Krisis-isme Pengetahuan & Pergerakan Mahasiswa

Oleh : Anas Fardilah
Memasuki era serba digital mengambil ruang-ruang kompleksitas menandakan adanya pelipatan ruang. Pelipatan ruang merampas segala apa yang tertanam dalam diri mahasiswa. Pemanfaatan ruang kian merajalela dikalangan kaum terpelajar mengakibatkan si pelajar hidup  melampaui realitasnya sendiri (hiper-realitas). Tentu polarisasi kehidupan mahasiswapun terkungkung pada kehidupan yang serba monotheisme. Ini menyebabkan ruang gerak mahasiswa serba fatal. Inilah era dimana generasi sedang lupa diri (amesia).
Kecanggihan tekhnologi mampu menempati segala ruang aktivitas mahasiswa baik dalam proses berpengetahuan maupun berpergerakan. Kurangnya investigasi yang dilakukan akan meredupkan tindakan mahasiswa bersikap kritis akan pemanfaatan ruang atas tekhnologi.
Eksistensi mahasiswa dengan hadirnya tekhnologi diperkuat lewat stasiun televisi dan berbagai macam media sosial membawa mahasiwa ke dalam perpektif yang seolah-olah. Dunia mahasiswa sebatas berputar di tekhnologi saja. Ini sebenarnya yang menjadikan mahasiswa sudah melampaui dari realitasnya sendiri (hiper-realitas). Bahwa piranti tekhnologi itu kemudian membawa mahasiswa ke dalam jurang pembodohan. Jadi dari ke seolah-olahannya itu membuat mahasiswa tidak bernyali untuk bertindak. Menandakan bahwa mahasiswa tidak mampu melakukan proteksi terhadap realitasnya sendiri.
Ironinya mahasiswa justru cenderung menyikapi persoalan politik ketimbang persoalan sosial. Ini menandakan kurangnya kesadaran mahasiswa dalam menyikapi setiap problem yang ada. Ini juga yang mengakibatkan kritisisme mahasiswa mulai prematur.
Dalam ruang lingkup pendidikan mahasiswa tidak lagi dijajah atau ditindas secara fisik seperti halnya yang dilakukan oleh rezim ORBA, tapi mahasiswa sekarang dijajah melalui sistem (regulasi) yang diterapkan birokrasi kampus. Sewalaupun kriminalisasi terhadap mahasiswa kian marak terjadi. Terbukti dengan adanya sistem UKT-BKT, Pelarangan berlembaga, penjualan buku oleh dosen, drop out, KKN berbayar, penetapan kurikulum, penggelapan alokasi APBN, pembatasan masa semester (kuliah), Hal demikian secara sadar atau tidak sadar merupakan modus operandy yang dilakukan oleh birokrasi terhadap mahasiswa.
Penjualan buku oleh dosen di kelas dengan harga mahal dengan berdalih embel-embel itu akan melahirkan penyeragaman cara berfikir dikalangan mahasiswa. Mahasiswa yang takut akan nilai cenderung mengikuti 'dalih pelicin' yang ditawarkan oleh sang dosen. Hubungan mahasiswa dengan dosenpun akhirnya erat dengan jaminan nilai. Mengekor dan mengikut dengan perkataan dosen itu menjadikan mahasiswa tidak lagi mandiri berpengetahuan; karna ia cenderung menerima ketimbang mencari, diatur ketimbang berpikir mandiri.
Kesimpang-siuran yang terjadi dikalangan mahasiswa adalah mempertahankan egosentrisme masing-masing. Sentimentil sesama mahasiswa hanya persoalan perbedaan ideologi, warna bendera, organisasi, menimbulkan perpecahan 'sesama mahasiswa'. Mereka tidak lagi menyatu dalam menyikapi ketimpangan dan kesenjangan sosial. Eksistensial yang sama melahirkan esensial yang berbeda. Berpengetahuanpun tidak menyatu apalagi berpergerakan.
Penyatuan gerakan dikalangan mahasiswa sangat mustahil adanya; karna masing-masing mempunyai kepentingan tersendiri. Jadi apakah sistem yang menindas mahasiswa ataukah mahasiswa yang menindas mahasiswa? Gerakan tanpa arah akan melahirkan tuntutan yang tak terarah pula. Gerakan tanpa dibentengi dengan penyatuan maka mustahil akan menciptakan tuntutan yang tepat 'SASARAN'.
Sikap apatis, budaya hedon, sifat gengsi, mengakibatkan tertindihnya kesadaran. Sehingga tidak menjadikan mahasiswa bersikap kritis. Hal demikian di atas dikarenakan kurangnya perhatian mahasiswa dalam menyikapi berbagai macam problem yang terjadi. Jelaslah kiranya bahwa sekarang mahasiswa sedang mengalami krisis dalam memperoleh pengetahuan dan melakukan suatu gerakan perubahan.
Perlawanan mahasiswa berhasil dibungkam oleh kebijakan kampus. Kebijakan baru melahirkan perlawanan baru. Merupakan bentuk pengalihan issu yang dilakukan oleh pihak birokrasi untuk mengalihkan titik fokus mahasiswa terhadap issu yang satu dengan issu yang lain sehingga Ketuntasan tuntutanpun tidak tercapai sebagaimana dituntut. Gerakan momentuman membawa mahasiswa untuk melakukan politik identitas. 'Kepala harganya murah'.
Gerakan yang sadar, terorganisir, ideologis mampu menciptakan perubahan. Problem kerakyatan yang semakin kompleks membutuhkan resistensi yang betul-betul tuntas; ini membutuhkan sikap politik dan praktek sosial dikalangan mahasiswa yang 'SADAR' akan ketertindasannya. Berawal dari lokal ke nasional dan mengembalikan ke lokal. Artinya mendorong masalah sosial ke politik dan bukan sebaliknya.
"Mendidik Mahasiswa dengan Pergerakan Mendidik Birokrasi dengan Perlawanan"

Comments
0 Comments

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html