Tugas-Tugas Kita Soal Budaya Literasi

Kita patut miris ketika memperhatikan kondisi hari ini karena Indonesia sebagai negara besar yang sedang berkembang mempunyai indeks minat baca yang sangat rendah. Dalam survey yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu menyebutkan bahwa dalam budaya literasi, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara [1]. Sedangkan menurut penelitian UNESCO pada 2012 menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang suka membaca. Sedangkan menurut penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, bahwa dalam kemampuan membaca siswa, Indonesia menempati urutan ke-69 dari 76 negara. Hasil tersebut bahkan lebih rendah dari Vietnam yang menempati urutan ke-12 dari total negara yang di survey [2]. Parahnya lagi, BPS pernah mengeluarkan data tahun 2012 yang menyebutkan bahwa 91,58% dari penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas lebih suka menonton televisi. Sedangkan yang minat membaca buku atau majalah hanya mencapai sekitar 17,58%. Tahun 2015, Perpustakaan Nasional RI juga mengeluarkan kajian, dimana hanya 25,1% dari masyarakat Indonesia yang minat membaca [3]. Banyak hasil-hasil survey lain juga yang menunjukkan budaya membaca kita sangat rendah.

Hal tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia mengalami krisis intelektualitas yang sangat parah. Bisa dipastikan bahwa budaya membaca rakyat telah berkurang sejak naiknya pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut dibuktikan dari adanya penghancuran generasi intelektual tahun 1965, pemberangusan buku-buku progresif, hingga dipisahkannya rakyat dari politik sehingga rakyat tidak mempunyai kesadaran kritis sama sekali. Pemerintahan otoriter Orde Baru pada akhirnya membuat propaganda-propaganda yang fungsinya untuk membodohi rakyat seperti membuat film yang berisi distorsi sejarah berjudul Pengkhianatan G30S/PKI serta membuat propaganda kebohongan lainnya. Buku-buku Benedict Anderson dan Pramoedya Ananta Toer yang sarat akan makna pun tidak lepas dari pemberangusan. Bahkan banyak buku-buku yang dicap buku komunis – atau bahkan buku ekstrimis kanan – pada akhirnya diberangus oleh pemerintah. Maka tidak heran jika kita baru mengenal Gramsci atau tokoh seperti Horkhaimer misalnya ketika pemerintahan Orde Baru runtuh. Selepas pemerintahan Orde Baru runtuh, rakyat Indonesia tidak terlepas dari masa kegelapan. Pada akhir-akhir ini misalnya banyak stigma komunis yang beredar, seperti Ahok yang dituduh komunis atau pemerintahan Jokowi yang disebut komunis hanya karena mengadakan kerjasama dengan Cina misalnya. Parahnya lagi, stigma komunis sama dengan liberal serta Atheis juga banyak beredar. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia sangat tidak tercerahkan karena berkurangnya indeks minat baca.

Sayangnya, para pemuda-pemuda progresif yang memulai gerakan literasi dengan tujuan untuk mencerdaskan rakyat banyak yang diberangus dengan tuduhan mengganggu ketertiban atau dituduh komunis. Masih segar dalam ingatan kita ketika 3 mahasiswa Telkom University diskorsing karena menyuarakan literasi, adanya pembubaran-pembubaran seminar Marxisme serta LGBT, hingga represi aparat terhadap perpustakaan jalanan di Bandung. Pada akhirnya, semua kampanye gerakan literasi diberangus oleh pemerintah dengan tujuan agar rakyat tidak kritis. Tidak mengherankan jika banyak rakyat Indonesia pada akhirnya tidak mengetahui situasi dan perkembangan dunia kini. Kebanyakan rakyat Indonesia hanya mengetahui hal tersebut dari televisi. Bayangkan saja, hasil survey yang dilakukan oleh KPI tahun 2015 menyebutkan bahwa indeks kualitas program siaran 15 televisi di Indonesia hanya 3,27% atau masih dibawah standar ketentuan KPI – yaitu 4.0 [4]. Jika rakyat Indonesia hanya melihat perkembangan dunia dari menonton televisi saja, bisa dipastikan bahwa rakyat Indonesia menonton banyak acara pembodohan dan cuci otak media.

Kurangnya minat baca dan meningkatnya partisipasi rakyat dalam menonton pembodohan tidak bisa terlepas dari sebab-sebab historis. Selain karena pembodohan dan kekerasan budaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap rakyat, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan budaya literasi kita tidak berkemajuan. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah banyaknya buku-buku yang dilarang beredar oleh pemerintah karena dianggap akan meracuni pemikiran anak bangsa seperti buku-buku filsafat atau buku-buku yang bertendensi sastra, kurangnya partisipasi dari kaum intelektual untuk menerjemahkan buku-buku dari negara lain, hingga adanya pelarangan dari kaum-kaum fanatisme terhadap beredarnya buku-buku lokal yang dianggap menghina agama seperti Serat Darmogandhul atau Serat Centhini Pegon yang terkesan berbau pornografi. Selain itu, kita juga perlu melihat bahwa rakyat juga mengalami alienasi akibat eksploitasi kerjanya. Misalnya, seorang pekerja tidak akan mungkin mempunyai waktu membaca buku karena waktunya banyak disediakan untuk bekerja (selama 8 jam misalnya), beristirahat atau bercengkrama dengan keluarga (selama 5-6 jam misalnya), lembur (selama 2 jam misalnya), sisanya mungkin digunakan untuk tidur. Dari akumulasi waktu yang ada, kebanyakan rakyat Indonesia tidak mempunyai waktu yang memadai untuk membaca buku atau sekedar membaca koran misalnya.

Hari buku sebagai momentum gerakan literasi internasional bukanlah sekedar hari seremonial membaca buku, tetapi lebih dari itu. Hari buku yang dahulunya merupakan simbol kebangkitan budaya literasi dengan mengambil tanggal kematian William Shakespeare sebagai seorang penulis besar, sekarang menjadi tanda matinya budaya literasi. Sebagai kaum progresif-revolusioner, kita patut menyikapi hal tersebut. Melihat kondisi tersebut, kita sebagai kaum progresif-revolusioner sudah seharusnya melakukan tugas-tugas pendidikan agar rakyat membuka mata terhadap kondisi dan situasi realitas di sekitarnya yang mempengaruhi mereka. Salah satu tugas pendidikan yang harus kita gapai ialah menggalakkan budaya literasi di kalangan pelajar, mahasiswa, kaum buruh, dan kaum tani. Kita perlu membuat counter-hegemony terhadap hegemoni ilmu pengetahuan yang ditetapkan pemerintah sebagai perpanjangan tangan korporasi. Kita perlu membuka kesadaran rakyat bahwa kita sudah dibutakan matanya dengan ilmu-ilmu yang terkesan menjauhi rakyat dari realitas. Dengan melaksanakan tugas-tugas tersebut tanpa memperdulikan kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang pro terhadap status quo pemerintahan serta korporasi, kita harus menyadarkan rakyat lewat kampanye budaya literasi sehingga rakyat sadar akan realitas yang melingkupinya dan mau melawan eksploitasi atas diri mereka.

Sumber:

[1] Sjafri Ali. Komisi X: Budaya Literasi Indonesia Perlu Ditingkatkan. 22 Desember 2016. Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat.
http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/12/22/komisi-x-budaya-literasi-indonesia-perlu-ditingkatkan-388550
diakses pada 7 Maret 2017.

[2] ____. Dari 76 Negara, Minat Baca Siswa Indonesia Peringkat ke-69. 22 Maret 2016. Dimuat dalam Harian Jogja.
http://www.harianjogja.com/baca/2016/03/22/penelitian-terbaru-dari-76-negara-minat-baca-siswa-indonesia-peringkat-ke-69-703442
diakses pada 23 April 2017.

[3] Syahrul Minar. Minat Baca Rendah, Mayoritas Warga Hobi Nonton Televisi. 28 April 2016. Dimuat dalam Harian Kompas.
http://regional.kompas.com/read/2016/04/28/21020061/Minat.Baca.Rendah.Mayoritas.Warga.Indonesia.Hobi.Nonton.Televisi
diakses pada 23 April 2017.

[4] Dwi Erianto. Survey Litbang Kompas: Televisi, Dua Sisi Mata Uang. 30 Maret 2016. Dimuat dalam Harian Kompas.
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/05374961/Survei.Litbang.Kompas.Televisi.Dua.Sisi.Mata.Uang
Diakses pada 23 April 2016.


Comments
0 Comments

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html