Hal Konyol Itu Bernama Ospek !
Akhirnya kita kembali dalam semester ganjil. Selesai sudah kegembiraan liburan dan kembali juga kita bersama di hadapan dosen- dosen galak itu. Dimana tahun ajaran baru juga kembali bergulir di berbagai kampus. Tentu, hal ini gak luput dari dimulai nya melankolia dunia kuliah bagi ribuan mahasiswa yang baru saja diterima di perkuliahan ini.
Ciee, yang sekarang sudah jadi mahasiswa, bolehlah kalian berbangga. Karena sudah hampir berhasil merdeka dari sistem pendidikan yang kita tahu sangat memperbudak ini. Meski ya, naif juga jika berpikir bahwa kuliah sendiri itu tidak memperbudak. Tapi, bersyukurlah kalian tidak harus berkutat dengan seragam serta mata pelajaran yang tidak kalian sukai. Jadi, sesedikit bersyukur aja lah..
Aku sebagai mahasiswa butiran rinso yang sudah dijajah oleh tugas dan dosen selama satu tahun ini akan mulai membahas tentang sebuah ritual yang selalu diadakan kampus setiap tahun ajaran baru. Ya, ritual yang punya sebutan halus “pengenalan” agar terlihat lebih manusiawi. Permasalahannya apakah ritual tersebut masih perlu untuk dilestarikan dalam dunia kampus kita?
Akhir- akhir ini mulai banyak mahasiswa yang menggugat kampusnya sendiri dikarenakan sistem yang merugikan mahasiswa. Contoh saja adalah bagaimana bergulir sistem pembayaran UKT yang melilit leher banyak mahasiswa dikarenakan mahalnya harga yang harus dibayar untuk bisa belajar di dalam kampus. Penindasan ini tak hanya berhenti dalam bentuk UKT saja, melainkan juga lewat sebuah perubahan sistem yang dilakukan oleh pemerintah lewat kampus- kampus negerinya. Salah satunya adalah penetapan status Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH) yang sudah mulai ditetapkan di banyak kampus. Awalnya memang kebijakan- kebijakan ini terlihat baik dikarenakan akan membuat sistem pengajaran di kampus berjalan efektif. Namun, kenyataan yang terlihat malah jauh lebih menyedihkan. Pendidikan sekarang menjadi sebuah komoditas yang dijual oleh otoritas kampus untuk mencari keuntungan. Lihat saja, banyak dari mahasiswa yang mendapatkan UKT yang sangat mahal dan bahkan tidak wajar melihat kondisi keluarga mahasiswa tersebut.
Selain itu, birokrat kampus seakan tidak peduli dengan fasilitas pendidikan yang ada. Banyak gedung yang dibangun dengan kualitas seadanya, bahkan banyak juga yang terhenti pembangunannya. Unit Kegiatan Mahasiswa atau UKM-pun juga banyak yang kesulitan mendapatkan dana yang pantas untuk acara- acara yang mereka jalankan. Sehingga banyak dari mereka harus berusaha keras mencari dana agar acara mereka tetap lancar terlaksana. Malah, kampus yang didukung oleh regulasi komersialisasi macam PTN- BH melakukan pemborosan dan memberikan jalan masuk untuk para pemodal kedalam kampus. Tak heran jika kantin kampus serta gedung- gedung fakultas sudah ada sponsor layaknya klub bola. Mereka juga turut mencari keuntungan dari kantong para mahasiswa yang sejatinya sudah dieksploitasi oleh regulasi dan institusi kampus.
Jadi, apa hubungannya ospek dengan berbagai fenomena mahasiswa yang menuntut hak yang dikebiri oleh kampusnya sendiri?
Ospek atau yang dikenal dengan pengenalan lingkungan kampus,PBAK, atau semacamnya ini menghabiskan dana yang tidak kecil dengan sementara sarana prasarana kampus yang begitu memprihatinkan. Jelas, acara megah sekelas ospek kampus itu tidak main- main dana nya. Kita semua sadar soal itu dan malah mengaminkan hal tersebut tetap terjadi. Saya berani fair jika adek- adek(kata-kata para kandayya) bisa berpikir lebih terbuka, merdeka, dan kritis dengan diadakan nya hal konyol sebesar itu. Namun nyatanya? Contoh saja apa yang saya liat dan alami di kampus sendiri adalah bagaimana perjuangan mahasiswa seakan dilupakan. Okelah jika lagu- lagu perjuangan seperti “DARAH JUANG” atau “Buruh Tani” seringkali dikumandangkan saat acara tersebut. Ditambah pula dengan pekikan “Hidup Mahasiswa ! dan Hidup Rakyat Indonesia” yang dilakukan oleh pejabat- pejabat organisasi pemerintahan mahasiswa dengan muka penuh sangar seakan ketika memekikan jargon tersebut kemenangan revolusi sudah didepan mata. Cuman ya, maaf nih. Semua itu sebatas pemanis saja. Jadi, saya yakin ditelinga para maba hanya akan terdengar sebagai sebuah identitas manis agar keliatan keren aja. Toh juga gak menutup kemungkinan jika banyak yang merasa terpaksa ketika disuruh meneriakkan atau menyanyikan itu akibat tubuh dan pikiran yang sudah lelah setelah ceramah berbagai orang penting dan teriakan- teriakan korlap yang ga jauh beda sama Satpol PP.
Yang perlu saya soroti lagi adalah bagaimana ritual ini mengenalkan isi kampus sebagai tempat yang gitu- gitu aja. Konten yang diperkenalkan bukanlah mengenai pergerakan mahasiswa atau bagaimana perjuangan mahasiswa yang menuntut akan hak- hak mereka. Melainkan malah hanya memperkenalkan kampus tersebut dengan sederetan prestasi yang tiada habisnya. Saya menggunakan kata “hanya” karena wacana yang coba disampaikan serasa tidak komplit. Cobalah kita memperkenalkan secara seimbang antara prestasi dan pergerakan. Sembari beromong kosong ria soal jumlah medali dan penemuan, konten acara bisa bicara banyak soal kampus tersebut punya sejarah dalam berjuang bersama rakyat yang tertindas. Bisalah kawan-kawan baru kita ini diperkenalkan soal lulusan- lulusannya yang pernah berjuang atas nama melawan penindasan.. Meski terkesan romantisme belaka, bagiku sendiri ga ada salahnya untuk sedikit mengintip alimni nya buat menambah pengetahuan dan belajar soal perjuangannya dulu. Ketimbang dicekokin prestasi terus sampai mampus, memang dikira mahasiswa itu tujuan nya jadi buruh penghasil prestasi untuk kampusnya?
Lalu kita kembali pada hal yang sering kita saksikan fenomena senior-junior. Disini yang senior merasa bahwa dia adalah pahlawan kesiangan yang tahu akan segala hal mengenai dunia kampus dan mungkin ialah yang paling berhak dalam memberikan wejangan dan cerita nabi- nabi kepada dinda-dinda nya sambil mencoba menjalin romantisme. Lalu dalam sistem hirarki pendidikan kita yang feodalistik ini, mahasiswa baru dianggap seperti barang atau komoditas yang perlu dipoles lagi agar lebih kece di kampus nya. Dengan simbolisasi pakaian hitam putih yang gak jelas apalagi sampai ngurus- ngurus masalah rambut. Mereka ini diposisikan sebagai manusia yang tidak mengerti apa- apa dan hanya ikut pada jalan yang ada. Adakah titik resistensi disana?
Sepengetahuanku, banyak juga mahasiswa baru kita yang jauh lebih jenius dan bahkan lebih kritis ketimbang kakak- kakaknya yang sudah terkena sindrom ketertundukkan. Namun karena sistem pendidikan kita masih menganut “bahwa yang tua adalah segalanya” maka tidak heran jika maba ini tidak diberikan ruang agar ia bisa bersuara. Banyak cara untuk mematikan hal tersebut. Bisa lewat peminggiran sosial dengan sistem angkatan yang harus “solid dan satu”. Atau malah yang lebih
bar-bar lagi adalah penggunaan emosi dan tekanan fisik pada sang maba.
Hal konyol diatas ini bagiku sendiri hanyalah sebuah kontrol atas tubuh belaka agar mahasiswa yang sadar bahwa dunia ini tidak baik- baik saja makin minor jumlahnya. Lebih baik kampus mengembangbiakkan mahasiswa yang suka jadi Event Organizer atau pengusaha peralatan ospek ketimbang mereka yang melihat realita dengan kesadaran kritis. Yang ada cuma bikin rektorat pusing terus! Kadang saya juga miris melihat pengabdian hanya diartikan sebagai penelitian sambil memberi bantuan tanpa mencoba benar- benar menganalisa masalah atau seminimalnya ya coba berikan solusi gitu. Tidak usah lah berpikir luas bahwa pengabdian atas nama kemanusiaan itu hanya untuk masyarakat luar kampus saja. Coba tengok lingkunganmu. Adakah dari mereka yang terancam tidak bisa kuliah karena tak punya uang? Adakah pedagang kantin kampus yang terancam digusur? Adakah Ospek yang mengajarkan seperti itu? Jika ada saya berani yang paling terdepan untuk mengapresiasi. Karena disanalah seharusnya mahasiswa berdiri. Manusia berlabel mahasiswa itu adalah kemewahan bagi spesiesnya. Mahasiswa memiliki akses lebih dalam ilmu pengetahuan yang nantinya akan membentuk kerangka berpikir dalam memecahkan masalah. Dan sekarang tinggal pilihan kita aja mau jadi mahasiswa kaya apa, Membiarkan pembodohan dan perbudakan ini berlanjut atau hanya diam saja?
Mampus kau dikoyak-koyak ospek !