkan kampus tersebut dengan sederetan prestasi yang tiada habisnya. Saya menggunakan kata “hanya” karena wacana yang coba disampaikan serasa tidak komplit. Cobalah kita memperkenalkan secara seimbang antara prestasi dan pergerakan. Sembari beromong kosong ria soal jumlah medali dan penemuan, konten acara bisa bicara banyak soal kampus tersebut punya sejarah dalam berjuang bersama rakyat yang tertindas. Bisalah kawan-kawan baru kita ini  diperkenalkan soal lulusan- lulusannya yang pernah berjuang atas nama melawan penindasan.. Meski terkesan romantisme belaka, bagiku sendiri ga ada salahnya untuk sedikit mengintip alimni nya buat menambah pengetahuan dan belajar soal perjuangannya dulu. Ketimbang dicekokin prestasi terus sampai mampus, memang dikira mahasiswa itu tujuan nya jadi buruh penghasil prestasi untuk kampusnya?

Lalu kita kembali pada hal yang sering kita saksikan fenomena senior-junior. Disini yang senior merasa bahwa dia adalah pahlawan kesiangan yang tahu akan segala hal mengenai dunia kampus dan mungkin ialah yang paling berhak dalam memberikan wejangan dan cerita nabi- nabi kepada dinda-dinda nya sambil mencoba menjalin romantisme. Lalu dalam sistem hirarki pendidikan kita yang feodalistik ini, mahasiswa baru dianggap seperti barang atau komoditas yang perlu dipoles lagi agar lebih kece di kampus nya. Dengan simbolisasi pakaian hitam putih yang gak jelas apalagi sampai ngurus- ngurus masalah rambut. Mereka ini diposisikan sebagai manusia yang tidak mengerti apa- apa dan hanya ikut pada jalan yang ada. Adakah titik resistensi disana?

Sepengetahuanku, banyak juga mahasiswa baru kita yang jauh lebih jenius dan bahkan lebih kritis ketimbang kakak- kakaknya yang sudah terkena sindrom ketertundukkan. Namun karena sistem pendidikan kita masih menganut “bahwa yang tua adalah segalanya” maka tidak heran jika maba ini tidak diberikan ruang agar ia bisa bersuara. Banyak cara untuk mematikan hal tersebut. Bisa lewat peminggiran sosial dengan sistem angkatan yang harus “solid dan satu”. Atau malah yang lebih
bar-bar lagi adalah penggunaan emosi dan tekanan fisik pada sang maba.

Hal konyol diatas ini bagiku sendiri hanyalah sebuah kontrol atas tubuh belaka agar mahasiswa yang sadar bahwa dunia ini tidak baik- baik saja makin minor jumlahnya. Lebih baik kampus mengembangbiakkan mahasiswa yang suka jadi Event Organizer atau pengusaha peralatan ospek ketimbang mereka yang melihat realita dengan kesadaran kritis. Yang ada cuma bikin rektorat pusing terus! Kadang saya juga miris melihat pengabdian hanya diartikan sebagai penelitian sambil memberi bantuan tanpa mencoba benar- benar menganalisa masalah atau seminimalnya ya coba berikan solusi gitu. Tidak usah lah berpikir luas bahwa pengabdian atas nama kemanusiaan itu hanya untuk masyarakat luar kampus saja. Coba tengok lingkunganmu. Adakah dari mereka yang terancam tidak bisa kuliah karena tak punya uang? Adakah pedagang kantin kampus yang terancam digusur? Adakah Ospek yang mengajarkan seperti itu? Jika ada saya berani yang paling terdepan untuk mengapresiasi. Karena disanalah seharusnya mahasiswa berdiri.  Manusia berlabel mahasiswa itu adalah kemewahan bagi spesiesnya. Mahasiswa memiliki akses lebih dalam ilmu pengetahuan yang nantinya akan membentuk kerangka berpikir dalam memecahkan masalah. Dan sekarang tinggal pilihan kita aja mau jadi mahasiswa kaya apa, Membiarkan pembodohan dan perbudakan ini berlanjut atau hanya diam saja?

Mampus kau dikoyak-koyak ospek !

MATINYA KAMPUS

Mendambakan Tempat belajar nyaman adalah impian manusia yang memiliki semangat untuk melepaskan diri dari belenggu pemikiran setelah, berabad-abad lamanya manusia direndahkan dan dihinakan oleh suatu legitimasi atas tafsir kebenaran tunggal raja dan agama. Dorongan lahiriah manusia sebagai homo sapiens membentuk sejarah dialektika manusia, atas keadaan yang membentuk kesadaran objektif dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan derajat kehidupan masyarakat.

Perkembangan pengetahuan yang sangat pesat tersebut, merupakan buah dari perjuangan panjang masyarakat dunia dalam sederetan aksi membangun peradaban yang maju. Salah satu tempat terjadinya proses dialektika tersebut berada di kampus, tokoh dunia serta pemikiran fundamental dan eksentrik yang diperoleh dan dirumuskan dalam kampus telah mempengaruhi dinamika peradaban manusia sampai detik ini. Kampus telah hadir dengan irama yang menggetarkan hati setiap orang yang memiliki naluri revolusioner untuk ikut serta “bermetamorfosis” dalam setiap perubahan yang dihasilkan oleh kampus.
Sejarah telah menyuguhkan berbagai pengalaman Mahaguru, lewat usaha mereka mendirikan kampus sebagai tempat untuk mentransformasikan pengetahuan dan seluruh konsep tentang manusia yang “merdeka”. Merdeka dalam menentukan pemikiran, merdeka dalam melakukan tindakan dan merdeka atas dirinya sendiri dalam berfikir dan bertindak.

Kampus menjadi medan juang bagi musafir yang ingin menata hidupnya dengan pengetahuan yang akan menaikkan derajatnya kelak. Pengetahuan; teori yang  beredar di sekolah dan perguruan tinggi haruslah menjadi corong untuk memecahkan persoalan masyarakat bukan malah menjadi trouble maker atas penderitaan rakyat.Menceburkan diri ke dalam dunia pendidikan seperti menyelami lautan dalam yang tiada ujung untuk mendapatkan sekelumit pengetahuan berharga tiada tandingan. Namun pada suatu kondisi, ketika sikap hidup yang “miskin kesadaran objektif atas keadaan orang lain”, maka pengetahuan bisa berubah menjadi buah simalaka buat jiwa yang tak bersalah atau cikal bakal “revolusi” demi kesejahteraan rakyat suatu bangsa.

Matinya kampus, bukanlah sekedar metafora yang ingin mengerakkan ribuan hingga jutaan orang mengambil barisannya di jalan raya, serta meneriakkan ketidakadilan. Namun sebuah refleksi; apakah akal budi yang diberikan oleh tuhan diperuntukan merampas hak orang lain?. Yah !, pertanyaan sederhana yang akan diabaikan oleh mereka dengan label “Mahaguru” dalam dunia kampus penuh pergulatan kotor para pemikir yang “sok idealis” seolah ingin memajukan peradaban.

Kenapa hal tersebut perlu diutarakan dalam tulisan ini karena sudah cukup banyak “penghuni kampus” dengan pengetahuan yang menyebabkan rakyat semakin melarat. Program SDGs (suistanble development goals); pembangungan berkelanjutan di masa pemerintahan Jokowi-JK, telah melakukan kerjasama dengan berbagai kampus unggulan Indonesia untuk melakukan pembangunan infrasturktur tanpa melihat secara objektif kebutuhan masyarakat terhadap pembangunan tersebut. Sederhananya beberapa kasus yang hari ini dapat kita lihat tentang rencana pembangunan yang ditopang pengetahuan mapan dan digunakan untuk merampas kesejahteraan rakyat.

Reklamasi pesisir Makassar, reklamasi teluk benoa bali, pengerukan gunung kendeng untuk dijadikan sumber semen dan beberapa lagi program pembangunan yang juga secara tegas mendapat penolakan masyarakat karena pembangunan tersebut dianggap warga tidak memberikan kesejahteraan untuk mereka kelak. Ironinya untuk menyatakan bahwa pembangunan CPI (central pointIndonesia) dipesisir Makassar layak dan tidak merusak lingkungan, maka diutuslah beberapa tenaga ahli lingkungan dari Universitas Hasanudin untuk melakukan riset untuk memperkuat izin bahwa reklamasi pesisir Makassar bisadilakukan.

Penolakan warga terhadap tindakan kampus yang menjadikan pengetahuan suatu hal yang orientasi profit membuat kesal banyak warga diberbagai daerah di Indonesia. Seperti yang kita saksikan di beberapa media berita, dimana masyarakat sekitar gunung kendeng yang  melakukan aksi di depan Universitas Gajah Mada karena sikap kampus yang telah melegitimasi upaya dari pabrik semen tiga roda untuk melakukan pengerukan secara leluasa di daerah pemukiman warga gunung kendeng. Tak hanya itu, kampus ternama lainnya yakni Institut Pertanian Bogor  Juga telah mendatangkan kekecewaan bagi  warga, terlihat dari  puluhan warga yang bekerja sebagai tukang ojek melakukan aksi demonstrasi sebagai respon atas  kebijkan kampus yang melarang adanya kegiatan ojek di dalam kampus. Hal ini sangat membuat kesal para warga, khususnya para ojek yang menyatakan bahwa sumber penghasilan mereka didapatkan dari ojek di dalam kampus.

Matinya kampus tidak seutuhnya disebabakan “kecelakaan berfikir” oleh pimpinan kampus semata  namun di kalangan mahasiswa juga demikian. Tradisi ilmiah dalam kampus secara signifikan mengalami kemunduran, serta mempengaruhi pergerakan beberapa tahun terakhir ini. Mahasiswa yang seharusnya punya sikap “politik” terhadap perubahan sosial dengan “pisau analisis yang tajam” dan, secara objektif bisa menyimpulkan langkah baru yang dapat menginspirasi kembali massifnya gerakan yang akan datang untuk menghancurkan 3 musuh rakyat yaitu Imperialisme , feodalisme, dan kapitalisme birokrat.

Kekeliruan dalam mengenal siapa musuh rakyat di dalam kampus berefek kepada banyaknya permusuhan di kalangan mahasiswa. Hal ini bersumber dari berbagai permasalahan yang dianggap sepele, seperti perbedaan ideologi organisasi, dan berbeda suku. Namun tiga tahun terakhir ini, krisis identitas benar-benar melanda mahasiswa. Pertarungan gagasan dan ide diabaikan dan watak barbar telah menjadi ciri khas bagi mahasiswa diajang demokrasi. Keadaan tersebut sangat menguntungkan bagi kelompok “liberal” dari kalangan mahasiswa untuk berafiliasi bersama kapitalis birokrat kampus secara perlahan-lahan, dengan cara menempatkan “kaki tangan birokrasi di kursi-kursi vital” organisasi kemahasiswaan.

Kurangnya evaluasi mengakibatkan tidak adanya otokritik terhadap langkah yang diambil oleh mahasiswa. Mengandalkan kemampuan retorika semata adalah hal konyol tanpa data dan fakta serta win-win solution untuk menaikkan lagi derajat mahasiswa dalam tatanan sosial masyarakat yang lebih luas.       

Pengetahuan menjadi ancaman bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.Masihkah pantas kampus dijadikan tempat untuk mendapatkan pengetahuan yang akan diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat di Negara ini? Dunia kampus juga telah menjadi donimasi para pemikir (sofis), yang hanya bisa berceloteh menyatakan bahwa “kita sedang sekarat” namun, tak memiliki satu pun aksi yang lengkap dengan gagasan dinamis untuk merubah kampus menjadi benteng pertahanan rakyat. 

Seandainya Hatta Ada

Andaikata Mohammad Hatta masih ada, hari kemerdekaan 17 Agustus ini,  dirinya mungkin saja didaulat untuk berkisah seputar kejadian bersejarah tersebut. Lebih penasaran lagi, apa kiranya nasehat sosok proklamator itu untuk kehidupan kini?
Paling tidak, bagi siapapun yang telah membaca Memoar Hatta, kehidupannya kontras dengan kehidupan enak para elit dewasa ini. Karena itu, bagaimana kalau si Bung itu diminta saja mengomeli para elit.
Ya, politik hari ini terlalu gaduh. Sialnya, banyak urusan rakyat kecil jadi terlantar. Biarlah Hatta menjawil telinga para elit. Sembari berkata-kata, “Hei, hidup kalian sudah terlalu mewah!”
Hari ini, tak satupun elit politik-- yang pastinya mengepalai gerbong partai-- adalah orang-orang pergerakan dengan hidup penuh keterbatasan. Hatta, meski tergolong dari keluarga saudagar-agamawan,  kehidupannya sederhana.
Elit yang sekarang berada di panggung petarungan politik nasional merupakan keturunan, anak-cucu, para kemenakan bekas petinggi, pejabat, ataupun konglomerat. Untuk sekadar sekolah ke luar negeri, mereka tak perlu repot-repot memburu beasiswa atau utang sana-sini. Mereka sudah diberkati dengan pendana yang pasti.
Hingga menjabat Wakil Presiden RI Pertama, Hatta masih meninggalkan utang sekolah f6.000 (gulden). Sekelas wapres mencicil pokok utang dan bunga. Utang itu baru terlunasi seluruhnya pada 1950.
Begitupun Sjahrir, Tan Malaka, atau Semaun sekalipun. Mereka harus pontang-panting menutup utang akibat ongkos studi ataupun hidup sebagai pelarian/buangan. Maklum, dunia pergerakan bukan “tiket” hidup gratis, para tokoh tersebut harus tetap bekerja dan memikirkan urusan dompet.
Cobalah lihat sekarang. Elit mana yang nasibnya mengenaskan serupa mereka. Prabowo, Bakrie, JK, Harytanoe, SBY, Megawati, atau Jokowi? Jawabnya tak satupun.
Tan Malaka, hingga kembali ke Tanah Air kali pertama setelah studi di Belanda pada 1919, dirinya harus bekerja mengajar di perkebunan Deli, Sumatra Utara. Hasil kerja itu untuk menutup utang kepada sang guru Horensma dan Engku Fonds di kampung halaman.
Lebih lucu lagi, para tokoh itu tak menjadikan kedudukan--untuk yang sempat-- sebagai garansi pengganti utang pribadi. Ehm, kalau para anggota dewan yang terhormat generasi sekarang, para pucuk pimpinan partai, hingga para pejabat di daerah, mungkin mengejar kekuasaan untuk tidak saja melunasi utang, peluang bisnis dan profit pun disabet.
Tak percaya? Bolehlah menjembreng sekian banyak kasus dari sayap bisnis para penguasa itu yang pada akhirnya dibebankan ke negara lewat APBN. Lapindo salah satunya saja, atau mungkin nanti utang Harytanoe. Toh, diam-diam banyak yang menyambi sebagi pelayan mesin uang dan aset partikelir milik pengusaha yang mendomplengi anggaran ataupun program negara.
Kontras dengan Hatta. Terbukti dengan mencicil utang hingga selang beberapa tahun menjabat orang nomor dua di republik ini, gaji Hatta mungkin minim pada waktu itu. Sederhananya tak sebesar gaji ataupun tunjangan pensiunan jenderal seperti Prabowo yang mampu membangun kediaman tak ubahnya istana di Hambalang, atau SBY di Cikeas sana.
Kebiasaan
Kebiasaan atau hobi Hatta mengoleksi buku. Bahkan saat dibuang ke Boven Digul, terdapat belasan peti berisi buku bacaan yang ikut diboyong. Selain kutu buku, kebiasaan Hatta yang patut dicatut bagi para elit kini, adalah taat asas, terutama perihal waktu.
Kalau ada lomba kehadiran tepat waktu, Hatta di antara kawan pergerakan lainnya selalu nomor satu. Untuk urusan membagi waktu dan ketertiban hidup, duet maut Soekarno itu telah terbiasa sejak belia.
Tiap hari, Hatta hampir selalu menaati jadwal harian yang dibuat. Mulai dari jam bangun pagi, sholat, lari pagi, belajar, kuliah, hingga kumpul rapat dan diskusi. Pada detik jelang proklamasi sekalipun Hatta tak menginap di rumah Soekarno, saat waktu yang dijanjikan berkumpul pukul tujuh kurang lima menit, dirinya telah muncul.
Dari satu pelajaran dagang, Hatta berkesempatan dan lulus memuaskan dalam studi lain, hukum internasional dan ekonomi politik. Berlembar karangan pun dibuat untuk koran Neratja di Batavia. Berjilid-jilid Daulat Rakyat, media milik PNI, dibesut Hatta.
Dari sana tak ada yang sia-sia. Konsepsi demokrasi pancasila, demokrasi ekonomi dalam wujud koperasi, merupakan buah pikiran Hatta yang dapat  memandu jalan republik muda.
Kalau untuk elit masa kini, Hatta mungkin berucap “Kalian itu sontoloyo. Apa yang harus dikerjakan, ditinggalkan. Apa yang bukan urusan, kalian recoki!”
Kerja para elit sekadar lobi-lobi politik, main golf. Memikirkan nasib bangsa? Serahkan saja pada tim ahli yang juga mendapat gaji negara.
Tim ahli inilah yang menyedot banyak biaya dan anggaran. Bahkan sekelas riset-riset kementerian, boleh dicek, banyak digarap para vendor. Atau malah untuk lembar akademik dikaji oleh lembaga think tank dari luar yang mengongkosi pagelaran dagelan politik.
Tak pelak, kehidupan politik tak lagi substansial, terasa gersang karena saking banyaknya debat kusir di televisi atau saling serang di media sosial. Untuk sekadar “sama” dengan rakyat yang dianggap mereka wakili, para elit itu susah payah bersandiwara naik becak, pokoknya memasang tampang susah.
Mereka minim imaji, cenderung menghindari polemik yang konseptual. Satu-satunya bakat yaitu mengumbar kenyinyiran. Tak perlu menelanjangi bukti kemampuan para elit yang hanya bisa memamerkan kenyinyiran; mulai dari SBY, Prabowo, Jokowi, JK, Mega, hingga Amien Rais.
Dulu, kehidupan antar insan gerakan tak begini. Hatta versus Soekarno, Tan Malaka versus Soekarno-Hatta, Sjahrir versus Soekarno, atau Semaun-Darsono versus Agus Salim. Semuanya berbalas melalui kolom artikel yang panjang-panjang.
Koran Persatuan Indonesia pernah menyerang pendirian Hatta terkait undangan menjadi calon wakil majelis rendah di Belanda. Hatta, lewat Daulat Rakyat pun menangkis dan menyerang balik Soekarno-Partindo.
Keduanya jelas terlihat mengadu konsep terkait subjek politik non koperatif terhadap Kolonial Belanda. Kedua kubu berlandaskan argumentasi yang kuat. Khusus polemik tersebut, keduanya memberikan acuan dan paradigma politik non-kooperatif.
Dari polemik, publik mendapat wawasan baru terkait garis politik, pengetahuan sejarah, serta paradigma yang dibangun kedua kubu. Tentu, tidak seperti sekarang.
Dari ragam sosial media yang tersedia, para elit hanya bisa menelorkan sumpah serapah dan saling nyinyir. Sialnya, mereka-mereka itulah yang dijadikan kiblat bagi kehidupan politik seluruh lapisan masyarakat. Apa boleh buat, Hatta dan generasinya telah tiada.
(Disarikan dari Memoar Hatta)

ANTONIO GRAMSCI, SEPOTONG KRITIK

Gramsci melihat bahwa faktor ekonomi bukanlah satu-satunya keniscayaan prasyarat revolusi, melainkan hanya salah satu kondisi dan terdapat kompleksitas lain termasuk masalah kultural, intelektual, dan moral yang perlu dianalisis. Berbeda dengan pandangan Marx yang hanya memandang sekedar sebagai ranah ekonomis, tetapi sebagai ajang kontestasi dan perjuangan memenangkan hegemoni. Gramsci mengartikan bahwa banyak faktor-faktor lainnya dalam pembentukan kelas-kelas yang terjadi di dalam masyarakat, sebagai contoh misalnya selain kelas yang dibedakan dari sudut pandang ekonomi yaitu dalam masalah kultural, misal adanya perbedaan kebudayaan, agama, ataupun kebiasaan antara daerah yang satu dengan lainnya, hal ini tentu saja sangat rentan dalam terciptanya konflik. Pendapat Gramsci ini juga dikuatkan oleh pemikiran Georg Lukacs yang mengingatkan kita pada gerak dan perhitungan dalam matematika dapat memiliki kemungkinan irasional. Sehingga kita tidak dapat bergantung hanya pada kemungkinan yang positivistik semata. Dibandingkan pemikiran Marx, apa yang diutarakan oleh Gramsci merupakan suatu jawaban yang multidimensi.

Kaum borjuis membuat kaum proletar harus membayar mahal atas kesalahan-kesalahan mereka, kelemahan yang ditunjukkan mereka karena rasa takut. Kaum Borjuis sendiri tidak pernah terpecah, tidak pernah menunjukkan  rasa takut dalam menyerang, dalam bereaksi terhadap serangan-serangan yang dilancarkan terhadap dirinya. Kaum borjuis menurut Gramsci memiliki kekuatan yang memadai untuk memberikan sebuah solusi terhadap kelas buruh. Kelas buruh tidak dapat sendiri, mereka tidak tahu bagaimana merebut kekuasaan dan menggulingkan musuh-musuhnya tanpa pendidikan atau pengalaman mereka. Tidak seperti kaum borjuis yang memiliki kesempatan untuk menyadari, memiliki waktu untuk menganalisa dan merancang gerakan bersama. Katakanlah di Indonesia, kaum borjuis yang sering diumpamakan sebagai pemilik modal ataupun pemilik perusahaan tidak takut akan serangan yang dilancarkan oleh gerakan dari para kaum buruh ataupun masyarakat miskin ataupun kaum proletar, penguasa dapat dengan mudah memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang terjadi, mereka dapat mengatur hukum dengan uang mereka dan bekerja sama dengan pihak pemerintah untuk memenangkan suatu perkara.

Gramsci memperhitungkan faktor afeksitas, relasi spiritual, retorik dan aturan sosial yang dinegosiasikan bahkan dalam konflik kepentingan dan ideologi. Dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi diperlukan adanya negosiasi antara pihak yang berkonflik, agar permasalah dapat diselesaikan. Gramsci meletakkan kekuasaan (power) tidak sekedar di dalam superstruktur bernama negara melainkan menyediakan sebuah lahan kontestasi kekuatan dalam pemilihannya akan civil society. Apa yang dapat dikritisi kembali pada pemikiran Gramsci adalah bagaimana kemudian kontestasi dapat terbentuk dalam konteks masyarakat kapitalis individualistis yang pada masa ini.

BERGURULAH PADA PETANI

[BERGURULAH KEPADA PETANI]

Selalu ada hal menarik ketika mengamati kehidupan para petani. Petani adalah salah satu guru kehidupan terbaik. Di setiap langkah hidupnya ada pelajaran yang bisa dipetik untuk cermin berkaca bagi siapapun. Salah satunya, petani adalah simbol keiklasan dan ketulusan dalam menjalankan profesi. Jutaan petani rela bersimbah peluh, berlepotan lumpur sawah, berjemur ditengah terik matahari untuk menanam dan memelihara tanaman di sawah dan ladangnya. Tidak ada sedikitpun rasa enggan dan malas ketika harus terjun ke sawah di pagi buta, menyiangi tanaman di siang hari, dan memupuk di sore hari. Tidak ada sedikitpun keluhan ketika harus berburu tikus yang menyerang lahan tanamnya, atau menyemprot pestisida karena tanaman padinya diserbu wereng.

Keiklasan dan ketulusan itu makin tampak ketika mereka harus melepas hasil panen untuk dijual ke pasar atau tengkulak. Tidak pernah ada pernyataan keluar dari bibir mereka bahwa kerja keras merekah yang telah menghidupi jutaan warga negeri ini. Para petani padi tidak pernah berpikir bahwa merekalah yang telah memberi makan jutaan penduduk negeri ini dengan beras yang pulen dan wangi. Para petani buah dan sayuran juga tidak pernah merasa bahwa merekalah yang telah menyehatkan jutaan warga negeri ini. Bahkan mereka juga iklas dan tulus menerima nasib ketika dipaksa menerima harga murah hasil panen mereka.

Lebih dari itu, pada sosok petani kita bisa berguru tentang alur kehidupan yang lurus, jujur, dan berjalan apa adanya. Tidak ada kepalsuan, jalan pintas, sogok menyogok, apalagi korupsi pada diri petani sejati. Sejak awal tanam, mereka harus mengolah tanah lebih dulu, menyiapkan saluran air, membeli benih, menanam, menjaga dan memelihara, baru kemudian memanen. Tahapan itu harus dilalui dengan konsisten, tanpa ada celah untuk mengambil jalan pintas. Tidak mungkin menanam tanpa mencangkul terlebih dahulu, dan juga tidak mungkin memanen tanpa menanam, memelihara dan menjaga dari serangan hama dan penyakit. Alur itu harus mereka lalui dengan sabar dan kerja keras, disertai doa penuh harapan.

Oleh karena itu, kita juga bisa belajar tentang kesabaran kepada para petani. Sabar yang bukan berarti kepasrahan, tetapi kesabaran yang dibalut dengan energi ikhtiar dan kerja keras, serta tidak pernah lepas dari doa dan harapan. Lihat saja, para petani padi sabar menunggu panen hingga tiga bulan lebih, dan dalam menunggu itu mereka tidak pernah diam. Mereka harus berjuang memelihara dan menjaga agar tanaman padi mereka tumbuh subur, menghasilkan bulir padi yang padat dan bernas, serta dipanen dengan hasil melimpah. Mereka adalah simbol kesabaran dalam menyikapi dan menyiasati kehidupan.

Petani adalah guru kehidupan sejati. Selamat menanam dan berjuang hingga masa panen nanti.

Dirgahayu Tan Malaka

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun).
Seorang luar biasa yang diberi julukan "Bapak Republik Indonesia" oleh Mohammad Yamin dan bahkan dianggap oleh sebagian kalangan sebagai the true founding father of Indonesia. Perjuangan panjangnya bagi negeri ini dari mulai Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, keliling pulau Jawa, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa (Moscow), Xiamen (Amoy), Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang.
Selamat ulang tahun ke-120 Tan Malaka (2 Juni 2017), semoga generasi Indonesia ke depannya dapat mewujudkan impian beliau untuk membangun masyarakat yang berpikir secara kritis, logis, rasional, dan mampu berdialog secara sehat. Merdeka 100%!

"Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, bumi dan bintang sebagai benda, ya, "engkau" sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau",kata hume, cuma "ide" buat saya.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya diri sendiri, mengakui, bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada."
Tan Malaka, Madilog (bab 2 filsafat - halaman 35)

"Revolusi Indonesia, bukanlah Revolusi Nasional semata-mata seperti diciptakan beberapa gelintir orang Indonesia, yang maksudnya cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja, dan bersiap sedia menyerahkan semua sumber pencaharian yang terpenting kepada bangsa Asing, baik musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia, mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100%. Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkusi dengan revolusi-nasional saja. Perang kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus."
Tan Malaka, Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi

DISORIENTASI PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA

Pertanian Indonesia tidak akan pernah terpisah dengan perdesaan sampai kapanpun karena pertanian merupakan taqdir bagi nusantara termasuk pembangunan ke depan. Namun disayngkan pertanian dan perdesaan identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan, sehingga jika bicara soal kemiskinan dan pengangguran identik dengan karakter sosial ekonomi perdesaan. Bahkan lebih dari itu perdesaan disebut sebagai beban negara dan pembangunan dalam setiap etape kepemimpinan/kepresidenan. Perdesaan selalu menjadi bahan diskusi, studi, perbincangan diberbagai forum baik nasional dan internasional, seolah perdesaan menjadi biang dan beban dari pembangunan sepanjang masa.

Tentu ini menarik untuk menjadi pemikiran sekaligus mengeluarkan terobosan berbagai pihak khususnya pemerintah dalam upaya menjadikan perdesaan sebagai sumber dan kontribusi pembangunan. Perdesaan yang identik dengan perdesaan harus dilihat secara obyektif dan proporsional dalam melakukan berbagai kebijakan dan regulasi. Sudut pandang dan cara melihat realita perdesaan tidak bisa sepenuhnya dengan cara berfikir akademis dan literatur terutama untuk petani dan pertanian Indonesia. Model pertanian dan pendekatan petani Indonesia tidak bisa disamakan dengan petani Jepang, Belanda, Brazil atau Afrika. Masing masing negara memiliki akar sejarah pertanian yang berbeda beda, demikian dengan kultur sosial dan cara mereka memandang dan mengelola pertanian.

Di negara negara maju sektor pertanian mendapatkan sentuhan teknologi pertanian melalui interaksi sektor industri dan jasa dengan dorongan regulasi dan kebijakan pembangunan yang saling terkoordinasi dan terintergrasi mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Sumber sumber potensial sektor pertanian menjadi obyek sektor industri untuk mengembangkan bahkan mendongkrak pertumbuhan sektor pertanian sehingga sektor pertanian selalu seiring dan saling menopang dengan sektor lain.

 Demikian halnya keseriusan pemerintah dalam melakukan proses pemberdayaan dan perlindungan terhadap petani tidak hanya di tunjukkan dengan dukungan pasar dan input produksi, namun petani memiliki bergaining yang cukup kuat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Jadi, model kebijakan sektor pertanian di negara maju pada saat berkembang tidak saling merugikan.

Berbeda dengan di Indonesia, pertanian lahir dan bergerak tidak mendapatkan sentuhan teknologi yang memadai demikian halnya dengan pembangunan infrastruktur pertanian yang cenderung kurang mengakar. Pertanian pada awalnya hanya dijadikan sebagai sumber peningkatan dan ketersediaan pangan dan ini sangat kaitanya dengan stabilitas politik. Teknologi dan pemberdayaan petani yang diharapakan menjadi pemicu awal manjunya pertanian Indonesia telah luput dari pemerintahan sebelumnya.

 Pertanian dan hasil hasilnya selalu terpisah dengan isu kesejahteraan petani dan pengurangan pengangguran, pertanian hanya dijadikan tumpuan penghasil mentah sehingga jauh dari nilai nilai daya saing. Demikan halnya, keterlibatan banyak pihak di sektor hulu dan hilir tidak bisa terbendungkan dari petani sehingga petani dibiarkan bergelut dengan kekuatan besar/pemodal hingga ketergantungan petani dengan mereka sangat besar. Tidak sedikit dan menjadi gejala nasional,bahwa pertanian kita telah dikusai oleh sebagian besar pengusaha/pedagang yang membuat petani tidak bisa terlepas dari cengkraman mereka.

Semua ini terjadi karena sentuhan pembinaan dan pemberdayaan petani tidak dilakukan sejak awal, bahkan orientasi petani dan pengelola pertanian negeri ini belum bersatu pada antara pemerintah pusat dan daerah. Ketidak terpaduan ini semakin membuat petani dan pertanian Indonesia semakin jauh dari cita cita utmanya yaitu peningkatan kesejahteraan mereka. Hal ini terbukti bahwa begitu ruwetnya pertanian Indonesia saat ini dan dibelit terbatasnya anggaran saat ini membuat pemerintah semakin menemukan kesulitan bagaimana cara menemukan solusi terhadap permasalahan ini.

Yang jelas pemerintah harus benar benar putar otak serius dengan berbagai pendekatan, bagaimana pertanian bisa keluar dari permasalahanya selama ini. Pertanian maju dan modern adalah pilihan penting untuk mengubah perdesaan menjadi jawaban yang selama ini menjadi banyak perbincangan berbagai pihak. 

Pertanian tidak bisa diselesaikan dan dibangun dengan cara cara parsial karena pertanian merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dengan sektor lain. Pertanian tidak hanya dipandang masalah ketersediaan pangan, lebih dari itu pertanian harus menjadi tumpuan kemajuan pembangunan dan menjadi sumber pemecah kesulitan anggaran negara sekaligus menjadi andalan penyumbang devisa negara dan pemecah kemiskinan, keterbelakangan dan sumber pengangguran. Semua harus fokus pada perdesaan.

Puasa

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah: 183)

Dari kutipan ayat tersebut sudah jelas bahwa kewajiban puasa bukan atas kita, umat Muhammad Saw. saja, melainkan juga diwajibkan atas orang-orang atau umat sebelum kita. Umat sebelum kita, menurut ahli tafsir adalah orang-orang Yahudi dan sudah ada sejak Nabi Adam As., meskipun cara dan waktunya tidak sama seperti puasa di bulan Ramadhan.

Ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi setiap umat muslim di seluruh dunia merupakan suatu keistimewaan, karena selain termasuk dalam rukun Islam, dalam satu bulan penuh tersebut mau ia adalah seseorang yang tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin harus menjalani ibadah puasa mulai dari terbit hingga terbenamnya matahari. Tetapi, kalau sekadar puasa sebetulnya di luar bulan Ramadhan pun diperbolehkan, kecuali pada hari raya Idul Fitri (1 Syawal), Idul Adha (10 Zulhijjah) dan hari-hari Tasyrik (11, 12 dan 13 Zulhijjah). Lantas, apa keistimewaan bulan Ramadhan ketimbang bulan-bulan yang lainnya? Ya, di kekompakkan yang telah disebutkan tadi.

Tidak peduli ia tua atau muda, laki-laki maupun perempuan, kaya ataupun miskin, kalau ia telah memenuhi syarat sah puasa, maka wajib baginya untuk berpuasa. Secara tidak sadar, inilah bagaimana cara Allah melatih kita untuk peka secara sosial dengan merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang berkekurangan. Walaupun ketika sahur atau saat buka puasa kita menyantap makanan dan minuman yang enak, serta mahal, setidaknya sejak terbit hingga tenggelamnya matahari kita merasakan betul apa yang selalu dirasakan oleh orang yang berkekurangan, yaitu haus dan lapar. Tapi, bukan berarti kita diajarkan untuk hidup miskin dan serba kekurangan, karena pada bulan Ramadhan pula tiap amal ibadah yang kita kerjakan akan diberikan ganjaran yang berlipat ganda, maka ini juga waktu yang pas untuk membiasakan diri kita untuk terus menerus beramal kepada yang membutuhkan. Semoga kita makin terbiasa untuk memberi dan membantu sesama tanpa menghitung berapa pahala yang akan kita dapat.

Maka, dengan hadirnya kesempatan kita menikmati puasa di bulan Ramadhan adalah sarana untuk kita memperbaharui keimanan, serta kepekaan sosial yang kita miliki. Harapannya adalah selepas kita menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, kita sudah terbiasa untuk beramal dan berbuat kebajikan, serta mengerti betul apa yang dirasakan oleh orang yang berkekurangan tanpa diiming-imingi oleh hadiah berupa pahala yang berlipat ganda supaya masuk surga. Tapi, tidakkah kita berpikir kalau sudah di surga, kita mau ngapain?.


BURUH & MAYDAY

Oleh: Tengku Harja Irvan

Chicago, Mei, 1886, serikat buruh, reformis, sosialis, anarkis, dan buruh non-serikat bersatu padu memenuhi pusat kota dalam rangka memperjuangkan Triple 8: 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam waktu sosial. Antara 25 April sampai dengan 4 Mei, para buruh massif melakukan rapat-rapat bawah tanah dan parade-kampanye turun ke jalan sebanyak 19 kali. Tepatnya Sabtu, 1 Mei 1886, 35.000 buruh mogok kerja. Puluhan bahkan ratusan ribu, baik buruh skill dan non-skill, menyusul untuk bergabung bersama 35.000 massa buruh lainnya pada tanggal 3 dan 4 Mei. Di antara tanggal 1 sampai dengan 4 Mei, ratusan ribu buruh beramai-ramai melakukan sweeping dari pabrik ke pabrik mengajak rekan-rekan buruh lainnya untuk bersama-sama melakukan mogok. Di antara momen historis itu pula, tak pelak bentrokan antara massa buruh dengan polisi terjadi belasan kali (Christopher Thale, Haymarket and May Day: Chicagohistory.org).
Dalam selebarannya, para buruh mengumandangkan:
• Buruh membentuk barisan!
• Perang ke Istana, Damai kembali ke Gubuk, dan Mati dengan Kemewahan!
• Sistem pengupahan yang ada adalah satu-satunya sebab kesengsaraan dunia. Hal tersebut dikendalikan oleh kelas kaya, dan untuk menghancurkannya, mereka juga harus bekerja sama seperti kita atau MATI!
• Satu pon DINAMIT lebih baik daripada segantang SURAT SUARA!
• BUAT TUNTUTANMU UNTUK DEPALAN JAM KERJA dengan senjata ditanganmu untuk menemui anjing penjaga kapitalis, polisi dan preman! (Eric Chase, 1993, The Brief Origins of May Day: iww.org)

Tak heran jika kelas buruh memproklamirkan perang terhadap kelas kapitalis di akhir abad ke-19 tersebut. Sebab, kondisi kerja yang keras dan jam kerja antara 10 sampai 16 jam per hari dengan kondisi kerja yang tak aman menempa keseharian mereka. Upah tak layak pun tak luput sebagai sebab mereka melakukan pergerakan. Keberhasilan gerakan memperjuangkan tuntutannya pun dibayar dengan ongkos jiwa yang tak ternilai. Ratusan orang tewas ditembaki oleh polisi dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati karena dianggap sebagai pemberontak. Mereka yang mati pun dikenang sebagai pahlawan oleh generasi buruh berikutnya.
Di Indonesia, May Day pertama kali digelar di Surabaya pada tanggal 1 Mei 1918. Sejak tahun 1918 sampai dengan 1926, buruh rutin menggelar May Day dengan melakukan pemogokan umum besar-besaran. Tuntutan-tuntutan yang diusung oleh kaum buruh pada kala itu tak lepas dari tuntutan-tuntutan hak mendasar kaum buruh. Sebagai contoh pada tahun 1923, Semaun menyampaikan kepada hadirin rapat umum VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) di Semarang untuk melancarkan pemogokan umum dengan alasan menuntut: jam kerja 8 jam, penundaan penghapusan bonus sampai janji kenaikan gaji dipenuhi, penanganan perselisihan ditangani oleh satu badan arbitrase independen, dan pelarangan PHK tanpa alasan (Rudi Hartono, 2011, Sekilas Sejarah Hari Buruh Sedunia Di Indonesia: Berdikarionline.com). Pasca tahun 1926, tepatnya pasca kegagalan pemberontakan bersenjata melawan kolonialisme, peringatan May Day ditiadakan guna menghindari penangkapan anggota-anggota serikat buruh.
Pada tahun 1948, dikeluarkan Undang-Undang Kerja nomor 12 tahun 1948 yang mengesahkan tanggal 1 Mei sebagai hari resmi kaum buruh. Pasal 15 Ayat (2) UU Kerja no 12/1948 menyatakan: “Pada hari 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.” Diriwayatkan bahwa pada tahun 1948, meskipun situasi nasional dalam keadaan perang dengan Belanda, 200 hingga 300 ribu buruh membanjiri alun-alun Jogjakarta demi merayakan May Day. Selama pemerintahan Bung Karno berkuasa, peringatan May Day selalu dilakukan oleh gerakan buruh dengan tipikal parade dan rapat umum yang bersifat ideologis, mendidik kaum buruh itu sendiri.
Sedih, sepanjang Soeharto mengambil alih kekuasaan, peringatan 1 Mei sebagai hari buruh dihapus. Karena ahistoris dan sarat politis, pada tahun 1977, Orde Baru menetapkan tanggal 20 Februari sebagai hari buruh. Penetapan 20 Februari pada tahun 1977 tersebut beriringan dengan peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Sepanjang kekuasaan Orde Baru, perayaan hari buruh 20 Februari diwarnai dengan acara-acara yang bersifat seremonial. Wajar, serikat buruh kala itu digirng oleh Orde Baru agar apolitis.
Pasca Reformasi, gerakan buruh mulai menyuarakan kembali agar 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh Indonesia dan hari libur nasional. Reportase media mencatat, unjuk rasa itu membuat gerah pengusaha. Sebab, selain dilakukan masif di kota-kota besar, aksi itu digelar satu pekan lamanya (Kompas, 2016). Gerakan pun dilakukan tahun demi tahun, hingga pada tahun 2013 menuai hasil, atas desakan buruh, presiden SBY pada tanggal 29 April 2013 menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh dan libur nasional.
Dalam perspektif gerakan buruh, perayaan May Day bukanlah peringatan kemenangan, melainkan sebuah peringatan perjuangan buruh untuk terus melakukan pergerakan dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Bercermin pada situasi sosial-ekonomis kaum buruh yang masih mengalami penindasan, maka perayaan May Day adalah momen untuk kembali merefleksikan sejarah perjuangan kaum buruh dan sekaligus menyambung tongkat estafet perjuangan menyejarah kaum buruh itu sendiri.
May Day tahun ini bukanlah kemenangan, melainkan salah satu momen historis untuk mengkampanyekan tuntutan-tuntutan pembebasan kaum buruh dari kemelaratan yang dialaminya sehari-hari. Buruh Indonesia hari ini masih menerima upah murah dalam 8 jam kerja. Untuk mendapatkan sedikit tambahan uang, ia harus lembur 3 jam, maka total jam kerja per hari 12 jam demi tambahan sedikit uang lembur. Selain itu, sistem kerja kontrak yang diulang-ulang selama lebih dari dua tahun terus menghalangi buruh kontrak untuk mendapatkan kepastian kerja. Lebih parah, sistem kerja outsourcing merebak di segala lini sektor produksi inti. Belakangan ini, pemerintah melegalkan sistem kerja magang dengan membuat Program Pemagangan Nasional, yang pada esensinya adalah memberikan hadiah kepada pengusaha berupa tenaga buruh murah dengan kedok “dalam rangka memacu tingkat produktivitas nasional”. Situasi ketidaklayakan ekonomis akan terus diidap oleh generasi angkatan kerja, bahkan hingga mencapai usia pensiun 15 atau 20 tahun mendatang, karena nilai jaminan pensiun yang terlalu rendah dan tidak layak.
Berdasarkan pada cermin situasi perburuhan diatas, maka sudah sepatutnya kaum buruh harus marah, mengekspresikan kemarahannya melalui aksi-aksi propaganda, salah satunya unjuk rasa. Dalam hal menyikapi May Day tahun ini, maka bersatulah dalam barisan aksi. Merupakan suatu pengkhianatan sejarah jika kaum buruh merayakan May Day dengan melakukan festival seperti yang dianjurkan oleh pejabat-pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Upaya-upaya pejabat pusat maupun daerah yang menganjurkan buruh agar merayakan May Day dengan festival adalah bukti keberpihakan mereka kepada kaum pengusaha anti gerakan buruh dan sekaligus pembodohan tersendiri kepada kaum buruh, yang dalam bahasa Antonio Gramsci disebut sebagai, hegemoni. Dalam Prison Notebooks, Gramsci memberi pengertian bagaimana kekuatan negara dipertahankan dengan gagasan—dibanding dengan kekerasan. Gramsci memandang lingkungan masyarakat sipil—serikat buruh dan kaum buruh juga termasuk didalamnya—dibawah negara borjuis, akan mengalami kesadaran semu akibat terkena penetrasi gagasan budaya yang di(rep)roduksi oleh aktor negara (salah satunya,) dalam rangka mempertahankan status quo ekonomi-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Anjuran perayaan May Day dengan tidak berdemonstrasi dan diganti dengan festivalisme adalah salah satu bius hegemoni kaum buruh. Dalam rangka konter-hegemoni, kaum buruh harus melakukan ‘perang posisi’, salah satu taktisnya adalah dengan membangun pemahaman alternatif dan memberikan pengetahuan alternatif diluar kerangka pemikiran penguasa. Gerakan sosial-politik adalah jawabannya.
Dalam konteks merayakan May Day tahun ini, oleh karenanya, sebagai simbol penghormatan kepada para buruh yang telah berjuang mengupayakan perbaikan kesejahteraan kaum buruh di dunia dan di Indonesia khususnya, dan sebagai sikap politik pribadi serta organisasi serikat buruh yang sadar akan ketertindasan kaum buruh, festivalisme adalah haram, dan aksi-aksi pergerakan progresif adalah wajib.
Selamat Menyambut Hari Buruh Sedunia dan Selamatkan Hari Buruh Indonesia!

Tugas-Tugas Kita Soal Budaya Literasi

Kita patut miris ketika memperhatikan kondisi hari ini karena Indonesia sebagai negara besar yang sedang berkembang mempunyai indeks minat baca yang sangat rendah. Dalam survey yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu menyebutkan bahwa dalam budaya literasi, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara [1]. Sedangkan menurut penelitian UNESCO pada 2012 menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang suka membaca. Sedangkan menurut penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, bahwa dalam kemampuan membaca siswa, Indonesia menempati urutan ke-69 dari 76 negara. Hasil tersebut bahkan lebih rendah dari Vietnam yang menempati urutan ke-12 dari total negara yang di survey [2]. Parahnya lagi, BPS pernah mengeluarkan data tahun 2012 yang menyebutkan bahwa 91,58% dari penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas lebih suka menonton televisi. Sedangkan yang minat membaca buku atau majalah hanya mencapai sekitar 17,58%. Tahun 2015, Perpustakaan Nasional RI juga mengeluarkan kajian, dimana hanya 25,1% dari masyarakat Indonesia yang minat membaca [3]. Banyak hasil-hasil survey lain juga yang menunjukkan budaya membaca kita sangat rendah.

Hal tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia mengalami krisis intelektualitas yang sangat parah. Bisa dipastikan bahwa budaya membaca rakyat telah berkurang sejak naiknya pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut dibuktikan dari adanya penghancuran generasi intelektual tahun 1965, pemberangusan buku-buku progresif, hingga dipisahkannya rakyat dari politik sehingga rakyat tidak mempunyai kesadaran kritis sama sekali. Pemerintahan otoriter Orde Baru pada akhirnya membuat propaganda-propaganda yang fungsinya untuk membodohi rakyat seperti membuat film yang berisi distorsi sejarah berjudul Pengkhianatan G30S/PKI serta membuat propaganda kebohongan lainnya. Buku-buku Benedict Anderson dan Pramoedya Ananta Toer yang sarat akan makna pun tidak lepas dari pemberangusan. Bahkan banyak buku-buku yang dicap buku komunis – atau bahkan buku ekstrimis kanan – pada akhirnya diberangus oleh pemerintah. Maka tidak heran jika kita baru mengenal Gramsci atau tokoh seperti Horkhaimer misalnya ketika pemerintahan Orde Baru runtuh. Selepas pemerintahan Orde Baru runtuh, rakyat Indonesia tidak terlepas dari masa kegelapan. Pada akhir-akhir ini misalnya banyak stigma komunis yang beredar, seperti Ahok yang dituduh komunis atau pemerintahan Jokowi yang disebut komunis hanya karena mengadakan kerjasama dengan Cina misalnya. Parahnya lagi, stigma komunis sama dengan liberal serta Atheis juga banyak beredar. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia sangat tidak tercerahkan karena berkurangnya indeks minat baca.

Sayangnya, para pemuda-pemuda progresif yang memulai gerakan literasi dengan tujuan untuk mencerdaskan rakyat banyak yang diberangus dengan tuduhan mengganggu ketertiban atau dituduh komunis. Masih segar dalam ingatan kita ketika 3 mahasiswa Telkom University diskorsing karena menyuarakan literasi, adanya pembubaran-pembubaran seminar Marxisme serta LGBT, hingga represi aparat terhadap perpustakaan jalanan di Bandung. Pada akhirnya, semua kampanye gerakan literasi diberangus oleh pemerintah dengan tujuan agar rakyat tidak kritis. Tidak mengherankan jika banyak rakyat Indonesia pada akhirnya tidak mengetahui situasi dan perkembangan dunia kini. Kebanyakan rakyat Indonesia hanya mengetahui hal tersebut dari televisi. Bayangkan saja, hasil survey yang dilakukan oleh KPI tahun 2015 menyebutkan bahwa indeks kualitas program siaran 15 televisi di Indonesia hanya 3,27% atau masih dibawah standar ketentuan KPI – yaitu 4.0 [4]. Jika rakyat Indonesia hanya melihat perkembangan dunia dari menonton televisi saja, bisa dipastikan bahwa rakyat Indonesia menonton banyak acara pembodohan dan cuci otak media.

Kurangnya minat baca dan meningkatnya partisipasi rakyat dalam menonton pembodohan tidak bisa terlepas dari sebab-sebab historis. Selain karena pembodohan dan kekerasan budaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap rakyat, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan budaya literasi kita tidak berkemajuan. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah banyaknya buku-buku yang dilarang beredar oleh pemerintah karena dianggap akan meracuni pemikiran anak bangsa seperti buku-buku filsafat atau buku-buku yang bertendensi sastra, kurangnya partisipasi dari kaum intelektual untuk menerjemahkan buku-buku dari negara lain, hingga adanya pelarangan dari kaum-kaum fanatisme terhadap beredarnya buku-buku lokal yang dianggap menghina agama seperti Serat Darmogandhul atau Serat Centhini Pegon yang terkesan berbau pornografi. Selain itu, kita juga perlu melihat bahwa rakyat juga mengalami alienasi akibat eksploitasi kerjanya. Misalnya, seorang pekerja tidak akan mungkin mempunyai waktu membaca buku karena waktunya banyak disediakan untuk bekerja (selama 8 jam misalnya), beristirahat atau bercengkrama dengan keluarga (selama 5-6 jam misalnya), lembur (selama 2 jam misalnya), sisanya mungkin digunakan untuk tidur. Dari akumulasi waktu yang ada, kebanyakan rakyat Indonesia tidak mempunyai waktu yang memadai untuk membaca buku atau sekedar membaca koran misalnya.

Hari buku sebagai momentum gerakan literasi internasional bukanlah sekedar hari seremonial membaca buku, tetapi lebih dari itu. Hari buku yang dahulunya merupakan simbol kebangkitan budaya literasi dengan mengambil tanggal kematian William Shakespeare sebagai seorang penulis besar, sekarang menjadi tanda matinya budaya literasi. Sebagai kaum progresif-revolusioner, kita patut menyikapi hal tersebut. Melihat kondisi tersebut, kita sebagai kaum progresif-revolusioner sudah seharusnya melakukan tugas-tugas pendidikan agar rakyat membuka mata terhadap kondisi dan situasi realitas di sekitarnya yang mempengaruhi mereka. Salah satu tugas pendidikan yang harus kita gapai ialah menggalakkan budaya literasi di kalangan pelajar, mahasiswa, kaum buruh, dan kaum tani. Kita perlu membuat counter-hegemony terhadap hegemoni ilmu pengetahuan yang ditetapkan pemerintah sebagai perpanjangan tangan korporasi. Kita perlu membuka kesadaran rakyat bahwa kita sudah dibutakan matanya dengan ilmu-ilmu yang terkesan menjauhi rakyat dari realitas. Dengan melaksanakan tugas-tugas tersebut tanpa memperdulikan kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang pro terhadap status quo pemerintahan serta korporasi, kita harus menyadarkan rakyat lewat kampanye budaya literasi sehingga rakyat sadar akan realitas yang melingkupinya dan mau melawan eksploitasi atas diri mereka.

Sumber:

[1] Sjafri Ali. Komisi X: Budaya Literasi Indonesia Perlu Ditingkatkan. 22 Desember 2016. Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat.
http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/12/22/komisi-x-budaya-literasi-indonesia-perlu-ditingkatkan-388550
diakses pada 7 Maret 2017.

[2] ____. Dari 76 Negara, Minat Baca Siswa Indonesia Peringkat ke-69. 22 Maret 2016. Dimuat dalam Harian Jogja.
http://www.harianjogja.com/baca/2016/03/22/penelitian-terbaru-dari-76-negara-minat-baca-siswa-indonesia-peringkat-ke-69-703442
diakses pada 23 April 2017.

[3] Syahrul Minar. Minat Baca Rendah, Mayoritas Warga Hobi Nonton Televisi. 28 April 2016. Dimuat dalam Harian Kompas.
http://regional.kompas.com/read/2016/04/28/21020061/Minat.Baca.Rendah.Mayoritas.Warga.Indonesia.Hobi.Nonton.Televisi
diakses pada 23 April 2017.

[4] Dwi Erianto. Survey Litbang Kompas: Televisi, Dua Sisi Mata Uang. 30 Maret 2016. Dimuat dalam Harian Kompas.
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/05374961/Survei.Litbang.Kompas.Televisi.Dua.Sisi.Mata.Uang
Diakses pada 23 April 2016.


MENYOAL NEPOTISME

Oleh Dilan

Hai bung, besok lusa, jika kalian mendapatkan sesuatu, maka pastikan itu sungguh karena kualitas dan kerja keras kita. Bukan karena “kasihan”, “balas jasa”, “titipan”, apalagi hingga “hasil menyuap”, “nepotisme”, dan sejenisnya.

Hidup ini sebentar saja kalau hanya soal posisi, jabatan, dan sebagainya. Kadang kita merasa sudah keren sekali, tapi orang orang boleh jadi tidak respect sama kita. Banyak contohnya, di kantor BUMN misalnya, ada yang mendadak jadi komisaris, titipan karena pernah berjasa secara politik. Mendadak jadi direktur, lagi lagi titipan karena punya relasi, hubungan. Dia mendapat respek? TIDAK. Bawahan, koleganya mungkin tersenyum saat di depannya, tapi seluruh gedung, seluruh perusahaan (termasuk tukang sapu) juga tahu, dia hanya berkualitas “titipan” saja.

Apapun yang besok lusa kita gapai, pastikan adalah hasil kerja keras, keringat, dan semua kehormatan yang kita miliki. Tidak mengapa jika posisi kita “rendahan” menurut orang lain, tapi semuanya adalah asli kerja keras kita. Bukan karena imbal jasa, terima kasih.

Saya pernah menemukan kasus, ada orang yang diterima bekerja dan diberikan posisi tinggi, gaji tinggi, fasilitas tinggi. Tapi cuma sebulan, orang ini memilih mundur. Kenapa mundur? Dia bilang, pemilik perusahaan tempat dia bekerja, menerimanya hanya karena kebetulan dia memiliki hubungan keluarga. Dia tidak mau dinilai dari sisi itu, dia mau diterima di sana karena memang kompeten, bisa bekerja dengan baik. Maka mundurlah dia (meski dibujuk berpuluh kali oleh pemilik perusahaan). Orang ini, adalah contoh seseorang yang memiliki kehormatan. Tidak ada salahnya jika dia tetap mau terus bekerja di sana, tapi menurut hati kecilnya, dia tidak mau menduduki posisi karena sekadar dianggap membawa keberuntungan. Dia mau dinilai dari kualitas sesungguhnya.

Di kasus lain, juga ada orang yang menolak sebuah posisi karena dia tahu posisi itu diberikan karena “balas jasa”. Menyesal menolaknya? Orang ini menggeleng mantap. Sama sekali tidak. Inilah orang-orang dengan harga diri.

Bung, dengan bekerja keras, tidak ada yang menjamin bahwa hidup kita akan sukses menurut kaca mata orang lain. Tapi percayalah, hanya dengan bekerja keras, kita bisa memastikan hati kita selalu lega dan lapang. Pun kalau besok-besok tetap begitu begitu saja, kita tetap bisa berbahagia, menghargai prosesnya, selalu membumi. Punya-lah harga diri dan kehormatan. Jika kita tahu persis posisi itu diberikan hanya karena “terima kasih” mending tidak. Lebih baik orang orang respek pada kita karena sesungguhnya kita, daripada kita bergaya, tapi orang orang no respect at all dengan kita.

Jangan kecil hati jika kita melihat orang orang punya “jalan pintas”, orang orang lain tertawa bahagia dengan posisi “titipan”, terlihat keren dengan jabatan “nepotisme”,  karena sejatinya, mereka tidak akan pernah bertahan lama. Loyang tidak bisa dipoles seolah emas, kemudian dideretkan bersama emas lainnya, lama-lama akan ketahuan kualitasnya cuma loyang. Sementara emas, meski dilemparkan di atas tumpukan paling tidak berharga, hanya soal waktu, dia akan mendapatkan posisi terbaiknya.

Selamat datang generasi dengan pemahaman terbaik.

KEMANA KURIKULUM PENDIDIKAN KITA DIARAHKAN

Oleh: Dilan

Pada umumnya banyak orang memandang bahwa pendidikan adalah kegiatan mulia yang berwatak netral dan lahir dari niat tulus untuk memperbaiki kondisi hidup manusia. Praktek pendidikan mencangkup transformasi segenap ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan sehari hari. Tuanya praktek pendidikan sama dengan tuanya usia umat manusia karena sejak lahir sampai kematiannya manusia selalu mengalami proses pendidikan.

Namun tak banyak orang yang sadar mengenai tujuan dan hakikat dibalik praktek pendidikan. Pendidikan ternyata tak lepas dari berbagai macam kepentingan ideologis. Perbedaan ideologis dalam pendidikan muncul sebagai akibat dari perbedaan mendasar mengenai pandangan tentang hakikat manusia dan kehidupan. Praktek dan tujuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah misalnya tak dapat dilepaskan dari ideologi yang dianut oleh pemerintah sendiri. Pemerintah yang menghendaki pembangunan dan industrialisasi dan memilih jalan ideologis tertentu, jelas akan banyak menyiapkan sekolah dan kampus yang akan mendukung tujuan tersebut. 

Hendri Giroux dan Aronowitz dalam bukunya yang berjudul Ideology, Culture, And The Process Of Schooling, melakukan klasifikasi mengenai tiga paradigma utama dalam dunia pendidikan yang terkadang luput dari perhatian setiap orang.

Paradigma pendidikan pertama ialah pendidikan konservatif. Pendidikan konservatif berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia sejak lahir sudah diciptakan dengan kemampuan yang berbeda satu sama lain dan hal tersebut adalah hukum alam yang sulit untuk dirubah. Pandangan konservatif lama meyakini bahwa kondisi seseorang ditentukan oleh kekuatan diluar dirinya, misalnya oleh kekuatan takdir tuhan. Lalu pandangan konservatif baru meyakini bahwa kondisi seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri. Pintar atau bodohnya seseorang merupakan sesuatu yang alamiah namun bisa dirubah jika dia beruntung. Jika tidak beruntung, bagaimanapun usahanya, kondisinya tak akan pernah berubah. Sehingga penting bagi setiap orang untuk memiliki sikap sabar dan menerima apa adanya atas kondisi yang ada.

Paradigma yang kedua ialah pendidikan liberal. Pendidikan liberal berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia diciptakan dengan kemampuan setara. Akibatnya setiap orang selalu memiliki potensi untuk menjadi manusia unggul, ia terisolir dari sistem sosial ekonomi dan politik yang ada, ia dapat unggul tergantung seberapa keras usaha yang dilakukannya.  Manusia menurut pandangan liberal adalah individu otonom yang lepas dari objek lainnya serta memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.

Paradigma yang ketiga ialah pendidikan kritis. Pendidikan kritis berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang setara namun sistem sosial, ekonomi dan politik  yang ada membuat manusia akhirnya tidak setara. Ada manusia yang diuntungkan oleh sistem sedangkan ada manusia yang dirugikan oleh sistem. Oleh karena itu pendidikan menurut paradigma kritis, ialah arena perjuangan bagi setiap orang untuk melanggengkan atau meruntuhkan sistem yang ada. Usaha yang dilakukan untuk mengubah kondisi diri seseorang tak akan membuahkan hasil tanpa usaha untuk merubah sistemnya.

Ketiga paradigma pendidikan diatas berdampak luas para tujuan dan praktek pendidikan.  Pendidikan konservatif sangat mendambakan situasi aman dan harmonis, karena kondisi manusia sudah ditentukan sejak lahir serta setiap oranghanya diwajibkan untuk bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuannya, maka apapun hasilnya harus diterima tanpa ada penyesalan atau pemberontakan. Pendidikan konservatif tak mau berurusan dengan usaha usaha yang bertujuan untuk mengubah kondisi masyarakat karena bagi mereka hal tersebut hanya akan melahirkan kekacauan. Pendidikan konservatif ingin melanggengkan status quo atau kondisi yang ada dan tidak menghendaki adanya perubahan radikal dalam masyarakat. Konsekuensi dari keyakinan tersebut nampak dalam upaya mempertahankan tradisi yang telah mapan seperti misalnya tentang tradisi pembelajaran satu arah antara guru dan murid dimana guru sebagai subjek pembelajaran dan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Guru berada pada posisi yang tinggi dan dengan demikian tidak menghendaki adanya perubahan peran yang akan membuat posisinya setara dengan murid. Pada pendidikan formal, kurikulum yang disusun selalu berpedoman pada kebenaran yang dianggap absolut, selalu berpegang pada nilai nilai lama dan menganggapnya universal, serta ingin melestarikan tatanan yang telah ada. Usaha perubahan yang dilakukanpun hanya sekedar diarahkan untuk mengembalikan nilai nilai lama yang hilang.

Sementara pandangan liberal sangat mendambakan kondisi dimana individu bebas untuk memaksimalkan potensi dan kreativitas dirinya tanpa hambatan apapun sehinga perubahan dalam masyarakat akan selalu terjadi bahkan harus selalu terjadi untuk mengikuti perkembangan kecerdasan manusia meskipun bertentangan dengan nilai nilai lama. Karena setiap individu otonom dan bebas dari objek lain, maka ia tidak terikat pada sistem dan tidak pula punya tanggung jawab pada orang lain. Pandangan liberal juga meyakini bahwa karena semua manusia dilahirkan dengan potensi yang setara, maka pendidikan akan membuat setiap orang memiliki kemampuan dan keterampilan hidup yang setara juga tergantung usaha dan kerja keras yang dilakukannya. Konsekuensi dari pandangan tersebut misalnya tercermin pada perubahan peran guru yang dahulu menjadi subjek pembelajaran dan sumber ilmu berubah menjadi guru sebagai motivator dan fasilitator saja bagi murid untuk mendorong murid agar mandiri dan bekerja keras. Guru memotovasi murid untuk sukses dengan cara kerja keras, disiplin, berani berkompetensi, berani bersaing, punya semangat juang tinggi, pantang menyerah, dan lain lain. Dalam pendidikan formal, kurikulum yang disusun selalu mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman. Jika murid hidup dalam sistem kapitalisme, maka kurikulum dalam pendidikan liberal menyiapkan murid untuk siap dan unggul dalam sistem kapitalisme. Pendidikan liberal berupaya membekali murid dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan yang akan membuatnya memenangkan pertarungan di masa depan. Pendidikan liberal tak perlu mempertanyakan sistem yang ada, melainkan menyiapkan murid agar siap dalam menghadapi sistem tersebut.

Dan yang terakhir, pandangan kritis sangat mendambakan perubahan dalam masyarakat menuju kondisi yang lebih baik karena pandangan kritis melihat dalam masyarakat terdapat banyak ketidakadilan dan ketimpangan. Pendidikan bagi paradigma kritis, harus mampu menyadarkan bahwa ketidaksetaraan yang muncul dalam masyarakat bukan karena manusia dilahirkan tidak setara, bukan pula karena sebagian manusia lebih unggul dan lebih keras usahanya dibanding manusia lain, melainkan karena sistem sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung saat ini memang tidak adil dan menguntungkan sekelompok orang. Bagi pandangan kritis, pendidikan konservatif hanya menciptakan murid murid penakut yang tunduk pada keadaan sehingga melanggengkan dominasi yang ada. Begitujuga bagi pandangan kritis, pendidikan liberal hanya menciptakan orang orang yang tamak yang lupa akan kondisi masyarakatnya dan hanya mementingkan dirinya sendiri.

Bagi pandangan kritis, praktek dari dua paradigma pendidikan tersebut merupakan praktek dehumanisasi atau praktek penjauhan manusia dari nilai nilai kemanusiaannya. Konsekuansi dari pandangan kritis ialah tercermin dari peran guru yang bukan lagi menentukan nilai baik dan buruk bagi murid, bukan lagi menjadi motivator dan fasilitator bagi murid, melainkan menjadi orang yang menyadarkan murid atas kondisi yang tidak adil dalam masyarakat. Misalnya, murid diajak untuk menganalis mengapa terjadi ketimpangan dan kemiskinan ditengah pertumbuhaan kapital yang tinggi. Murid diajak untuk belajar dan merasakan penderitaan yang dialami oleh orang miskin sehingga muncul kepekaan sosial dan keinginan untuk mengubah kondisi masyarakatnya dan menggugat sistem yang membuat orang orang miskin dan melarat. Pada pendidikan formal, kurikulum pandangan kritis selalu menggugat tatanan yang sudah mapan, mempertanyakan status quo, mendialogkan setiap keyakinan dan kebenaran yang ada, selalu mencari alternatif baru dalam menghadapi masalah, dan menganggap bahwa pendidikan adalah sebuah proses transformasi masyarakat menuju kondisi yang lebih baik serta merupakan sarana pemberontakan yang efektif untuk menghancurkan tatanan nilai dalam sistem yang tidak adil dan memiskinkan masyarakat.

Berdasarkan klasifikasi dari Henri Giroux dan Aronowitz diatas, kita melihat bahwa pendidikan adalah ranah yang tidak netral melainkan senantiasa diperebutkan oleh setidaknya 3 ideologi besar yang berusaha menetukan arah pendidikan. Diluar itu memang ada varian ideologi lain yang merupakan kombinasi dari ketiga ideologi utama diatas. Lantas, jika kita berkaca pada klasifikasi Hendri Giroux dan Aronwitz serta melihat penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia saat ini, kemanakah kurikulum pendidikan kita diarahkan?

Referensi

F. Oneil, William. Ideologi-Ideologi Pendidikan. 2008. Pustaka Pelajar: Jakarta

Giroux, H.A. Ideology, Culture and the Process of Schooling. 1981. Temple University and Falmer Press: Philadelphia

ANSOS

Diskusi Teoritis
"ANALISIS SOSIAL"

18-April-2017

Ansos merupakan salah satu cabang pengetahuan yang digumuli dalam diskusi Fokmad.

Apakah sebenarnya ansos itu? Apakah ciri yang membedakannya dengan pengetahuan lainnya seperti seni dan agama? Bagaimana cara kita melakukan ansos? Sarana-sarana keilmuan apa saja yang harus dikuasai agar kita mampu melakukan kegiatan ansos dengan baik?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terjawab malam ini

FPPI MAKASSAR & IM3I KECAM OKNUM KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAKAN PEMUKULAN DI MAJENE

(16/04/2017) Kecaman terhadap aparat kepolisian Sulbar Kab  Majene yang melakukan tindak pemukulan terhadap pemuda Sulbar bernama Aldi kian meluas
Kecaman tersebut kali ini disampaikan oleh pengurus Front Perjuangan Pemuda Indonesia ( FPPI) Achmad Fakar dan ketua Ikatan Mahasiswa Mandar Majene Indonesia (IM3I) Abd Rahman Wahab
Mereka menilai tindakan aparat hukum polres Majene jelas pelanggaran hukum, karena telah melanggar kode etik kepolisian RI UU No 2 tahun 2002 tentang fungsi kepolisian NKRI
Menurutnya, tindakan aparat adalah perbuatan keji dan tidak manusiawi
Fakar dan Rahman berharap, kasus tersebut harus diusut tuntas sampai ke akar-akar nya

MATINYA PERGERAKAN MAHASISWA

Kita tidak bisa mengingkari lahirnya sebuah bangsa berawal dari sebuah gejolak dan pergolakan. Bangsa Indonesia terlahir dari sebuah gejolak dan pergolakan yang bermula dari proses panjang penjajahan koloni Belanda-Jepang. Kekejaman para penjajah yang mengebiri rakyat Indonesia di bumi pertiwi, dan hak berkehidupan direnggut dengan secara tidak  manusiawi.
Berbicara mengenai sejarah panjang Indonesia, mulai dari penjajahan Belanda  dan diakhiri dengan penjajahan Jepang. Seperti halnya membuka luka lama yang tidak kian sembuh. Kendatipun dari gejolak dan pergolakan itulah, pergerakan-pergerakan kaum terpelajar pada waktu itu lahir menuntut manisnya kemerdekaan.
Jika mengacu pada literatur sejarah Indonesia, ada empat fase dari pergerakan mahasiswa Indonesia. Mulai dari fase pergerakan nasional (1900-1945), yang ditandai dengan lahirnya perhimpunan Indonesia  oleh mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1925. Dari sinilah, ide dan gagasan besar tentang gerakan kaum muda yang terorganisir secara plural lahir. Hal ini ditandai dengan adanya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menjadi episode lanjutan dari gerakan kaum muda tadi.
Fase kedua dari keempat fase pergerakan mahasiswa, dimulai setelah proklamasi kemerdekaan dideklarasikan. Yaitu dari 1945-1965 yang kemudian lebih dikenal sebagai fase orde lama. Fase ketiga pergerakan mahasiswa semenjak orde baru berkuasa (1965-1998), sedangkan fase terakhir dimulai semenjak era reformasi (1998-sekarang).
Dari awal proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh sang founding father yaitu Bung Karno, pada 17 Agustus 1945 lalu, gejolak dan pergolakan semakin menjadi-jadi. Banyaknya kepentingan-kepentingan luar negeri untuk kembali mengambil alih bangsa Indonesia, pun termasuk koloni Belanda yang tidak ingin melepas Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Tidak terkecuali ideologi komunis dengan PKI-nya semakin menjadi bumerang dari kemerdekaan itu sendiri. Perang ideologi berbangsa melahirkan tiga kekuatan besar partai politik, yaitu, PNI sebagai partai yang berpatron pada nasionalis-sekuler, Masyumi dengan patron nasionalis-islam, dan PKI dengan ideologi komunisnya.
Perang ideologi antar partai dan golongan dalam menentukan ideologi dan asas bangsa Indonesia menjadi spektrum lanjutan, terlebih ketika terbentuknya piagam Jakarta. Bahkan pergerakan mahasiswa yang dijadikan alat dan afiliasi partai politik tertentu menjadi benalu dari proses demokrasi yang tengah diperjuangkan. Keberadaan pergerakan kemahasiswaan semakin menguat dengan menyatunya seluruh pergerakan kemahasiswaan dalam tubuh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Setelah pecahnya KAMI, para aktifis pergerakan kemahasiswaan mendapat jatah jabatan dan kedudukan di lingkaran pemerintah. Akibatnya demikian, munculnya pergerakan-pergerakan mahasiswa pengkhianat karena yang semula bersuara lantang, tetapi ketika diberi jatah oleh penguasa suara pun melempeng.
Meskipun begitu kekuatan besar pergerakan kemahasiswaan terbukti kuat setelah berhasil menggulingkan kekuasaan orde baru. Mereka menganggap orde baru telah memberangus idealisme mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control. Reformasi berkebangsaan menjadi wajib hukumnya, karena pemerintah dinilai belum berhasil membawa rakyat pada tingkat kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Reformasi Indonesia menjadi titik nadir peran serta pergerakan kemahasiswaan, dimana mahasiswa menjadi aktor utama dari perubahan bangsa ini. Setelah itu, pergerakan mahasiswa kembali vakum dan terjajah dengan pragmatisme kemahasiswaan mereka. Saat ini, setelah reformasi pergerakan mahasiswa layaknya sebuah semak-semak belukar yang tidak terurus.
Padahal peran serta pergerakan mahasiswa tidak hanya sekedar menjadi agent , tetapi juga menjadi director of change dan director of social control. Glamor dan hedon seakan telah menjadi budaya dan tren baru di kalangan mahasiswa, dunia pergerakan kemahasiswaan sepi seperti tidak berpenghuni. Jikapun berpenghuni para aktivis pergerakan kemahasiswaan terlalu nurut dan patuh terhadap kebijakan kampus ataupun pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Dunia pergerakan kemahasiswaan sudah tidak plural, bahkan mahasiswa seperti halnya boneka percobaan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Lebih parahnya lagi, dunia pergerakan kemahasiswaan belakangan ini ditunggangi kepentingan-kepentingan yang tidak pro-rakyat. Terlebih pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden, pergerakan kemahasiswaan terlalu pragmatis dan materialistis. Idealisme pergerakan kemahasiswaan terberangus kepentingan elit, independensi pergerakan kemahasiswaan tergerus oleh politik berbasis patronase.
Pergerakan kemahasiswaan telah mati, dan kemerdekaan hanyalah menjadi asap di atas ngebulnya bara api. Pergerakan kemahasiswaan harus segera bangkit, sebab Indonesia sedang krisis. Krisis komitmen berkebangsaan yang memperjuangkan bangsa berlandaskan integritas moral, kecakapan intelektual dan kecakapan manajerial. Lantas sampai kapan pergerakan kemahasiswaan mengalami kematian?
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html