Menanggapi isu terkait penggusuran PK5 akibat pembangunan jembatan layang & Rektor UNM yang ingin mempercantik kampusnya membuat lagi-lagi kaum miskin kota dipinggirkan dan dialienasikan dengan alat produksinya. Mereka akan digusur dan diusir karena menganggu pemandangan. Padahal jika diatur dengan seksama maka akan tampak keteraturan. Mereka pun sudah mengatur sedemikian rupa, agar dapat tercipta keserasian dengan para pedestrian. Namun demi frasa serta persepsi yang estetik, serta hak pejalan kaki, hingga diskursus kemacetan, mereka dipinggirkan oleh pemerintah kota. Saya yakin kemacetan bukan soal PK5, jika telah tertata rapi. Saya yakin para pedestrian dapat berjalan dengan nyaman jika tertata. Semua butuh duduk bersama, bukan penggusuran kepada kaum miskin kota.
Di depan kampus negeri yang mendaku diri, mengkultuskan diri sebagai institusi kerakyatan. Tak lebih dari kampus penghamba CSR, gerbang penindas kaum agraris dan masyarakat adat. Mereka juga tak mendapatkan solusi dari para intelektual, yang sering berbicara ketimpangan dan toleransi. Intelektual tradisional penghamba rezim.
Lantas, pk5 depan UNM dan tempat pk 5 lainnya harus tetap ada dan menjadi tempat bersosialisasi, ramah pedestrian dan menjadi tempat mengais rezeki. Kami tidak butuh janji, namun berdialog dan merumuskan bersama. Bukan mengusir, seolah-olah kaum miskin kota itu hina