FPPI Makassar Bakal Gelar NDK I Se-Indonesia Timur

Pengurus Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) kota Makassar bakal menggelar jenjang pendidikan Nasional Demokrasi Kerakyatan  (NDK I) di Benteng Somba Opu kota Makassar.

Sekjen FPPI Makassar, Muslim mengatakan, NDK I rencananya digelar 21 Desember 2018.

"Kami rencana menggelar NDK I di Makassar, untuk tempat pelaksanaannya akan kami adakan di benteng somba opu," kata Muslim.

Menurut beliau, rencananya peserta NDK I adalah perwakilan tiap2 kota di daerah timur.

"Pelaksanaannya sudah siap, kami juga sudah melakukan pendidikan menuju NDK I disekret" tuturnya.

Pesimisme Ber-Negara

Oleh: Muhlis

Semalam saya sangat bosan, tidak tahu mau berbuat apa, beberapa kali bolak-balik ambil gitar digantungan paku di dinding kamar, teriak lampiaskan kebosanan, kupaksa juga seorang kawan main catur sampai-sampai justru menambah kebosanan saya karena selalu saja saya kalah. Baiklah, saya kekamar saja, berbaring, menghadap plafon. Kegilaan pun muncul, bertanya konyol, dapatkah negara berperan mengatasi kebosanan saya ini? Atau paling tidak saya merasakan kehadiran negara, tidak seperti kata seorang kawan saya beberapa hari yang lalu. Katanya, ia hanya merasakan kehadiran negara waktu ia di sweeping Polisi lalu lintas.

Sudah, itu tidak penting, kita hentikan basa-basinya.

Pesimisme adalah cara pandang mengesankan, segala sesuatu kita pandang dari sisi buruknya.

Dalam hal bernegara, kira-kira apa yang dapat membuat kita riang gembira?
Misalnya dari jawaban-jawaban ini;
Buruh: saya makan 3 kali sehari, jam kerja 8 jam, dan UMK sesuai.
Mahasiswa: semua diberikan hak memperoleh pendidikan formal.
Petani: negara tidak impor beras.
Gelandangan: saya dipelihara negara.
Kaisar: pembangunan bisa saya maksimalkan.

Jawaban-jawaban diatas bisa saja terjadi. Tapi, pada jawaban Kaisar menarik untuk kita tanggapi. Khususnya di Indonesia sendiri, terserah pembaca ingin menganggapnya seperti apa, tapi bagi saya, Indonesia bisa saja dikategorikan Overdeveloped State (negara yang terlalu maju). Asumsi negara dalam hal kemajuan adalah Pembangunan besar-besaran. Sekali lagi, ini menarik untuk dibahas. Sekalipun pembangunan besar-besaran belum sepenuhnya merata di seluruh daerah, lambat laun akan terjadi juga. Selama negara ber-Mazhab ekonomi Neoliberalisme, daerah-daerah tertinggal akan dilirik juga untuk melangsungkan pembangunan.

Paradigma ini mesti diuji. Apakah ukuran sebuah negara maju adalah pembangunan atau keadaan bahagia masyarakat? Kalau pembangunan hanya membuat bahagia kelas dominan atau kelas berkepentingan saja, berarti paradigma ini gagal.

Baiklah, kita lanjutkan pembahasan pada hal yang lebih membuat pesimis lagi.

Masih terkait soal pembahasan diatas, kali ini orientasinya lebih kepada membangun paradigma baru, jika memang paradigma mainstream tadi gagal. Artinya kita butuh aktor-aktor ideal atau Dewan-Dewan Revolusioner. Kita ambil contoh, sebut saja Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Beberapa waktu lalu, ada asumsi yang berkembang dalam masyarakat, bahwa Majene adalah wilayah yang dianak tirikan di Sulawesi Barat, asumsi itu berkembang pada waktu sengketa blok Migas kemarin. Menurut hemat saya, pasti ada hal menarik dibalik itu. Misalnya, Majene bisa saja adalah pusat lawan politik Pilgub kemarin, atau hal yang lebih mengerikan lagi adalah Dewan yang mewakili suara rakyat Majene di Provinsi itu tidak ideal.

Dari pembacaan diatas, sekali lagi, terserah para pembaca ingin menanggapinya seperti apa, tapi yang jelas saya mengajak para pembaca agar mampu menamai realitasnya sendiri, apakah kursi-kursi misalnya dalam tataran legislator itu benar-benar di isi oleh orang-orang ideal atau hanya dengan niat mencari kedudukan saja? Jika iya, maka wajar saya pesimis dan wajar saya selalu dibelenggu kebosanan.

Kita butuh refleksi, apakah eksistensi negara membuat kita aman dan sejahtera atau justru membahayakan? Kalau memang membahayakan, maka jangan salahkan para pemberontak.

FPPI Makassar Peringati Sumpah Pemuda. Ini Tuntutannya..

Puluhan Mahasiswa yang tergabung dalam  FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) Makassar telah melakukan unjuk rasa di Fly Over Makassar.

Adapun grand issue dari aksi mereka kali ini mengusung tema "Sumpah Pemuda Bukan Sampah Pemuda" Selain itu poin tuntutan kader FPPI Makassar tersebut adalah Stop Perampasab Lahan, Tolak Penggusuran PK5, Laksanakan Refoma Agraria Sejati, Nasionalisasi Aset Negara, Naikkan Upah Buruh, ,  & Laksanakan Pendidikan Murah Wujudkan Demokratisasi Kampus.

Dalam penyampaian orasinya massa menuntut tegas kepada pemerintah agar mencabut dan menghapus segala bentuk kebijakan yang tidak mendukung rakyat.

Pada, Minggu (28/10/2018) di bahu jalan Fly Over Makassar.
Jendral Lapangan, Firman Ardianto dalam orasinya meminta pemerintah untuk tunduk & patuh pada keinginan rakyat.

"Kebebasan berserikat dan berkumpul dalam rangka mengawal serta mengontrol kebijakan pemerintah dapat terhambat dikarnakan produk kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, " kata Firman.

IMF-WB, Indonesia, Majene, dan Rakyat Miskin

Oleh: Muhlis*
Annual meeting IMF-WB di Bali yang dihadiri oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 189 negara dijadikan ajang euforia ekonomi nasional. Rapat tahunan ini dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk promosi investasi.

Investasi merupakan salah satu instrumen pendapatan nasional. Dalam hal perekonomian, negara ataupun dalam lingkup daerah sangat membutuhkan investasi.

Terkait soal investasi, gejolak yang beberapa waktu lalu di Kabupaten Majene adalah Blok Sebuku Lere-lerekang yang saat ini pada tahap eksplorasi telah dijanjikan soal Investasi China dan potensi MIGAS di Blok Malunda yang masih pada tahap Survey Seismic dikelola oleh Thailand.

Dalam hal mempercepat kesejahteraan ekonomi masyarakat ada tiga poin penting, yakni;
1. Kas Dalam Negeri
2. Utang Luar Negeri
3. Investasi Asing
Indonesia dalam tataran Negara Dunia Ketiga (Negara Berkembang), bicara soal mempercepat kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa dibilang mandek jika hanya terfokus pada poin pertama. Jadi, negara butuh modal lewat utang atau investasi.

Sejak krisis moneter 1997-1998 negara mengalami ketergantungan terhadap IMF-WB dan lambat laun justru menjadikan negara terjerumus dalam utang.

Diterapkannya Undang-Undang PMA di Rezim Soeharto membuka lebar-lebar jalur investasi dalam negeri. Dalam logika investasi, pemilik modal (investor) sepenuhnya memiliki Hak Veto dalam investasi selain negara bersangkutan.

Dari Rezim Soeharto sampai sekarang tidak ada terapan yang sepenuhnya menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat, apalagi masyarakat miskin. Masing-masing dari rezim itu bicara soal ekonomi pemerintah dan negara di dunia.

Muncul opini terapan tandingan "Nasionalisasi Aset Negara" yang sejatinya menjunjung tinggi kesejahteraan ekonomi masyarakat dalam negara. Aset-aset dalam negara harusnya dikuasai oleh negara sendiri agar terhindar dari intervensi-intervensi dari pemilik modal. Statement-statement tentang ketidakmampuan negara mengadakan alat produksi dan kekurangan SDM hanyalah mitos-mitos atau hegemoni dari si pemilik modal.

Setiap daerah bertumpu pada kebijakan negara. Kasihan banyak rakyat yang kelaparan dan kasihan banyak anak yang tidak mampu bersekolah.

*Penulis adalah kader dari FPPI Makassar

Rasisme Tetap Eksis Dalam Kesukuan


Tulisan ini kubuat ketika berdiskusi dengan seorang perempuan. Aku sadar, di luar sana terdapat perempuan-perempuan yang berfikir sama. Oleh sebab itu, saya merasa perlu membuat tulisan ini.


Pertama kali aku bicara tentang suku adalah ketika Semester 3 di bangku kuliah. Saat itu, aku tergabung dalam sebuah organisasi FOKMAD (Forum Komunikasi Mahasiswa Demokrasi) di kampus. Kawan FOKMAD ku, yang adalah orang mandar, menyukai seorang gadis Bugis. Salah seorang teman FOKMAD ku juga orang Bugis. 


Ketika bercerita bahwa dia menyukai orang Bugis, Kawan mandar bertanya kepada si teman bugis, "Orang Bugis nggak boleh nikah sama suku lain ya?". Si teman menjawab, intinya, tidak boleh atau sulit. Saat itulah aku baru tahu bahwa di dunia ini ada larangan nikah beda suku.

Namun saat itu hingga beberapa waktu setelahnya, aku pikir cuma orang Bugis yang tidak boleh menikah dengan suku lain, sedangkan suku-suku lain boleh. Tetapi nyata nya itu tampak berbeda. Realitas terlalu kejam untuk diceritakan. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilai setiap orang sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok atau suku mana mereka termasuk serta dari aliran apa mereka berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.

Dari situ aku berpikir Ego akan kesukuan masih membudaya pada sebagian masyarakat kita. Hal ini menyangkut pandangan bahwa hanya sukunya saja yang terbaik dan menganggap sebelah mata pada mereka yang tidak sesuku. Keegoan ini pun sering terjadi pada masalah perjodohan.

Selama kuliah hingga saat ini, aku melihat beberapa teman pacaran beda suku dan banyak dari mereka yang akhirnya putus karena perbedaan tersebut. Sebagian dari mereka tidak direstui, ditentang, bahkan diperlakukan tidak baik oleh orang tua mereka.

Aku selalu merasa kasihan dan prihatin ketika peristiwa semacam itu menimpa kawanku. Bagiku, aturan itu tidak masuk akal. Kalau sudah sama-sama kenal Tuhan, apa masalahnya coba? Adakah Tuhan melarang pernikahan beda suku? Hal ini menjadikan perilaku-perilaku rasis tetap eksis dalam kehidupan kita.

Lalu coba kulihat dari segi budaya atau adat. Mungkin ada keberatan karena alasan beda budaya. Kapankah kita melakukan praktek adat? Dari yang kulihat, sebagian besar dari kita melakukan praktek adat hanya pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan dan kematian. Sedangkan dalam praktek hidup sehari-hari, aku hampir tidak melihatnya. 

Coba kita bandingkan, apa saja yang kita lakukan setiap hari, mulai pagi hingga malam, mulai Senin hingga Minggu, apakah bisa secara signifikan disebut "beda budaya"?. Aku melihat, suku apapun kita, cara hidup kita serupa. 

Sebagian besar makanan kita sama. Kita belajar, bekerja, beribadah, berolahraga, jalan-jalan, dll, dengan cara yang sama. Jika begitu, apa masalahnya jika kita menikah maupun berkawan?

Kalau kita sama para kapitalis rente, layaklah disebut "beda budaya", tapi kita yang sama-sama tinggal di tanah ini, menurutku sama saja..

Lahirnya Represifitas Akibat Kurang Ngopi

   

Belakangan terakhir, aku banyak melihat jejeran kopi hitam di meja, anehnya kopi kopi ini membawa inspirasi dalam sebuah wacana , dimana wacana tersebut lahir dari bacaan kondisi objektif yang akhir akhir ini sangat membuat mata pedih dalam arus politik negara ini.
Reformasi sudah berjalan lebih dari 19 tahun, produk orba berjalan mulai terkikis dari alur perpolitikan dan demokrasi bangsa ini, namun perlahan keyakinan para penguasa terkait arus demokrasi massa rakyat pun mulai sangat terkikis , ini ditandai dengan berbagai macam tindakan yang sangat frontal untuk menutup kembali keran demokrasi itu sendiri.
Alur keberpihakan dan legitimasi kekuasaan mulai ditunjukan atas dasar sisi subjektifnya, meruaknya isu isu yang semakin hari semakin berkembang , isu isu keterpurukan dan dinamisasi politik yang semakin runcing ke bawah. 
Dinamika berbangsa dan bernegara kembali tidak stabil, ini di buktikan dari setiap fenomena di basis basis rakyat yang mengalami kegundahan dan kebisingan, baik di sektor mahasiswa, buruh dan tani. Isu terkait komersialisasi dan komoditas pendidikan, PHk sepihak dan regulasi yang semakin kacau, serta perampasan lahan yang semakin marak. Semuanya di legitimasi dalam sebuah aspek refresifitas, atas nama perubahan dengan nilai nilai pembangunan di paksakan tumbuh berkembang tanpa memperdulikan nilai nilai dan aspek yang lain.
Prioritas negara kembali dipertontonkan melalui pembangunan yang semakin massif , atas dasar pembangunan yang dipaksakan investor dan di rampasnya hak hak hidup bernegara dan bermasyarakat serta pengusiran masyarakat dari ruang hidupnya.
Jika kita melihat perkembangan isu akhir akhir ini, semua dilandaskan atas dasar kepentingan subjektif, tidak melihat bagaimana fungsi masyarakat yang majemuk, serta estetika kehidupan berbangsa dan bernegara, negara sangat memliki peran penting dalam kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya, seperti yang tertuang dalam UUD 45 alinea ke 4 yaitu melindungi segenap bangsa indonesia, dimana jelas makna yang terkandung dalam kalimat tersebut bahwa negara wajib menjaga kedaulatan dan kepentingan massa rakyatnya secara utuh tanpa pandang bulu.
Namun beda dengan kondisi hari ini, dimana pemerintahan indonesia lebih banyak berbicara tentang penguasaan atas dasar pembangunan dan industri yang secara nyata lebih banyak menguntungkan para pengusahan dan investor, sehingga lupa trahnya negara indonesia sebagai negara agraris. Tidak hanya itu ketimpangan dan kontradiksi sosial terjadi dari seluruh elemen rakyat.
Berbicara teori sebab akibat, kalau kita melihat banyak gerakan rakyat yang tumbuh subur baru baru ini di seluruh sektor memunculkan banyak spekulasi, apakah pemerintah hari ini sudah sangat condong melihat kekuasaan dan menghormati para luluhur investornya dibanding rakyatnya sendiri.
Gerakan yang dibangun oleh massa rakyat bahkan sudah sangat sempit dalam polanya, hari ini aksi demonstrasi yang Lahir dari kalangan mahasiwa, buruh, petani, nelayan, masyarakat desa, dan elemen elemen rakyat yang lain sudah semakin di persempit. Dengan macam macam legitimasi yang dibangun serta refresifitas yang dikedepankanpun sangat menonjol untuk menghalau segala kritikan dan ruang demokrasi di persempit sedemikian rupa.
Rezim hari ini seperti sedang memainkan irama dan ritmenya untuk menggoncang panggung politik rakyat yang semakin hari semakin merugikan massa rakyat. Sehingga timbul pertanyaan , dari setiap kritikan yang dibangun lalu dihalau dengan berbagai cara refresifitas membuat berbagai nyali elit petinggi negeri ini semakin ciut untuk dikritik, dan mirisnya seolah yang dikedepankan adalah tindakan subjektif dalam bingkai fasis, yang beranggapan bahwa kebenaran pemimpin merupakan kebenaran yang absolut, serta setiap orang yang berbeda pandangan dianggap lawan.
Berbicara fasisme ada beberapa ciri gerakan fasis menurut pengamat politik asal jerman Timo duile Yakni, Pertama, gerakan fasis berdasar pada prinsip kepemimpinan yang punya otoritas absolut, sehingga individualitas manusia hilang dan para pengikut menjadi massa yang seragam. Otomatis, manusia sebagai individu hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan gerakan fasis. Azas perintah dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian.
Kedua, dan oleh karena itu, militerisme merupakan elemen yang sangat penting dalam ideologi dan politik fasis. Militarisme menjadi penting, karena fasisme selalu butuh membayangkan adanya musuh, sehingga militer dan pemimpin harus kuat untuk menjaga negara, karena suatu gerakan fasis memiliki tugas utama untuk melawan musuh bangsa. Gerakan fasis dipersatukan dengan tujuan yang sama, yakni: penghancuran musuh. Itu ciri khas gerakan fasis ketiga. Musuh tersebut dikonstruksi dalam sebuah kerangka konspirasi atau ideologi. Dalam pola pikir fasis, musuh berada di mana-mana. Musuh berada baik di medan perang maupun dalam bangsa sendiri sebagai elemen yang tidak sesuai dengan ideolgi fasis. Karena itu, ciri khas keempat ideologi fasis adalah ideolgi identitas. Biasanya, ideolginya mengajar bahwa suku/ras atau bangsa harus murni, yaitu bebas unsur-unsur yang mengangap sebagai unsur yang tidak asli.
Dari pandangan dan pernyataan diatas bisa kita kaji bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah hari ini mengarah kepada ideologi seperti apa ? 
Ketika unsur pemerintahan lebih takut kepada para investor, Memaksakan kehendak dalam Menentukan kebijakannya, serta sangat anti kritik dan menghancurkan gerakan gerakan elemen rakyat lewat berbagai macam refresifitas, bisa dikatakan kalau hari ini rezim sudah sangat fasis atau Kurang ngopi

FPPI Makassar Mengecam Perilaku Aparat Mamuju

(23/09/2018) Kecaman terhadap aparat kepolisian Mamuju yang melakukan tindak pemukulan terhadap pemuda Sulbar bernama Arif, Fandi & Anca yang merupakan kader dari FPPI makin meluas.

Kecaman tersebut kali ini disampaikan oleh pengurus Front Perjuangan Pemuda Indonesia ( FPPI) kota Makassar.

Semula aksi yang dilakukan oleh FPPI Mamuju berjalan kondusif dengan tuntutan menolak kedatangan IMFtolak utang baru hapus utang lama, nasionalisasi, wujudkan reforma agraria, & tolak intervensi asing, namun tiba-tiba salah satu oknum kepolisian datang memukul massa aksi sehingga menimbulkan chaos dalam aksi tersebut.

FPPI Makassar menilai tindakan aparat hukum polres Mamuju jelas pelanggaran hukum, karena telah melanggar kode etik kepolisian RI UU No 2 tahun 2002 tentang fungsi kepolisian NKRI.

Menurutnya, tindakan yg dilakukan aparat adalah perbuatan keji dan tidak manusiawi.

PK5 Bukan Untuk Digusur

Menanggapi isu terkait penggusuran PK5 akibat pembangunan jembatan layang & Rektor UNM yang ingin mempercantik kampusnya membuat lagi-lagi kaum miskin kota dipinggirkan dan dialienasikan dengan alat produksinya. Mereka akan digusur dan diusir karena menganggu pemandangan. Padahal jika diatur dengan seksama maka akan tampak keteraturan. Mereka pun sudah mengatur sedemikian rupa, agar dapat tercipta keserasian dengan para pedestrian. Namun demi frasa serta persepsi yang estetik, serta hak pejalan kaki, hingga diskursus kemacetan, mereka dipinggirkan oleh pemerintah kota. Saya yakin kemacetan bukan soal PK5, jika telah tertata rapi. Saya yakin para pedestrian dapat berjalan dengan nyaman jika tertata. Semua butuh duduk bersama, bukan penggusuran kepada kaum miskin kota.

Di depan kampus negeri yang mendaku diri, mengkultuskan diri sebagai institusi kerakyatan. Tak lebih dari kampus penghamba CSR, gerbang penindas kaum agraris dan masyarakat adat. Mereka juga tak mendapatkan solusi dari para intelektual, yang sering berbicara ketimpangan dan toleransi. Intelektual tradisional penghamba rezim.

Lantas, pk5 depan UNM dan tempat pk 5 lainnya harus tetap ada dan menjadi tempat bersosialisasi, ramah pedestrian dan menjadi tempat mengais rezeki. Kami tidak butuh janji, namun berdialog dan merumuskan bersama. Bukan mengusir, seolah-olah kaum miskin kota itu hina

Budaya Senioritas

Dunia kemahasiswaan adalah penuh dengan pertentangan. Pertentangan berlangsung atas dasar adanya unsur dominasi yang berakibat kepada cara didikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Unsur dominasi yang dimaksud adalah sistem senioritas. Kata senior secara konteks tidak lagi menjadi asing terdengar diruang lingkup kemahasiswaan, kata itu seolah memiliki aturan serta hukum tersendiri. Dalam memasuki jenjang pendidikan diperguruan tinggi baik itu negeri maupun swasta sudah menjadi tradisi menjengkelkan diruang lingkup akademik kampus. Dimana peralihan status dari siswa menuju mahasiswa melahirkan suatu pemilahan antara mahasiswa dengan mahasiswa dalam eksistensi kemahasiswaan. Pemilahan dimaksud tak lain dengan adanya status senior dengan status junior yang dibungkus oleh status yang sebenarnya sama.

Pemilahan diatas dapat dilihat atau dinilai melalui momentum mahasiswa baru. Secara konteks mahasiswa baru yang baru menginjakkan kaki diperguruan tinggi itu senantiasa akan berhadapan dengan mahasiswa lama yang biasa disapa sebagai senior. Bentuk penghadapannya kerap terjadi saat-saat masa orientasi pengenalan akademik (opak) atau biasa disebut sebagai masa pengenalan mahasiswa baru. Dimana dimasa-masa pengenalan itu berlangsung kurang lebih tiga hari lamanya. hari pertama oleh universitas, hari kedua oleh fakultas, dan hari ketiga oleh jurusan. Nah dihari ketiga itulah dimana mahasiswa yang disapa senior itu melakukan tindakan yang kurang mendidik dengan mengatasnamakan himpunan mahasiswa jurusan (hmj) seperti baris berbaris , membersihkan kotoran sampah disekitar area fakultas atau jurusan. Dengan sistem komando (perintah). Pada momentum itu merupakan awal bagi senior untuk berlaku memerintah junior. Bahwa budaya senioritas adalah budaya ketertundukan. Budaya seperti ini tidak jauh bedanya dengan sistem perbudakan. Seperti sistem tuan tanah kepada hamba zaman kerajaan feodalis dulu.

Hal diatas menjadi tolak ukur bahwa sistem ketertundukan yang dilakukan oleh senior kepada junior sudah menjadi tradisi diruang lingkup kemahasiswaan. Seperti melakukan doktrin-doktrin pada saat moment mahasiswa baru; bahwa 'pasal 1, senior tidak pernah salah, pasal 2, jika senior salah maka kembali ke pasal 1'. Bahkan ada doktrin-doktrin yang lebih membungkam; bahwa 'suara senior adalah suara tuhan'. Maka hancurlah dunia kemahasiswaan jika dididik oleh orang-orang yang tidak berpengalaman!

Hal yang membingungkan adalah adanya unsur dominasi diruang lingkup kemahasiswaan. Artinya secara konteks senior itu mendominasi esensi junior bahkan mendominasi ruang-ruang privat (subjektif)nya. Dengan dalih 'menghormati yang lebih berusia'. Ini sebenarnya yang berakibat kepada pertentangan atau akan melahirkan konflik horizontal sesama mahasiswa. Bahwa budaya senioritas sekarang tidak lagi memandang esksistensi kemahasiswaan tapi lebih kepada politik identitas. Hal kemudian tercipta disaat mereka memaksa junior untuk memasuki organisasi yang digelutinya. Bukankah itu cara didikan yang mendoktrin? Lantas dalam hal apa junior mesti menghormati senior? Semester? Usia? Atau segala yang menyangkut eksistensi senior? Jika pendekatan senior kepada junior lebih kepada pendekatan ideologis maka esensi senioritasnya memiliki fungsi real. Artinya senior yang baik itu jika ia melakukan proses pengideologisasian dan melakukan proses penyadaran terhadap junior dalam kontesk sama-sama beresensialkan mahasiswa. Ketika bentuk pengawalan senior kepada junior lebih kepada politik identitas (doktrinasi) atau intimidasi maka pemanfaatan senior terhadap junior pastilah terjadi dan nyata adanya. Dan hal itu sekarang terjadi. Bahwa jika kita betul-betul secara totalitas beresensikan mahasiswa maka kelas senior dengan kelas junior haruslah segera dihapuskan atau dihilangkan diruang lingkup kemahasiswaan.

Ketika pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda dalam peristiwa rengasdengklok pra-kemerdekaan 45, tak terelakkan bahwa peristiwa itu dipelopori oleh kelompok pemuda. Maka tidak jauh bedanya dengan pertentangan antara senior dengan junior dalam peristiwa 'pemaksaan hak suara' serta 'pemanfaatan hak pilih'. Padahal senior dengan junior itu sama-sama berstatuskan mahasiswa. Kenapa mesti adanya dua kelas itu? Olehnya jika tidak segera dihilangkan budaya senioritas itu maka konflik horizontal pastilah terjadi. Bahwa dominasi tetap berlangsung kepada cara berpikir pragmatis yang berujung kepada politik praktis. Juga terhadap cara didikan yang tidak menyisahkan pengetahuan apapun. Justru yang ada hanyalah pengetahuan yang terdoktrin. Akhirnya seniorpun bertindak sebagai hakim yang membenarkan.

Dalam arti apa senior itu dihormati? Budaya ketertundukan dilakukan hanya akan memperpanjang garis perbudakan. Maka dalam perspektif akademik kita semua berstatuskan mahasiswa. Yang membuat pembagian (pemilahan) kelas mahasiswa itu tidak lain hanyalah mereka-mereka yang menganggap dirinya sebagai senior. Mulai dari ciri-ciri mahasiswa, definisi mahasiswa, fungsi mahasiswa, sampai kepada tugas mahasiswa, itu sebagian besar hanyalah doktrin-doktrin yang diberikan oleh senior untuk membodohi pikiran serta meredupkan kesadaran junior. Dan terbukti bahwa kebanyakan dari pemberian pemahaman yang sifatnya doktrin itu hanya sebatas konsep, tidak mendorong secara praktek perlawanan. Seandainya tidak ada senior dengan junior tapi lebih kepada satu pemikiran yaitu sama-sama berstatuskan mahasiswa maka penyatuan dalam melakukan gerakan perlawanan akan terlaksana. Maka mahasiswa secara definitif akhirnya adalah mahasiswa, yang sama-sama beresensialkan kemahasiswaan.

Budaya senioritas mestinya harus beralih kepada budaya mahasiswa. Tapi hal demikian mustahil dapat dilakukan oleh mereka-mereka yang kepingin disapa dan disebut sebagai senior. Dengan dalih harga diri serta wibawa senior itu harus ditinggikan sebagai bentuk penghromatan junior. Seperti apa sih didikan senior itu? Apakah mewajibkan junior dengan memanggilnya senior atau kanda? Pengawalannya lebih mengarah kemana? Jika mereka-mereka ingin dipanggil senior maka hilangkan budaya ketertundukan. Sebab saya akan rela serta ikhlas memanggil atau menyebut atau bahkan mengakui mereka sebagai senior jika mereka melakukan proses pengideologisasian serta melakukan proses penyadaran kemudian dengan secara bersama-sama dalam menyatukan gerakan dan sikap (tuntutan). Dengan begitu mereka akan mendapatkan gelar 'senior baik' jika itu mungkin. Senior bukanlah dewa yang selalu benar dan junior bukan kerbau yang harus menunduk.

ADA APA DENGAN KITA?

                           Oleh: Anas Fardilah
Mei 98 merupakan pelajaran. Runtuhnya rezim orde baru bukan berarti sistem kekuasaannya juga ikut runtuh. Kejatuhannya hanya sekadar formalitas, sementara kekuasaannya akan tetap berjalan menjalar sampai saat ini. Sudah terbukti bahwa yang mengendalikan sistem perekonomian nasional sekarang adalah antek-antek rezim orde baru yaitu koloni serta keluarga cendana. Reformasi total sebagai jargon aktivis 98 adalah reformasi yang gagal. Secara totalitas bukanlah reformasi. Olehnya pasca keruntuhan rezim otoritarian itu bukanlah capaian dalam pergerakan melainkan pelajaran untuk pergerakan. Pembungkaman, penindasan, itulah yang membuat 'mahasiswa' secara sadar melakukan suatu gerakan perlawanan. Namun apakah yang di tindas dan yang di bungkam sekarang sadar akan hal itu?

Terjadinya peleburan budaya di kalangan mahasiswa mengakibatkan mahasiswa itu tak lagi menyikapi kebijakan-kebijakan kampus yang di anggap melenceng. Akhrinya krisis pengetahuan dan pergerakan pastilah terjadi. Justru yang muncul adalah kontradiksi vertikal dan horizontal. Terutama dalam menyikapi tindakan represif, intimidasi, serta pembungkaman birokrasi oleh aparatur kampus. Kriminalisasipun di anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja dan biasa-biasa saja. Dalam menyikapi sistem pendidikan khususnya hanyalah tindakan pra-sadar yang mengarah kepada gerakan momentum yang akhirnya melahirkan tuntutan yang tidak tepat sasaran. Disebabkan tidak adanya penyatuan sesama mahasiswa. Baik itu penyatuan gerakan maupun penyatuan sikap. Akhirnya hubungan sesama mahasiswa melahirkan sentimen. Sudah termasuk budaya mahasiswakah sentimen itu? Bukankah penyatuan itu adalah kekuatan? 

Birokrasi-birokrasi kampus dengan gampang mengeluarkan segala macam regulasi. Regulasi yang secara real untuk menghancur-leburkan kesadaran mahasiswa. Dengan membuat segala doktrinasi serta intervensi kepada mahasiswa; salah satunya adalah membatasi masa perkuliahan terhadap mahasiswa. Akibatnya mahasiswa yang berpikiran akademisi akan berlomba-lomba untuk menuju kepada tahap penyelesaian. Apakah komersialisai pendidikan adalah cara mahasiswa untuk memperoleh nilai (IPK) yang tinggi? Bukankah itu bentuk tindakan 'melacurkan pengetahuan'?

Sekarang mayoritas ada yang sibuk mengemis meminta-minta tanda tangan dari sang dosen,  Ada juga sebagian kecil berlaku sentimen, ada lagi yang mempertahankan ego-sentrisnya, juga ada yang hendak melakukan politik identitas. Eksistensi mahasiswa menjadi terpilah-pilahkan. Seakan kata menyatu itu sifatnya ilegal. Birokrasi melahirkan konflik, mahasiswa juga ikut melahirkan konflik. Birokrasi berkepentingan, mahasiswapun juga berkepentingan. Entah itu kepentingan lembaga (organisasi) maupun kepentingan ideologi. Dosen bersentimen dengan mahasiswa, lagi dan lagi mahasiswa itu juga bersentimen dengan sesama mahasiswa. Kata mahasiswa akhirnya bukanlah satu kesatuan melainkan bermacam-macam satuan. Kenapa kita sesama mahasiswa terbecah-belah? Kenapa masing-masing dari kita saling bersentimen? Bukankah musuhnya kita adalah kapitalisme? Bukankah lawan kita adalah pembungkaman? Apa kita membiarkan tindakan represif aparatur kampus itu?
                                     "Menolak tunduk-menuntut tanggung jawab".!

MAHASISWA DIBALIK KATA-KATANYA

Akhirnya sampailah kita kepada titik dimana esensi ke-mahasiswa-an itu harus di pertanyakan. Sebab kebanyakan mahasiswa masing-masing memperebutkan kekuasaan. Disediakannya ruang-ruang 'penyelamat' oleh pihak kampus menjadikan mahasiswa bernaluri 'maling', berhasrat untuk berkuasa, serta berkehendak untuk menguasai. Seperti halnya dewan mahasiswa (DEMA), senat mahasiswa (SEMA), serta himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). Mahasiswa yang berwatak 'maling' itu tidak menjadikannya sebagai ruang-ruang strategis untuk memperbaiki kebobrokkan sistem kampus, justru yang ada mereka menjadi penindas-penindas baru. Saat momentum pemilihan dari ketiga 'ruang penyelamat' diatas, para kandidat (calon) masing-masing membangun kubu.
Mendoktrin mahasiswa baru (junior), serta memanipulasi hak kepemilikan suara dengan mengatasnamakan solidaritas dan perubahan.

Gerombolan mahasiswa diatas sama halnya seperti seribu anjing memperebutkan satu tulang. Saat terpilih, para penindas baru itu tidak meluruskan kebengkokkan sistem kampus; malah yang terjadi adalah menguasai serta mendominasi ruang-ruang itu. Fungsional dari penindas baru diatas bukan sebagai dewan mahasiswa, senat mahasiswa, himpunan mahasiswa jurusan, tapi fungsinya hanya untuk melakukan 'penggelapan uang' ke kantong-kantong pribadi "Bagi-bagi duit"!.
Serta yang paling konyol adalah mereka mendominasi ruang-ruang itu bersama angota-angotanya. Terbukti yang lebih dominan diruang-ruang itu adalah kalangan 'sesama organisasi'. Sehingga yang mengendalikan ruang-ruang mahasiswa adalah 'organisasi'. 

Uang bisa membuat mereka lupa diri. Tak perduli runtuhnya moral padahal ia katanya ber-esensikan moral. Inilah yang disebut sebagai moral kapitalis. Dosen menindas mahasiswa, mahasiswa menindas mahasiswa. Kenapa penindas baru diatas tidak pernah berlaku transparan? Dari mana sumber duitnya? Akan dialokasikan kemana? Fungsinya apa? Atau jutru merekalah yang melakukan politik uang (money politic)?. Renungkan! Pikirkan! Lakukan! Bertindaklah selayak-layaknya mahasiswa!
 
Bagi mahasiswa yang berpikir akdemis nilai (IPK) adalah penunjang utama. Sarjana (title) adalah capaian akhir. Ijazah adalah kitab suci pekerjaan. Tahap penyelesaian adalah tahap penentuan. Melewati segala penentuan dengan persyaratan. Mulai dari mengajukan judul, berkonsultasi dengan 'dosen pembimbing', menyusun draf, membuat proposal, sampai kepada skiprsi. Kesemuanya itu dilakukan atas nama ujian. Seolah tuhan menguji hambanya. Seakan dosen menguji mahasiswanya. Teriakkan lantang 'hidup mahasiswa' sudah terkubur dibawah selimut kesadaran palsu. Seperti inikah mahasiswa dibalik kata-katanya?

Sebagian lainnya mengklaim diri 'aktivis' saat berkecimpung diruang lingkup akdemik kampus. Berpikir kritis bahwa perubahan harus dilakukan. Membenarkan yang salah, menyalahkan yang salah. Pasca berakhir sebagai akademisi apakah masih berpikiran yang sama? Masih berpikir kritis kah? Anti penindasan kah? Kebanyakan dari mereka yang mengklaim dirinya 'aktivis' langgeng berpolitik praktis, menjalankan sistem sebagai penindas baru. Yang dulunya mereka berkata anti sistem, menolak sistem, akhirnya pasca itu mereka menjadi penjilat atas ludahnya sendiri!

Oleh Anas Fardilah

Krisis-isme Pengetahuan & Pergerakan Mahasiswa

Oleh : Anas Fardilah
Memasuki era serba digital mengambil ruang-ruang kompleksitas menandakan adanya pelipatan ruang. Pelipatan ruang merampas segala apa yang tertanam dalam diri mahasiswa. Pemanfaatan ruang kian merajalela dikalangan kaum terpelajar mengakibatkan si pelajar hidup  melampaui realitasnya sendiri (hiper-realitas). Tentu polarisasi kehidupan mahasiswapun terkungkung pada kehidupan yang serba monotheisme. Ini menyebabkan ruang gerak mahasiswa serba fatal. Inilah era dimana generasi sedang lupa diri (amesia).
Kecanggihan tekhnologi mampu menempati segala ruang aktivitas mahasiswa baik dalam proses berpengetahuan maupun berpergerakan. Kurangnya investigasi yang dilakukan akan meredupkan tindakan mahasiswa bersikap kritis akan pemanfaatan ruang atas tekhnologi.
Eksistensi mahasiswa dengan hadirnya tekhnologi diperkuat lewat stasiun televisi dan berbagai macam media sosial membawa mahasiwa ke dalam perpektif yang seolah-olah. Dunia mahasiswa sebatas berputar di tekhnologi saja. Ini sebenarnya yang menjadikan mahasiswa sudah melampaui dari realitasnya sendiri (hiper-realitas). Bahwa piranti tekhnologi itu kemudian membawa mahasiswa ke dalam jurang pembodohan. Jadi dari ke seolah-olahannya itu membuat mahasiswa tidak bernyali untuk bertindak. Menandakan bahwa mahasiswa tidak mampu melakukan proteksi terhadap realitasnya sendiri.
Ironinya mahasiswa justru cenderung menyikapi persoalan politik ketimbang persoalan sosial. Ini menandakan kurangnya kesadaran mahasiswa dalam menyikapi setiap problem yang ada. Ini juga yang mengakibatkan kritisisme mahasiswa mulai prematur.
Dalam ruang lingkup pendidikan mahasiswa tidak lagi dijajah atau ditindas secara fisik seperti halnya yang dilakukan oleh rezim ORBA, tapi mahasiswa sekarang dijajah melalui sistem (regulasi) yang diterapkan birokrasi kampus. Sewalaupun kriminalisasi terhadap mahasiswa kian marak terjadi. Terbukti dengan adanya sistem UKT-BKT, Pelarangan berlembaga, penjualan buku oleh dosen, drop out, KKN berbayar, penetapan kurikulum, penggelapan alokasi APBN, pembatasan masa semester (kuliah), Hal demikian secara sadar atau tidak sadar merupakan modus operandy yang dilakukan oleh birokrasi terhadap mahasiswa.
Penjualan buku oleh dosen di kelas dengan harga mahal dengan berdalih embel-embel itu akan melahirkan penyeragaman cara berfikir dikalangan mahasiswa. Mahasiswa yang takut akan nilai cenderung mengikuti 'dalih pelicin' yang ditawarkan oleh sang dosen. Hubungan mahasiswa dengan dosenpun akhirnya erat dengan jaminan nilai. Mengekor dan mengikut dengan perkataan dosen itu menjadikan mahasiswa tidak lagi mandiri berpengetahuan; karna ia cenderung menerima ketimbang mencari, diatur ketimbang berpikir mandiri.
Kesimpang-siuran yang terjadi dikalangan mahasiswa adalah mempertahankan egosentrisme masing-masing. Sentimentil sesama mahasiswa hanya persoalan perbedaan ideologi, warna bendera, organisasi, menimbulkan perpecahan 'sesama mahasiswa'. Mereka tidak lagi menyatu dalam menyikapi ketimpangan dan kesenjangan sosial. Eksistensial yang sama melahirkan esensial yang berbeda. Berpengetahuanpun tidak menyatu apalagi berpergerakan.
Penyatuan gerakan dikalangan mahasiswa sangat mustahil adanya; karna masing-masing mempunyai kepentingan tersendiri. Jadi apakah sistem yang menindas mahasiswa ataukah mahasiswa yang menindas mahasiswa? Gerakan tanpa arah akan melahirkan tuntutan yang tak terarah pula. Gerakan tanpa dibentengi dengan penyatuan maka mustahil akan menciptakan tuntutan yang tepat 'SASARAN'.
Sikap apatis, budaya hedon, sifat gengsi, mengakibatkan tertindihnya kesadaran. Sehingga tidak menjadikan mahasiswa bersikap kritis. Hal demikian di atas dikarenakan kurangnya perhatian mahasiswa dalam menyikapi berbagai macam problem yang terjadi. Jelaslah kiranya bahwa sekarang mahasiswa sedang mengalami krisis dalam memperoleh pengetahuan dan melakukan suatu gerakan perubahan.
Perlawanan mahasiswa berhasil dibungkam oleh kebijakan kampus. Kebijakan baru melahirkan perlawanan baru. Merupakan bentuk pengalihan issu yang dilakukan oleh pihak birokrasi untuk mengalihkan titik fokus mahasiswa terhadap issu yang satu dengan issu yang lain sehingga Ketuntasan tuntutanpun tidak tercapai sebagaimana dituntut. Gerakan momentuman membawa mahasiswa untuk melakukan politik identitas. 'Kepala harganya murah'.
Gerakan yang sadar, terorganisir, ideologis mampu menciptakan perubahan. Problem kerakyatan yang semakin kompleks membutuhkan resistensi yang betul-betul tuntas; ini membutuhkan sikap politik dan praktek sosial dikalangan mahasiswa yang 'SADAR' akan ketertindasannya. Berawal dari lokal ke nasional dan mengembalikan ke lokal. Artinya mendorong masalah sosial ke politik dan bukan sebaliknya.
"Mendidik Mahasiswa dengan Pergerakan Mendidik Birokrasi dengan Perlawanan"

Gaya Hidup Konsumerisme

 Oleh : Anas Fardilah
 "Selama masih cenderung           mengkonsumsi sesuatu maka mustahil untuk bisa menciptakan sesuatu"
Di dalam budaya kapitalisme global, pandangan dunia dan polarisasi cara berpikir masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa yang di dalamnya komoditi dijadikan sebagai cara untuk membangun perbedaan dan identitas diri di dalam hubungan sosial yang lebih luas. Konsumsi di dalam masyarakat kapitalisme global, tidak sekedar sarana pemenuhan nilai utilitas dalam pengertian sempit, akan tetapi merupakan cara membangun nilai-nilai simbolik.
Konsumsi kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penciptaan gaya hidup; yaitu gaya konsumsi yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik tertentu yang membentuk apa yang disebut sebagai gaya hidup konsumerisme. Memuati kegiatan dengan makna-makna simbolik tertentu (status, kelas) dengan pola dan tempo pengaturan tertentu, itulah sebenarnya esensi dari gaya hidup kosumerisme.
Gaya hidup konsumerisme merupakan gaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus menerus (maraton) lewat mekanisme tanda, citra, dan makna-makna simbolik. Gaya hidup konsumerisme juga merupakan budaya belanja yang proses perubahan dan perkembangbiakannya didorong oleh logika hasrat dan keinginan, ketimbang logika kebutuhan. Budaya konsumerisme tidak dapat dipisahkan dari lingkungan urban, karna di perkotaan ruang-ruang untuk konsumsi itu secara intensif dibangun.
Di dalam gaya hidup konsumerisme, objek-objek konsumsi dijadikan sebagai medium untuk menyatakan identitas diri, status, kelas, dan nilai-nilai simbolik lainnya. Budaya kapitalisme global hadir ditengah-tengah masyarakat konsumerisme itu merupakan bentuk penipuan, pembodohan, dan eksploitasi kesadaran massa; sehingga si kapitalis menggunakan citra-citra (televisi, media) dimuati menjadi komoditi yaitu sebagai alat untuk mengendalikan selera massa masyarakat (konsumer).
Karl marx mengingatkan bahwa " kapitalisme akan hancur ketika sudah terjadi over produksi". Over produksi yang dimaksud adalah dimana kapitalisme sudah mengalami krisis ekonomi yang dimana daya beli masyarakat sudah mulai melemah; maka dari itu kapitalisme akan melakukan ekspansi pasar dan menurunkan harga barang (pasar) untuk menarik kembali daya beli masyarakat. Inilah yang biasa disebut sebagai monolpoli pasar.
Apa yang hendak dilakukan oleh masyarakat konsumtif kontemporer? Apakah kita harus menciptakan teori revolusioner agar bisa melahirkan aksi revolusioner seperti yang ditegaskan oleh lenin? Apakah kita harus memasuki ruang-ruang politik dengan membawa konsep hegemoni seperti yang ditawarkan oleh antonio gramsci? Ataukah kita hanya berdiam diri sebagai penonton yang menyaksikan si kapitalis melakukan eksploitasi. Tanda kutip"atau justru masyarakat cenderung terkungkung pada pahan konsumeriseme".
Masyarakat kontemporer justru lebih cenderung mengkonsumsi sesuatu ketimbang menciptakan sesuatu. Seperti halnya marx mengatakan bahwa manusia dikatakan sebagai manusia ketika ia mempunyai karya; karna karya adalah bentuk kesosialan manusia terhadap manusia lainnya yaitu dengan cara bekerja (mode of production). Dalam konteks budaya pun masyarakat lebih cenderung dan terjebak dalam mengkonsumsi atau justru lebih mempelajari budaya-budaya barat, eropa, dan lain-lain ketimbang budayanya sendiri. Prusia bisa maju karna mereka mengenal dan mempertahankan budayanya sendiri, sementara masyarakat indonesia justru masih berkembang dibawah kemajuan budaya negara-negara lain; karna memang masyarakat hari ini lebih condong ke-barat-baratan, ke- eropa-an, bukan ke-indonesia-an. Inilah yang disebut sebagai meninggalkan budaya sendiri dan mengikuti budaya orang lain. Sama seperti miskin diatas kekayaannya sendiri.
Konsumerisme memang selalu ada ditengah-tengah kecanggihan dan kemajuan alat produksi dalam konteks alat tekhnologi. Kegensianpun menjadi faktor utama dalam diri masyarakat sehingga ia mengkonsumsi apa saja sesuai dengan apa yang ditawarkan oleh perkembangan dan kemajuan zaman. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah menghilangkan budaya lama dan mengideologikan/mengkonsumsi budaya baru. Budaya gotong royong pun yang dulu diterapkan oleh masyarakat tradisional sudah dihilangkan oleh masyarakat modern yang dimodernkan oleh produktifitas asing.
Penguasaan pasar atas  masyarakat bicara soal penawaran produk menjadikan masyarakat terjebak dalam budaya konsumtif tingkat tinggi (KTT). Bentuk kolonialisme gaya baru merenggut peningkatan daya produktifitas masyarakat. Sekarang masyarakat bukan lagi dijajah secara fisik tapi justru di jajah secara sistem (regulasi). Dari segi produksi melemah, kemudian daya konsumsi melambung tinggi, itu hanya melanggengkan sistem kepemilikan atas alat produksi.
Konsumerisme bukan budaya yang mampu melegitimasi kekuaatan pasar, justru hanya akan mendukung proses pengakumulasian modal pasar itu sendiri. Ini sebenarnya yang mengakibatkan kondisi masyarakat serba fatal. Hal paling fundamental akhirnya melahirkan diskursus baru dikalangan masyarakat. Fatalitas inilah yang menyebabkan masyarakat kehilangan identintasnya sebagi manusia; karna mereka cenderung mengkonsumsi bukan memproduksi.
Konsumerisme merupakan representatif dari cara konsumsi berlebihan; sehingga masyarakat kontemporet tidak mampu menciptakan formulasi baru terkait penciptaan alat produksi. Pergeseran budaya mengakibatkan cara produksi masyarakat tidak menentu, ada yang masih primitif (mode of production colonial), feodal (penguasaan tanah), sampai pada cara produksi kapitalis.
Artikulasi cara produksi, cara produksi kolonial, dan internasionalisasi kapital itu akan menghalau sistem kepemilikan atas alat produksi. Dari segi pengelolaan masih melemah, penciptaan alat produksi melemah, sehingga hasil produksinyapun ikut melemah. Ini semua membuktikan bahwa tidak adanya kesadaran masyarakat untuk menciptakan dan meningkatkan daya produktifitasnya dalam penciptaan atau memproduksi.

Mahasiswa Mengikuti Zaman atau Zaman Mengikuti Mahasiswa

Oleh Bung Anas
"Rakyat tidak butuh angka, mereka perlu aksi nyata".

Seiring berkembangnya zaman maka segala keperluan dan kebutuhan sudah dipenuhi oleh zaman; entah itu berawal dari yang tiada-ada-mengadakan. Zaman lebih cenderung menciptakan sesuatu hal yang baru, Sesuatu yang tak disangka-sangka, tak pernah dipertanyakan, dan tak pernah dibayangkan akan kehadirannya. Maka segala bentuk kebutuhan seseorang serba instan; maka tidak alasan untuk kita tidak belajar dari sesuatu yang diciptakan atau diberikan oleh zaman tersebut.

Pada mulanya Penemuan alat tekhnologi itu merupakan salah satu bentuk perkembangan zaman. Zaman yang dimana dulu cara produksi manusia itu masih primitif hingga kini sudah beralih kepada cara produksi modern yang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan umat manusia pada umumnya.

Zaman kontemporer ini segalanya sudah serba digital dan serba canggih. Kini mahasiswa pun dapat menikmati dan merasakan kecanggihan alat tekhnologi tersebut. Alat tekhnologi kini justru dijadikan sebagai kebutuhan hidup bukan lagi sekedar keperluan hidup. Sehingga mahasiswa pun justru terjebak dalam mengikuti perkembangan zaman dan bukan sebaliknya; karna mereka justru cenderung mengkonsumsi ketimbang memproduksi. Akhirnya mahasiswa diciptakan oleh zaman bukan sebaliknya.

Hadirnya tekhnologi merupakan fenomenal yang paling dahsyat dikalangan mahasiswa; karna dengan memakai tekhnolgi, dengan mengikuti perkembangan zaman, mereka tidak akan diklaim sebagai mahasiswa yang ketertinggalan zaman, mereka justru akan meng-Akukan diri sebagai mahasiswa yang modern. Lewat tekhnolgi mereka justru membanggakan diri bahwa "ohh ini baru mahasiswa modern". Bangga dari hasil produksi orang lain apakah pantas untuk dibanggakan? Sungguh sesuatu yang sangat lucu untuk dibangga-banggakan.

Jika zaman yang mengikuti mahasiswa otomatis tidak ada batasan bagi mahasiswa untuk melakukan resistensi dan justru zaman akan mengikuti kemajuan pergerakan mahasiswa dengan geleng-geleng. Mahasiswa akan lebih menyatakan sikap untuk melawan perkembangan dan tantangan zaman dengan menggunakan tekhnologi sebagai alat propagandis sekaligus sebagai alat untuk menghapus budaya-budaya pembodohan dikalangan mahasiswa dan masyarakat pada umumnya; Tapi jika mahasiswa yang mengikuti zaman maka kemungkinan akan melahirkan generasi hedon, mereka akan berlagak seperti politisi sewalaulun sebenarnya mereka sudah dipolitiki, mereka akan bersikap acuh tak acuh terhadap kondisi yang sedang dihadapinya; Dan pada akhirnya mereka akan0„2 menggeleng-gelengkan kepala seraya tertawa dalam kerancuan dalam cara berpikir yang terkungkung dalam budaya hedonisme.

Iya lewat tekhnologi dapat mempermudah tugas kuliah, bisa vidio call, internetan, karaokean, bigo live, smulean dan lain sebagainya. Apa mereka memiliki otak untuk berpikir? Apa mereka tidah sadar bahwa tekhnologi bisa menumpulkan kesadarannya? Apa mereka rela otaknya dikendalikan dan dibentuk oleh tekhnologi? Percaya diri mahasiswa sudah dimandatkan kepada tekhnologi karna bagi mereka tekhnologi adalah bagian dari dirinya dan mereka tidak bisa hidup tanpanya. Apa mereka menganggap ini adalah sebuah lelucon kemahasiswaan? Mereka tidak ada satupun yang sadar bahwa mereka telah kehilangan identitasnya sebagai kaum intelektual dan kaum terpelajar.

Segala bentuk perkembangan zaman itu ditandai dengan hadirnya alat tekhnologi (formulasi ) baru. Zaman memang selalu menciptakan dan menghadirkan berbagai macam produk dengan secara cepat dan praktis yang akhirnya membuat mahasiswa atau masyarakat pada umumnya terjebak dalam pemahaman konsumtif tingkat tinggi (KTT). Pelipatan ruang yang dilakukan oleh tekhnologi membuat sebagian mahasiswa terhipnotis dan tertidur dari mimpi panjangnya, mereka tidak sadar bahwa polarisasi kehidupannya itu serba dikendalikan dan dikontrol oleh alat tekhnologi. Sehingga yang menidurkan dan membangunkan mahasiswa kini adalah tekhnologi. "Bukanlah tekhnologi yang menciptakan perubahan tapi mahasiswalah yang seharusnya menciptakan perubahan".

Mei 1998 (ORBA) merupakan pelajaran bagi mahasiswa, pemuda, dan rakyat indonesia; bahwa peristiwa militerisme merupakan fenomenil yang paling represif sepanjang sejarah. Lewat sistem otoritarianisme yang dijalankan oleh rezim orde baru itu selama TIGA PULUH DUA TAHUN BERKUASA menciptakan penyelewengan hukum, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Lewat konsep developmentalisme (REPELITA)nya itu masyarakat mengatakan bahwa "SOEHARTO ADALAH BAPAK PEMBANGUNAN". Pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, perampasan, pembungkaman, itu semua merupakan suatu peristiwa yang harus diselesaikan dan segera dituntaskan oleh gerakan perlawanan mahasiswa. Apakah kita dibungkam selama 32 tahun itu tidak membuat mahasiswa dewasa ini sadar? Apakah kita dipreteli selama 32 tahun itu tidak membangkitkan perlawanan mahasiswa? Tentu mahasiswa sudah seharusnya lebih jeli menganalisis dan mempelajari peristiwa 98 itu, dan menyegerakan diri untuk melakukan pembebasan.

Gerakan mahasiswa harus berani melawan tantangan zaman. Mahasiswa harus menciptakan zamannya sendiri dalam proses penyadaran, perlawanan, dan pembebasan oleh kelas tertindas, untuk kelas tertindas, dan dalam konteks ketertindasan masing-masing. "Gengsi bukanlah harga diri mahasiswa". Esensi mahasiswa harus segera dibuktikan dalam bentuk aksi nyata, aksi murni tanpa ada tunggangan, kepentingan, selain kepentingan seluruh rakyat indonesia.

Ketika zaman lewat tekhnologi bisa melakukan pelipatan ruang (cyberspace) maka mahasiswa harus mampu membuka ruang produktifitasnya dan bukan malah menutup ruang; karna menutup ruang merupakan salah satu bentuk budaya monotheisme. Ruang-ruang publik harus dijadikan sebagai obrolan ideologis bukan digunakan sebagai ruang privat. Ketika ruang publik itu tidak mampu diterjemahkan dalam wujud ideolog maka hanya akan melahirkan ruang publik yang di privatisasikan. Inilah yang disebut sebagai generasi fatalis atau manusia satu dimensi (one dimensional man) seperti yang dikatakan oleh marcuse.

Pelarangan berlembaga, pembatasan semester, penyuntilan berekspresi, pembatasan ruang aktivitas, ancaman drop out, ancaman error nilai, itu semua merupakan bentuk pembungkaman hak demokratisasi kampus. Sehingga lewat kebijakan, lewat ancaman, itu jugalah yang membuat kesadaran dan perlawanan sebagian mahasiswa sudah mulai redup. Maka mahasiswa tidak lagi berani untuk melakukan kritikan, tidak lagi berani berpendapat, tidak lagi berani beraspirasi, tidak lagi berani berpartisipasi; karna memang mereka justru lebih cenderung takut akan nilainya error, takut di drop out, takut dengan segala macam ancaman yang diberikan oleh borokrasi kampus. Kamu mahasiswa yang hanya mengejar nilai? Kamu mahasiswa nilai? Kamu pelopor atau pengekor? Ancaman-ancaman itu hanyalah strategi birokrasi untuk bagaimana meniadakan perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa; karna yang mereka (dosen) hanya membawa arogansi akademik, arogansi kampus untuk melanggengkan status quo. Ingat kamu telah musyrik ketika menjadikan dosen sebagai tuhan kedua diruang lingkup pendidikan. "Dosen bukanlah dewa, dan mahasiswa bukan kerbau" (soe hok gie). Mahasiswa layaknya bermulut tapi tak bersuara.

Baca buku jauh lebih berguna ketimbang smartphone, diskusi jauh lebih produktif ketimbang nge-gosip, orasi politik jauh lebih tersadarkan ketimbang karaokean, integritas sosial jauh lebih manusiawi ketimbang bazar, pernyataan sikap jauh lebih kritis ketimbang memilih bungkam, membangun kelompok belajar jauh lebih ideologis ketimbang sentimentil, dan melawan jauh lebih revolusioner.

Ketika mahasiswa mempertanyakan tentang kondisi realitas sosial maka itu bukanlah tindakan (praktek), tapi itu hanyalah gosip belaka. Mahasiswa harus bangkit melawan ketika melihat penyelewengan, ketidakadilan, dan penindasan; jangan merasa bangga, merasa jumawa ketika menjadi pengurus DEMA, pengurus HMJ, karna itu semua hanya akan membuat mahasiswa menjadi penindas baru; karna diruang-ruang seperti itulah dimana politik praktis dilakukan. Sehingga efek dominonya akan menjalar dalam diri sang junior.

Mahasiswa sebagai pelaku perubahan (agent of change) harus lebih jeli untuk menyikapi ketimpangan yang terjadi diruang lingkup pendidikan. Hak protes dan soft protes harus dipertumbuhkan terus untuk menjewantahkan suara-suara badut kolonial itu. Tidak perlu takut nilai, tidak perlu takut drop out, karna sesudah setelah kamu memakai toga maka kamu akan menjadi sarjana pengangguran. Kalau mulut tidak berani untuk bicara, maka biarkan pena berbicara. Maka untuk menghapus budaya pembodohan yang dilakukan oleh si badut kolonial itu, mari sekarang bangkit melawan dengan mendidik mahasiswa dengan pergerakan dan mendidik birokrasi dengan perlawanan.

"Menolak tunduk, Menuntut tanggung jawab".

Nahkoda Baru Fokmad

Jumat(16/02/2018). Anas Fardillah menjadi nakhoda baru FOKMAD setelah memperoleh dukungan suara terbanyak, mengalahkan kandidat kedua Ahmad Kadafi Faisal yang hanya mendapat suara sedikit.

Setelah mendapatkan amanat dari kawan-kawan FOKMAD, Anas bertekad menjalankan agenda-agenda organisasi secara massif lagi.


Selain itu berdasarkan hasil Keputusan KONFERBA (Konferensi Basis) FOKMAD (Forum Komunikasi Mahasiswa Demokrasi) yang ke - 2 menghasilkan beberapa rekomendasi, Yakni: Mengadakan pra-NDK basis, Membentuk Aliansi, Membuat kurikulum baru,Membangun komunikasi, Memasifkan proses pengawalan & pengorganisiran


Dalam orasi politiknya ketua baru berkata."Mendidik Rakyat Dengan Pergerakan Mendidik Birokrasi Dengan Perlawanan". 

Bersatu Kita Bersama


Makna gambar disamping cukup panjang, intinya yaitu merangkul sesama. Merangkul kesulitan yang ada didepan kita untuk dijalani bersama hingga mencapai kemudahan. Tapi, apakah bersama itu ada?
Ada karena memiliki tujuan yang sama atau juga tidak ada karena sikap dan tujuan berindividu terlalu kuat di benak seakan membuat kita berfikir 'sendiri juga bisa.' ya apatis. Meskipun bisa atau bahkan mustahil kata bersama itu, kita harus bisa menjalankannya sebisa dan seimbang mungkin. Tentu saja bersama dan individu tidak bisa di gabungkan menjadi hal yang lancar.
Menjalankan hal yang disebut bersama itu, tidak selalu dengan hal yg serupa secara kompak. Kita punya cara sendiri agar bisa mewujudkan hal yang baik maupun tidak baik, karena sekali lagi bersama, tidak selalu menuju ke positif bahkan bisa saja berujung negatif.
Intinya, yang dimaksud bersama pada tulisan ku kali ini adalah kekeluargaan.
Keluarga datang bukan karena tali persaudaraan yang lahir dari darah keturunan, tetapi keluarga bisa muncul dari kerjama sama, kekompakan yang dilakukan untuk tujuan bersama.
Ya, banyak sekali kata bersama disini. Ketika kita mengucapkan 'bersama', orang pasti tahu kalau yg dimaksud adalah pergerakan yang kuat. Pergarakan besar yang ditempuh dengan kekuatan seadanya. Berbekal kejujuran , keberanian serta tekad yang susah untuk dilebur pergerakan akan susah untuk dihentikan.
Marilah kita berfikir luas bahwa kebersamaan bisa membuat kita mencapai tujuan lebih baik, apalagi dilakukan dengan keadilan demi kebaikan kita semua. Keluarga yang berasal dari kebersamaan akan muncul dari kejujuran yang kita katakan dari awal.
Salam pemuda!

Kenang-kenangan Negeri Agraris

Oleh : Luqman Hakim* 

D
i awal tahun 2018 ini, masyarakat digerahkan dengan naiknya harga beras. Penyebab dari kenaikan harga beras pun beragam; mulai dari cuaca buruk hingga alasan klasik soal lambatnya proses distribusi dari petani ke pasar. Namun, Kementerian pertanian berulang kali memberi statement bahwa stok beras berada dalam keadaan surplus. Statement ini ditegur oleh Ombudsman yang menyatakan bahwa data yang dikumpulkan oleh Kementerian tidak akurat karena hanya didasarkan pada perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.

Kenaikan harga beras coba ditanggulangi dengan upaya pemerintah mengimpor sekitar 500.000 ton beras. Tentu saja rencana ini banyak menjadi perdebatan, terutama oleh kelompok oposisi pemerintah. Banyak yang menganggap rencana impor beras adalah sebuah blunder dan bukti kegagalan pemerintah dalam mengentaskan masalah ketahanan pangan nasional. Meskipun mereka yang mengkritik tidak juga memberikan solusi yang konkret untuk mengentaskan masalah harga beras yang melonjak.

Polemik kenaikan harga beras lantas menjadi isu yang menarik bagi kompetisi politik elit. Setelah urusan Pilkada, dan mahar politik Calon Kepala Daerah mulai surut, kenaikan harga beras adalah wacana yang siap menenggelamkan masyarakat dalam perang opini antara pemerintah dengan kelompok oposisi.

Sebagai Negeri yang pernah mendaku diri sebagai Negeri Agraris, impor beras jelas hal yang tidak rasional. Dalam setiap janji pemerintah, urusan produksi beras dan peningkatan kesejahteraan petani adalah barang kampanye yang selalu seksi. Janji swasembada pangan bukan hal yang baru digaungkan pemerintahan Jokowi, tapi sudah sejak dulu hanya menjadi janji.  Pada akhirnya, Negeri Agraris hanya kenang-kenangan dari kejayaan masa lalu. Kita bisa lihat beberapa orang mungkin akan kembali mempopulerkan jargon, "enak jamanku toh?", Sebuah statement dengan diikuti oleh foto senyum  dari seorang Jenderal diktator yang pernah dianggap berhasil melaksanakan swasembada beras.

Solusi impor beras untuk menekan harga beras yang naik adalah sesuatu hal yang terus berulang. Ketahanan pangan pada akhirnya hanya menjadi sebuah kebijakan manis setiap pemimpin negara kita dalam setiap kampanye. Tidak pernah ada sebuah konsep yang jelas dan matang tentang bagaimana meningkatkan produksi beras nasional. Sehingga ketika harga beras naik, menurunnya produktifitas panen beras--entah akibat cuaca atau hama--menjadi satu-satunya alasan yang paling masuk akal yang bisa disampaikan pemerintah.

Lagipula, pada kenyataannya pemerintah memang tak serius meningkatkan produktifitas di bidang pertanian. Pemerintah Indonesia hanya fokus pada pembangunan infrastruktur yang katanya akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Itu pun tidak pernah ada data yang riil tentang dampak pembangunan infrastruktur terhadap peningkatan perekonomian. Dan apa pula untungnya bagi masyarakat membaca statistik pertumbuhan ekonomi jika nyatanya harga kebutuhan pokok mereka mahal?

Pembangunan infrastruktur yang dampaknya hanya dibuktikan dengan deretan angka-angka, nyatanya telah banyak merebut tanah-tanah masyarakat yang digunakan untuk menanam kebutuhan pokok. Pembangunan bandara di Kulonprogo semisal, telah menggusur ribuan hektar lahan pertanian. Pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka yang juga menggusur ribuan hektar lahan pertanian. Praktis tiap tahun luas lahan pertanian selalu berkurang, khususnya di pulau Jawa. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan properti, lahan pabrik/industri atau lahan pembangunan transportasi. Kita bisa melihatnya di sekitar kita, sawah yang berubah jadi perumahan, jalan tol, pabrik bandara. Lalu mana mungkin jumlah lahan pertanian yang berkurang mampu menghasilkan produksi yang meningkat?

Pada akhirnya, janji swasembada pangan, janji menjaga ketahanan pangan merupakan janji yang tidak sesuai dengan realisasinya di lapangan. Reforma agraria hanya sebuah poin yang tercantum dalam nawacita, yang kalah menarik daripada usaha pembangunan infrastruktur. Suruh saja masyarakat makan beton, makan angka-angka statistik, atau makan uang yang dihasilkan infrastruktur. Yang mau makan beras, tunggu impor. Masih percaya Indonesia negeri agraris? Kayanya cuma kenangan atau susah move on dipimpin sama jenderal? 

*Penulis merupakan Ketua FPPI Pimkot Jakarta

Kepentingan & Dominasi


Ditulis oleh: Anas Fardillah*
Era globalisasi dan digitalisasi sekarang ini sudah membawa pemahaman masyarakat kepada pemahaman objektifitas. Pemahaman yang tanpa didasari dengan landasan teori dan kesadaran. Sehingga melalui perkembangan tekhnologi yang ditawarkan oleh pasar, masyarakat sudah menjadikan (mengkonsumsi) tawaran itu sebagai ideologi tunggal ketimbang realitas sosial masyarakat itu sendiri.


Antara pasar, negara, masyarakat, masing-masing memiliki kepentingan tersendiri. Kepentingan pasar terhadap negara adalah kebijakan (regulasi) dan pendapatan (keuangan) negara. Kepentingan negara terhadap pasar adalah produk. Kepentingan masyarakat terhadap negara adalah ekonomi (kesejahteraan). Apa kepentingan pasar terhadap masyarakat? Apa kepentingan negara terhadap masyarakat? Dan apa kepentingan masyarakat terhadap pasar?


Pasar menurutnya adam smith adalah tangan-tangan yang tak terlihat (invisible hand). Sehingga kondisi negara dan masyarakat hari ini sudah dikontrol oleh pasar; yang seharusnya negara-lah yang mengontrol pasar dan masyarakat. Dalam kajian marxisme revisionisme bahwa mekanisme dalam suatu negara harus bersifat objektif; artinya negara harus dijadikan sebagai kehendak umum. Akhirnya yang mengontrol pasar dan masyarakat adalah negara. Akan tetapi kaum revisionis menekankan pada tatanan parlementer; dimana yang mengatur bagian parlemen atau oknum yang berada didalamnya adalah proletar yang dalam hal ini pun akhirnya lenin menggagas yang namanya diktator proletar (sendem-CC).Akhirnya kapitalisme akan menggali kuburannya sendiri (karl marx). 

Hancurnya kapitalisme ditandai dengan karna adanya kontradiksi internal; dimana kacamata semiotika (yasraf amir pilliang) memandang bahwa "musuhnya kaum sosialisme bukanlah kapitalisme tapi imperialisme, karna kapitalisme justru digunakan sebagai kemajuan sosialisme itu sendiri". Negara indonesia merupakan target (korban) daripada borjuis nasional dan internasional. Dilihat dari eksperimen sejarah bahwa yang mendasari kolonialisme masuk menjajah di indonesia adalah ditandai karna adanya pelayaran yang dilakukan oleh facto de gama (marcopolo), dimana hasil dari pelayaran tersebut ia melihat dua pulau (padi-emas). Sampai kepada abad 21 ini maka imdonesia sudah di kuasai dan di dominasi oleh investor asing (pasar). Akhirnya posisi negara akan mengarah kepada "liberalisasi". Negara indonesia (liberalisasi) pun kini sudah di swastanisasikan; contoh kasus BUMN dijual ke swasta pada era rezim (Jokowi-JK).Salah satu target daripada negara industri internasional (kapitalis) adalah negara dunia ketiga (indonesia) yang masih berkembang (lenin/imperialisme). Lenin sebagai organisatoris revolusioner di rusia (tsar) menggambarkan tentang sistem atau srategi yang dilakukan oleh imperialisme. Imperialisme secara definitif menurut lenin adalah kapitalisme monopol. 

Dimana kapitalisme monopol (imperialisme) ini memiliki cabang-cabang, cara, strategi, untuk mensirkulasikan modalnya. Negara indonesia yang dikenal sebagai negara terkaya di dunia akan kekayaan sumber daya alam (SDA)nya merupakan target negara maju (industri). Maka dari itu janganlah heran yang menguasai negara sekarang adalah pasar (investor). Karna memang negara sendiri belum mampu menciptakan formulasi baru terkait penciptaan alat produksi. Sementara bicara sumber daya manusia (SDM)nya indonesia sudahlah cukup untuk mengelola dan mengatur hasil kekayaan alamnya sendiri lewat produksi; dengan begitu masyarakat tidak lagi tergantung atau mengikut dengan hasil ciptaan (produk) pihak asing.Tugasnya negara adalah memberikan corak produksi terhadap masyarakat agar masyarakat bisa lebih produktif dalam mengelola hasil produksinya melalui sarana produksi (tanah) yang dimilikinya. Jika negara (pemerintah) hari ini memberikan corak produksi kepada masyarakat maka negara bisa menjadi negara welvert state (kesejahteraan) yaitu kemandirian secara ekonomi, politik, budaya, agama, pendidikan, dan lain sebagainya. Akhirnya kapitalisme internasional (global) akan mengalami over produksi yang pada konteksnya dimana daya beli masyarakat sudah melemah.

*penulis adalah kader Forum Komunikasi Mahasiswa Demokrasi

Refleksi Calon Wisudawan

Mungkin tidak ada satupun di dunia ini yang memacu adrenalin selain mempertaruhkan hidup. Lepaskan dulu sementara pengetahuan agama samawimu, hingga kepercayaan kepada pagan. Sebab membaca tulisan ini harus benar-benar menjadi seorang yang agnostik. Jangan kritisi tulisan ini dengan kepercayaan, karena pintu rezeki tidak berbanding lurus dengan status pekerjaan.
Wisuda merupakan kegiatan yang tidak wajib dilaksanakan bagi sebagian orang, kegiatan ini hampir mirip-mirip mahasiswa baru dihadapkan dengan ospek. Euforianya mirip, melepas status dari mahasiswa ke pengangguran begitupula sebaliknya ospek dari siswa menjadi lebih keren yaitu mahasiswa. Sama-sama dihadapkan kepada kekejaman realitas, padatnya kegiatan akademik dan non-akademik, di satu sisi melepaskan semuanya. Poin pentingnya tidak semua mahasiswa dapat ikut serta dalam ajang wisuda, dan tidak semua pemuda dapat merasakan ospek di perkuliahan. Lebih pentingnya lagi dalam pandangan absurditas, baik wisuda atau tidak manusia harus menjalankan hidupnya sebagai manusia, bukan sebagai hewan.
Kembali lagi pada poin WISUDA, ia menjadi satu fase pendewasaan metamorfosis mahasiswa. Ada yang menjadi kupu-kupu, namun adapula berubah menjadi kecoa. Kehidupan seperti itu harus dilalui, sebagai nihilis tetaplah hidup hanya untuk kematian, tidak lebih dan tidak kurang.
Ketika sebuah pertanyaan dilemparkan kepada calon wisudawan. "Habis ini mau ngapain?" tentu jawabannya akan abu-abu, meskipun ada juga yang dapat menjawab secara lugas hingga menggunakan slide power point. "Pastilah kerja", tukasnya. Kita sama-sama paham jika setelah meraih gelar sarjana tentu bekerja. Pertanyaanya pun menjadi semakin berlipat ganda seperti puisi widji thukul. "Terus mau kerja apa?" sesaat percakapan menjadi sedih di tengah keriuhan wisuda. Temanmu hanya mampu memberi selamat, kalo lebih mungkin dia punya modal membuat usaha untuk siap merekrutmu menjadi pegawainya. "Ya, nantilah coba lempar-lempar CV ke lowongan kerja yang ada" usaha seperti ini jelas akan dilakukan. Tunggu dulu daritadi kita membicarakan kerja sedangkan belumlah kita membedakan kerja manusia dengan aktivitas hewan.
Sejak kita sudah mempunyai pengetahuan yaitu ketika kita mampu membedakan peran kedua orangtua kita, siapa yang ayah dan siapa yang ibu kita sudah mempunyai pengetahuan sedikit tentang kerja dari aktivitas mereka. Sesederhana itu kita mengerti kerja, pengetahuan kita hanya sebatas aktivitas mereka. Baru kemudian setelah kita memasuki ruang pendidikan, ibu atau bapak guru mengenalkan pada kerja-kerja lainnya. Entah mencontoh orang tua teman-teman kita. Ada berbagai macam kerja yang kesimpulannya semuanya harus menghasilkan uang.
Jelas sejak manusia muncul hanya mencari keuntungan, begitu ujar aristoteles menyebut manusia sebagai homo economicus. Secara naluri individu bolehlah bila kerjamu hanya untuk diri sendiri, cukup bertahan hidup dari ancaman ekosistem. Namun individu memiliki fungsi sosial dan memiliki peran terhadap realitas.
Sebagai manusia tentu membedakan dirinya dengan konsepsi kerja, untuk membedakan dari tumbuhan dan hewan. "Jika hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Jika bekerja hanya sekedar bekerja, kera juga bekerja", ujar Buya Hamka. Lantas apa perbedaannya?
Seluruh makhluk hidup di jagat kosmos pasti memiliki sifat adaptif. Mulai dari mikroorganisme hingga yang tampak kasat mata. Namun manusia adalah makhluk paling lemah diantara golongan hewan dan tumbuhan. Hidupkan mesin waktu ingatanmu dan mari kembali ke masa lalu, tepat disaat usia kita balita. Manusia butuh proses untuk mengenali lingkungannya, di awal keluarga hingga berbagai macam lingkaran in-groupnya. Semuanya harus diajari, bahkan hal yang bersifat untuk dirinya sendiri yaitu berjalan, berbicara, mengingat dan lain-lain. Manusia sangat-sangatlah lemah seperti lirik lagu AdaBand "teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja". Berbeda dengan hewan, baru lahir beberapa minggu kemudian dapat berjalan. Hidup manusia tidak lebih keras dari hewan dalam rantai makanan. Karena manusia memiliki akal untuk dapat menghabisi rasa keingintahuannya, berbeda dengan hewan. Lantas setiap kegiatan manusia adalah sejarah bagi dirinya dan sekitarnya. Jika hewan ia tak pernah menorehkan sejarah, karena rantai makanan dan jaring-jaring makanan adalah suatu keharusan.
Perkembangan harus terus berlangsung. Perubahan tak akan bisa dibendung. Tugas manusia adalah menciptakan sejarah. Membantu manusia lainnya dalam kehidupan masyarakat. Marilah seksama merefleksikan kembali fungsi sosial dan peran dalam masyarakat. Masihkah pandangan kerja hanya sebatas menambah pundi-pundi rekening deposito? Ataukah kita akan ikut terlibat dalam menorehkan sejarah dalam sebuah perubahan?. Itu adalah pilihan hidup.
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html