Gramsci melihat bahwa faktor ekonomi bukanlah satu-satunya keniscayaan prasyarat revolusi, melainkan hanya salah satu kondisi dan terdapat kompleksitas lain termasuk masalah kultural, intelektual, dan moral yang perlu dianalisis. Berbeda dengan pandangan Marx yang hanya memandang sekedar sebagai ranah ekonomis, tetapi sebagai ajang kontestasi dan perjuangan memenangkan hegemoni. Gramsci mengartikan bahwa banyak faktor-faktor lainnya dalam pembentukan kelas-kelas yang terjadi di dalam masyarakat, sebagai contoh misalnya selain kelas yang dibedakan dari sudut pandang ekonomi yaitu dalam masalah kultural, misal adanya perbedaan kebudayaan, agama, ataupun kebiasaan antara daerah yang satu dengan lainnya, hal ini tentu saja sangat rentan dalam terciptanya konflik. Pendapat Gramsci ini juga dikuatkan oleh pemikiran Georg Lukacs yang mengingatkan kita pada gerak dan perhitungan dalam matematika dapat memiliki kemungkinan irasional. Sehingga kita tidak dapat bergantung hanya pada kemungkinan yang positivistik semata. Dibandingkan pemikiran Marx, apa yang diutarakan oleh Gramsci merupakan suatu jawaban yang multidimensi.
Kaum borjuis membuat kaum proletar harus membayar mahal atas kesalahan-kesalahan mereka, kelemahan yang ditunjukkan mereka karena rasa takut. Kaum Borjuis sendiri tidak pernah terpecah, tidak pernah menunjukkan rasa takut dalam menyerang, dalam bereaksi terhadap serangan-serangan yang dilancarkan terhadap dirinya. Kaum borjuis menurut Gramsci memiliki kekuatan yang memadai untuk memberikan sebuah solusi terhadap kelas buruh. Kelas buruh tidak dapat sendiri, mereka tidak tahu bagaimana merebut kekuasaan dan menggulingkan musuh-musuhnya tanpa pendidikan atau pengalaman mereka. Tidak seperti kaum borjuis yang memiliki kesempatan untuk menyadari, memiliki waktu untuk menganalisa dan merancang gerakan bersama. Katakanlah di Indonesia, kaum borjuis yang sering diumpamakan sebagai pemilik modal ataupun pemilik perusahaan tidak takut akan serangan yang dilancarkan oleh gerakan dari para kaum buruh ataupun masyarakat miskin ataupun kaum proletar, penguasa dapat dengan mudah memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang terjadi, mereka dapat mengatur hukum dengan uang mereka dan bekerja sama dengan pihak pemerintah untuk memenangkan suatu perkara.
Gramsci memperhitungkan faktor afeksitas, relasi spiritual, retorik dan aturan sosial yang dinegosiasikan bahkan dalam konflik kepentingan dan ideologi. Dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi diperlukan adanya negosiasi antara pihak yang berkonflik, agar permasalah dapat diselesaikan. Gramsci meletakkan kekuasaan (power) tidak sekedar di dalam superstruktur bernama negara melainkan menyediakan sebuah lahan kontestasi kekuatan dalam pemilihannya akan civil society. Apa yang dapat dikritisi kembali pada pemikiran Gramsci adalah bagaimana kemudian kontestasi dapat terbentuk dalam konteks masyarakat kapitalis individualistis yang pada masa ini.