Seandainya Hatta Ada

Andaikata Mohammad Hatta masih ada, hari kemerdekaan 17 Agustus ini,  dirinya mungkin saja didaulat untuk berkisah seputar kejadian bersejarah tersebut. Lebih penasaran lagi, apa kiranya nasehat sosok proklamator itu untuk kehidupan kini?
Paling tidak, bagi siapapun yang telah membaca Memoar Hatta, kehidupannya kontras dengan kehidupan enak para elit dewasa ini. Karena itu, bagaimana kalau si Bung itu diminta saja mengomeli para elit.
Ya, politik hari ini terlalu gaduh. Sialnya, banyak urusan rakyat kecil jadi terlantar. Biarlah Hatta menjawil telinga para elit. Sembari berkata-kata, “Hei, hidup kalian sudah terlalu mewah!”
Hari ini, tak satupun elit politik-- yang pastinya mengepalai gerbong partai-- adalah orang-orang pergerakan dengan hidup penuh keterbatasan. Hatta, meski tergolong dari keluarga saudagar-agamawan,  kehidupannya sederhana.
Elit yang sekarang berada di panggung petarungan politik nasional merupakan keturunan, anak-cucu, para kemenakan bekas petinggi, pejabat, ataupun konglomerat. Untuk sekadar sekolah ke luar negeri, mereka tak perlu repot-repot memburu beasiswa atau utang sana-sini. Mereka sudah diberkati dengan pendana yang pasti.
Hingga menjabat Wakil Presiden RI Pertama, Hatta masih meninggalkan utang sekolah f6.000 (gulden). Sekelas wapres mencicil pokok utang dan bunga. Utang itu baru terlunasi seluruhnya pada 1950.
Begitupun Sjahrir, Tan Malaka, atau Semaun sekalipun. Mereka harus pontang-panting menutup utang akibat ongkos studi ataupun hidup sebagai pelarian/buangan. Maklum, dunia pergerakan bukan “tiket” hidup gratis, para tokoh tersebut harus tetap bekerja dan memikirkan urusan dompet.
Cobalah lihat sekarang. Elit mana yang nasibnya mengenaskan serupa mereka. Prabowo, Bakrie, JK, Harytanoe, SBY, Megawati, atau Jokowi? Jawabnya tak satupun.
Tan Malaka, hingga kembali ke Tanah Air kali pertama setelah studi di Belanda pada 1919, dirinya harus bekerja mengajar di perkebunan Deli, Sumatra Utara. Hasil kerja itu untuk menutup utang kepada sang guru Horensma dan Engku Fonds di kampung halaman.
Lebih lucu lagi, para tokoh itu tak menjadikan kedudukan--untuk yang sempat-- sebagai garansi pengganti utang pribadi. Ehm, kalau para anggota dewan yang terhormat generasi sekarang, para pucuk pimpinan partai, hingga para pejabat di daerah, mungkin mengejar kekuasaan untuk tidak saja melunasi utang, peluang bisnis dan profit pun disabet.
Tak percaya? Bolehlah menjembreng sekian banyak kasus dari sayap bisnis para penguasa itu yang pada akhirnya dibebankan ke negara lewat APBN. Lapindo salah satunya saja, atau mungkin nanti utang Harytanoe. Toh, diam-diam banyak yang menyambi sebagi pelayan mesin uang dan aset partikelir milik pengusaha yang mendomplengi anggaran ataupun program negara.
Kontras dengan Hatta. Terbukti dengan mencicil utang hingga selang beberapa tahun menjabat orang nomor dua di republik ini, gaji Hatta mungkin minim pada waktu itu. Sederhananya tak sebesar gaji ataupun tunjangan pensiunan jenderal seperti Prabowo yang mampu membangun kediaman tak ubahnya istana di Hambalang, atau SBY di Cikeas sana.
Kebiasaan
Kebiasaan atau hobi Hatta mengoleksi buku. Bahkan saat dibuang ke Boven Digul, terdapat belasan peti berisi buku bacaan yang ikut diboyong. Selain kutu buku, kebiasaan Hatta yang patut dicatut bagi para elit kini, adalah taat asas, terutama perihal waktu.
Kalau ada lomba kehadiran tepat waktu, Hatta di antara kawan pergerakan lainnya selalu nomor satu. Untuk urusan membagi waktu dan ketertiban hidup, duet maut Soekarno itu telah terbiasa sejak belia.
Tiap hari, Hatta hampir selalu menaati jadwal harian yang dibuat. Mulai dari jam bangun pagi, sholat, lari pagi, belajar, kuliah, hingga kumpul rapat dan diskusi. Pada detik jelang proklamasi sekalipun Hatta tak menginap di rumah Soekarno, saat waktu yang dijanjikan berkumpul pukul tujuh kurang lima menit, dirinya telah muncul.
Dari satu pelajaran dagang, Hatta berkesempatan dan lulus memuaskan dalam studi lain, hukum internasional dan ekonomi politik. Berlembar karangan pun dibuat untuk koran Neratja di Batavia. Berjilid-jilid Daulat Rakyat, media milik PNI, dibesut Hatta.
Dari sana tak ada yang sia-sia. Konsepsi demokrasi pancasila, demokrasi ekonomi dalam wujud koperasi, merupakan buah pikiran Hatta yang dapat  memandu jalan republik muda.
Kalau untuk elit masa kini, Hatta mungkin berucap “Kalian itu sontoloyo. Apa yang harus dikerjakan, ditinggalkan. Apa yang bukan urusan, kalian recoki!”
Kerja para elit sekadar lobi-lobi politik, main golf. Memikirkan nasib bangsa? Serahkan saja pada tim ahli yang juga mendapat gaji negara.
Tim ahli inilah yang menyedot banyak biaya dan anggaran. Bahkan sekelas riset-riset kementerian, boleh dicek, banyak digarap para vendor. Atau malah untuk lembar akademik dikaji oleh lembaga think tank dari luar yang mengongkosi pagelaran dagelan politik.
Tak pelak, kehidupan politik tak lagi substansial, terasa gersang karena saking banyaknya debat kusir di televisi atau saling serang di media sosial. Untuk sekadar “sama” dengan rakyat yang dianggap mereka wakili, para elit itu susah payah bersandiwara naik becak, pokoknya memasang tampang susah.
Mereka minim imaji, cenderung menghindari polemik yang konseptual. Satu-satunya bakat yaitu mengumbar kenyinyiran. Tak perlu menelanjangi bukti kemampuan para elit yang hanya bisa memamerkan kenyinyiran; mulai dari SBY, Prabowo, Jokowi, JK, Mega, hingga Amien Rais.
Dulu, kehidupan antar insan gerakan tak begini. Hatta versus Soekarno, Tan Malaka versus Soekarno-Hatta, Sjahrir versus Soekarno, atau Semaun-Darsono versus Agus Salim. Semuanya berbalas melalui kolom artikel yang panjang-panjang.
Koran Persatuan Indonesia pernah menyerang pendirian Hatta terkait undangan menjadi calon wakil majelis rendah di Belanda. Hatta, lewat Daulat Rakyat pun menangkis dan menyerang balik Soekarno-Partindo.
Keduanya jelas terlihat mengadu konsep terkait subjek politik non koperatif terhadap Kolonial Belanda. Kedua kubu berlandaskan argumentasi yang kuat. Khusus polemik tersebut, keduanya memberikan acuan dan paradigma politik non-kooperatif.
Dari polemik, publik mendapat wawasan baru terkait garis politik, pengetahuan sejarah, serta paradigma yang dibangun kedua kubu. Tentu, tidak seperti sekarang.
Dari ragam sosial media yang tersedia, para elit hanya bisa menelorkan sumpah serapah dan saling nyinyir. Sialnya, mereka-mereka itulah yang dijadikan kiblat bagi kehidupan politik seluruh lapisan masyarakat. Apa boleh buat, Hatta dan generasinya telah tiada.
(Disarikan dari Memoar Hatta)
Comments
0 Comments

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html