DOSEN REVOLUSIONER
“Dosen bukanlah Dewa yang selalu benar, dan mahasiswa bukan kerbau.”
Ucapan sang demontran tersebut barangkali bisa menjadi representasi yang kuat dalam membaca kondisi sikap ‘manutan’ mahasiswa sekarang. Ada sebuah kenaifan dalam mahasiswa yang sinis jika membicarakan tentang birokrasi kampus, Pemilwa, pemilihan rektor, dan lain-lain. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dalam membaca realitas di sekitar mereka dan memilih lebih baik apatis daripada mengurusi semua itu. Kita digempur secara struktural dan kultural, tinggal siapa yang lebih kuat dia yang menang. Malahan ada oknum-oknum tertentu yang sengaja memanfaatkan keapatisan mahasiswa untuk kepentingan mereka sendiri. Parahnya lagi mereka yang bisa ‘diajak ngobrol’ pun apatis. Lalu bagaimana?
Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab sakaratul maut-nya kekritisan mahasiswa sekarang. Pertama mahasiswa kurang kritis pada diri sendiri. Kedua, mahasiswa kurang kritis pada temannya sehingga saat ingin mengkritisi realitas sosial itu buntu. Dilihat dari lalu lalang informasi sendiri, pamphlet kurang apa? Acara seminar kurang berapa banyak? Pers kurang apa? Setiap hari saja portal berita online kampus update. Dalam sebulan beribu bulletin pers di tingkat universitas dan fakultas terbit. Pers sudah melakukan counter-hegemoni, tetapi kesadaran tetap saja tak terbentuk, belum ada kesadaran massa disana. Mahasiswa hanya diam saja, merasa baik-baik saja, masih mending jika mau membaca berita-berita kampus atau hanya sekedar bilang, “Oh, iyo-iyo” thok.
Tak hanya pers, di tataran fakultas sendiri ada beberapa fakultas yang melakukan diskusi rutin yang sifatnya fakultatif tapi yang bertahan lagi-lagi hanya segelintir saja. Lalu masalah apa yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa sehingga keapatisan itu bisa sedemikian parahnya?
Di sisi lain ada kenyamanan dalam mahasiswa itu sendiri. Banyak sekali faktor kenyamanan itu. Misalnya, mahasiswa terhegemoni kenyamanan kampus. Ada pola pikir yang mempengaruhi mahasiswa yang itu terulang setiap hari: masuk kelas, duduk, diam mendengarkan, pulang. Ditambah mahasiswa terkungkung dalam media sosial (setelah BBM, mampu menggeser fungsi FB sendiri, juga pastinya menggeser buku-buku). Mahasiswa seolah memiliki dua dunia yang membelenggu mereka, antara realitas nyata dan menjadi aktivis maya. Juga ada pergeseran budaya yang membunuh kesadaran mahasiswa, kebudayaan yang menyamankan itu seperti maraknya café, mall, warkop, dan lain sebagainya.
Angin segarnya, ada semacam kesadaran ‘mahasiswa harus sadar, mahasiswa harus kritis, mahasiswa harus baca buku’. Kesadaran seperti itu muncul dari mereka para intelektual organik, baik kalangan aktisvis terlebih lagi dosen. Jika ranahnya kelas, sekarang yang dikritik tak cuma mahasiswa, tapi juga dosen!
Revolusi Dosen
Saat bicara mahasiswa kita juga bicara dan berhadapan dengan sistem di atasnya yaitu dosen. Posisi jadi dosen itu nyaman. Banyak dosen sekarang yang membiarkan mahasiswanya terlontang lantung. Dan parahnya sistem menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Dosen pun juga merasa tenang-tenang saja dengan kultur mahasiswa yang apatis seperti itu. Ada juga sebagian dosen yang melakukan penelitian yang hasilnya tidak jelas dan ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan sendiri, semisal prasyarat gaji dan kenaikan pangkat. Dosen yang mengikuti logika pasar, innalillahi…
Yang ingin saya katakan melalui tulisan ini ialah semacam kritik terhadap keapatisan mahasiswa melalui prolog mahasiswa di atas dan kritik terhadap “dosen”. Kenapa dosen? Karena setiap hari yang didengar mahasiswa adalah dosen (baik itu mahasiswa ktitis, apatis, lebih-lebih mahaiswa kupu-kupu—yang tak tahu dunia luar, kecuali kamar kos dan kelasnya saja). Secara psikologi, sadar atau tidak dosen bisa memberikan ruang penyadaran yang masif terhadap mahasiswa. Jika pemantiknya dari kalangan sebaya tidak ada legitimasi, kalau dosen pasti ada.
Manusia asli adalah manusia yang mau berbagi