Oleh: Anas Fardilah
Mei 98 merupakan pelajaran. Runtuhnya rezim orde baru bukan berarti sistem kekuasaannya juga ikut runtuh. Kejatuhannya hanya sekadar formalitas, sementara kekuasaannya akan tetap berjalan menjalar sampai saat ini. Sudah terbukti bahwa yang mengendalikan sistem perekonomian nasional sekarang adalah antek-antek rezim orde baru yaitu koloni serta keluarga cendana. Reformasi total sebagai jargon aktivis 98 adalah reformasi yang gagal. Secara totalitas bukanlah reformasi. Olehnya pasca keruntuhan rezim otoritarian itu bukanlah capaian dalam pergerakan melainkan pelajaran untuk pergerakan. Pembungkaman, penindasan, itulah yang membuat 'mahasiswa' secara sadar melakukan suatu gerakan perlawanan. Namun apakah yang di tindas dan yang di bungkam sekarang sadar akan hal itu?
Mei 98 merupakan pelajaran. Runtuhnya rezim orde baru bukan berarti sistem kekuasaannya juga ikut runtuh. Kejatuhannya hanya sekadar formalitas, sementara kekuasaannya akan tetap berjalan menjalar sampai saat ini. Sudah terbukti bahwa yang mengendalikan sistem perekonomian nasional sekarang adalah antek-antek rezim orde baru yaitu koloni serta keluarga cendana. Reformasi total sebagai jargon aktivis 98 adalah reformasi yang gagal. Secara totalitas bukanlah reformasi. Olehnya pasca keruntuhan rezim otoritarian itu bukanlah capaian dalam pergerakan melainkan pelajaran untuk pergerakan. Pembungkaman, penindasan, itulah yang membuat 'mahasiswa' secara sadar melakukan suatu gerakan perlawanan. Namun apakah yang di tindas dan yang di bungkam sekarang sadar akan hal itu?
Terjadinya peleburan budaya di kalangan mahasiswa mengakibatkan mahasiswa itu tak lagi menyikapi kebijakan-kebijakan kampus yang di anggap melenceng. Akhrinya krisis pengetahuan dan pergerakan pastilah terjadi. Justru yang muncul adalah kontradiksi vertikal dan horizontal. Terutama dalam menyikapi tindakan represif, intimidasi, serta pembungkaman birokrasi oleh aparatur kampus. Kriminalisasipun di anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja dan biasa-biasa saja. Dalam menyikapi sistem pendidikan khususnya hanyalah tindakan pra-sadar yang mengarah kepada gerakan momentum yang akhirnya melahirkan tuntutan yang tidak tepat sasaran. Disebabkan tidak adanya penyatuan sesama mahasiswa. Baik itu penyatuan gerakan maupun penyatuan sikap. Akhirnya hubungan sesama mahasiswa melahirkan sentimen. Sudah termasuk budaya mahasiswakah sentimen itu? Bukankah penyatuan itu adalah kekuatan?
Birokrasi-birokrasi kampus dengan gampang mengeluarkan segala macam regulasi. Regulasi yang secara real untuk menghancur-leburkan kesadaran mahasiswa. Dengan membuat segala doktrinasi serta intervensi kepada mahasiswa; salah satunya adalah membatasi masa perkuliahan terhadap mahasiswa. Akibatnya mahasiswa yang berpikiran akademisi akan berlomba-lomba untuk menuju kepada tahap penyelesaian. Apakah komersialisai pendidikan adalah cara mahasiswa untuk memperoleh nilai (IPK) yang tinggi? Bukankah itu bentuk tindakan 'melacurkan pengetahuan'?
Sekarang mayoritas ada yang sibuk mengemis meminta-minta tanda tangan dari sang dosen, Ada juga sebagian kecil berlaku sentimen, ada lagi yang mempertahankan ego-sentrisnya, juga ada yang hendak melakukan politik identitas. Eksistensi mahasiswa menjadi terpilah-pilahkan. Seakan kata menyatu itu sifatnya ilegal. Birokrasi melahirkan konflik, mahasiswa juga ikut melahirkan konflik. Birokrasi berkepentingan, mahasiswapun juga berkepentingan. Entah itu kepentingan lembaga (organisasi) maupun kepentingan ideologi. Dosen bersentimen dengan mahasiswa, lagi dan lagi mahasiswa itu juga bersentimen dengan sesama mahasiswa. Kata mahasiswa akhirnya bukanlah satu kesatuan melainkan bermacam-macam satuan. Kenapa kita sesama mahasiswa terbecah-belah? Kenapa masing-masing dari kita saling bersentimen? Bukankah musuhnya kita adalah kapitalisme? Bukankah lawan kita adalah pembungkaman? Apa kita membiarkan tindakan represif aparatur kampus itu?