Tulisan ini kubuat ketika berdiskusi dengan seorang perempuan. Aku sadar, di luar sana terdapat perempuan-perempuan yang berfikir sama. Oleh sebab itu, saya merasa perlu membuat tulisan ini.

Pertama kali aku bicara tentang suku adalah ketika Semester 3 di bangku kuliah. Saat itu, aku tergabung dalam sebuah organisasi FOKMAD (Forum Komunikasi Mahasiswa Demokrasi) di kampus. Kawan FOKMAD ku, yang adalah orang mandar, menyukai seorang gadis Bugis. Salah seorang teman FOKMAD ku juga orang Bugis.
Ketika bercerita bahwa dia menyukai orang Bugis, Kawan mandar bertanya kepada si teman bugis, "Orang Bugis nggak boleh nikah sama suku lain ya?". Si teman menjawab, intinya, tidak boleh atau sulit. Saat itulah aku baru tahu bahwa di dunia ini ada larangan nikah beda suku.
Namun saat itu hingga beberapa waktu setelahnya, aku pikir cuma orang Bugis yang tidak boleh menikah dengan suku lain, sedangkan suku-suku lain boleh. Tetapi nyata nya itu tampak berbeda. Realitas terlalu kejam untuk diceritakan. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilai setiap orang sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok atau suku mana mereka termasuk serta dari aliran apa mereka berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.
Dari situ aku berpikir Ego akan kesukuan masih membudaya pada sebagian masyarakat kita. Hal ini menyangkut pandangan bahwa hanya sukunya saja yang terbaik dan menganggap sebelah mata pada mereka yang tidak sesuku. Keegoan ini pun sering terjadi pada masalah perjodohan.
Selama kuliah hingga saat ini, aku melihat beberapa teman pacaran beda suku dan banyak dari mereka yang akhirnya putus karena perbedaan tersebut. Sebagian dari mereka tidak direstui, ditentang, bahkan diperlakukan tidak baik oleh orang tua mereka.
Aku selalu merasa kasihan dan prihatin ketika peristiwa semacam itu menimpa kawanku. Bagiku, aturan itu tidak masuk akal. Kalau sudah sama-sama kenal Tuhan, apa masalahnya coba? Adakah Tuhan melarang pernikahan beda suku? Hal ini menjadikan perilaku-perilaku rasis tetap eksis dalam kehidupan kita.
Lalu coba kulihat dari segi budaya atau adat. Mungkin ada keberatan karena alasan beda budaya. Kapankah kita melakukan praktek adat? Dari yang kulihat, sebagian besar dari kita melakukan praktek adat hanya pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan dan kematian. Sedangkan dalam praktek hidup sehari-hari, aku hampir tidak melihatnya.
Coba kita bandingkan, apa saja yang kita lakukan setiap hari, mulai pagi hingga malam, mulai Senin hingga Minggu, apakah bisa secara signifikan disebut "beda budaya"?. Aku melihat, suku apapun kita, cara hidup kita serupa.
Sebagian besar makanan kita sama. Kita belajar, bekerja, beribadah, berolahraga, jalan-jalan, dll, dengan cara yang sama. Jika begitu, apa masalahnya jika kita menikah maupun berkawan?
Kalau kita sama para kapitalis rente, layaklah disebut "beda budaya", tapi kita yang sama-sama tinggal di tanah ini, menurutku sama saja..