BURUH & MAYDAY

Oleh: Tengku Harja Irvan

Chicago, Mei, 1886, serikat buruh, reformis, sosialis, anarkis, dan buruh non-serikat bersatu padu memenuhi pusat kota dalam rangka memperjuangkan Triple 8: 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam waktu sosial. Antara 25 April sampai dengan 4 Mei, para buruh massif melakukan rapat-rapat bawah tanah dan parade-kampanye turun ke jalan sebanyak 19 kali. Tepatnya Sabtu, 1 Mei 1886, 35.000 buruh mogok kerja. Puluhan bahkan ratusan ribu, baik buruh skill dan non-skill, menyusul untuk bergabung bersama 35.000 massa buruh lainnya pada tanggal 3 dan 4 Mei. Di antara tanggal 1 sampai dengan 4 Mei, ratusan ribu buruh beramai-ramai melakukan sweeping dari pabrik ke pabrik mengajak rekan-rekan buruh lainnya untuk bersama-sama melakukan mogok. Di antara momen historis itu pula, tak pelak bentrokan antara massa buruh dengan polisi terjadi belasan kali (Christopher Thale, Haymarket and May Day: Chicagohistory.org).
Dalam selebarannya, para buruh mengumandangkan:
• Buruh membentuk barisan!
• Perang ke Istana, Damai kembali ke Gubuk, dan Mati dengan Kemewahan!
• Sistem pengupahan yang ada adalah satu-satunya sebab kesengsaraan dunia. Hal tersebut dikendalikan oleh kelas kaya, dan untuk menghancurkannya, mereka juga harus bekerja sama seperti kita atau MATI!
• Satu pon DINAMIT lebih baik daripada segantang SURAT SUARA!
• BUAT TUNTUTANMU UNTUK DEPALAN JAM KERJA dengan senjata ditanganmu untuk menemui anjing penjaga kapitalis, polisi dan preman! (Eric Chase, 1993, The Brief Origins of May Day: iww.org)

Tak heran jika kelas buruh memproklamirkan perang terhadap kelas kapitalis di akhir abad ke-19 tersebut. Sebab, kondisi kerja yang keras dan jam kerja antara 10 sampai 16 jam per hari dengan kondisi kerja yang tak aman menempa keseharian mereka. Upah tak layak pun tak luput sebagai sebab mereka melakukan pergerakan. Keberhasilan gerakan memperjuangkan tuntutannya pun dibayar dengan ongkos jiwa yang tak ternilai. Ratusan orang tewas ditembaki oleh polisi dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati karena dianggap sebagai pemberontak. Mereka yang mati pun dikenang sebagai pahlawan oleh generasi buruh berikutnya.
Di Indonesia, May Day pertama kali digelar di Surabaya pada tanggal 1 Mei 1918. Sejak tahun 1918 sampai dengan 1926, buruh rutin menggelar May Day dengan melakukan pemogokan umum besar-besaran. Tuntutan-tuntutan yang diusung oleh kaum buruh pada kala itu tak lepas dari tuntutan-tuntutan hak mendasar kaum buruh. Sebagai contoh pada tahun 1923, Semaun menyampaikan kepada hadirin rapat umum VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) di Semarang untuk melancarkan pemogokan umum dengan alasan menuntut: jam kerja 8 jam, penundaan penghapusan bonus sampai janji kenaikan gaji dipenuhi, penanganan perselisihan ditangani oleh satu badan arbitrase independen, dan pelarangan PHK tanpa alasan (Rudi Hartono, 2011, Sekilas Sejarah Hari Buruh Sedunia Di Indonesia: Berdikarionline.com). Pasca tahun 1926, tepatnya pasca kegagalan pemberontakan bersenjata melawan kolonialisme, peringatan May Day ditiadakan guna menghindari penangkapan anggota-anggota serikat buruh.
Pada tahun 1948, dikeluarkan Undang-Undang Kerja nomor 12 tahun 1948 yang mengesahkan tanggal 1 Mei sebagai hari resmi kaum buruh. Pasal 15 Ayat (2) UU Kerja no 12/1948 menyatakan: “Pada hari 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.” Diriwayatkan bahwa pada tahun 1948, meskipun situasi nasional dalam keadaan perang dengan Belanda, 200 hingga 300 ribu buruh membanjiri alun-alun Jogjakarta demi merayakan May Day. Selama pemerintahan Bung Karno berkuasa, peringatan May Day selalu dilakukan oleh gerakan buruh dengan tipikal parade dan rapat umum yang bersifat ideologis, mendidik kaum buruh itu sendiri.
Sedih, sepanjang Soeharto mengambil alih kekuasaan, peringatan 1 Mei sebagai hari buruh dihapus. Karena ahistoris dan sarat politis, pada tahun 1977, Orde Baru menetapkan tanggal 20 Februari sebagai hari buruh. Penetapan 20 Februari pada tahun 1977 tersebut beriringan dengan peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Sepanjang kekuasaan Orde Baru, perayaan hari buruh 20 Februari diwarnai dengan acara-acara yang bersifat seremonial. Wajar, serikat buruh kala itu digirng oleh Orde Baru agar apolitis.
Pasca Reformasi, gerakan buruh mulai menyuarakan kembali agar 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh Indonesia dan hari libur nasional. Reportase media mencatat, unjuk rasa itu membuat gerah pengusaha. Sebab, selain dilakukan masif di kota-kota besar, aksi itu digelar satu pekan lamanya (Kompas, 2016). Gerakan pun dilakukan tahun demi tahun, hingga pada tahun 2013 menuai hasil, atas desakan buruh, presiden SBY pada tanggal 29 April 2013 menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh dan libur nasional.
Dalam perspektif gerakan buruh, perayaan May Day bukanlah peringatan kemenangan, melainkan sebuah peringatan perjuangan buruh untuk terus melakukan pergerakan dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Bercermin pada situasi sosial-ekonomis kaum buruh yang masih mengalami penindasan, maka perayaan May Day adalah momen untuk kembali merefleksikan sejarah perjuangan kaum buruh dan sekaligus menyambung tongkat estafet perjuangan menyejarah kaum buruh itu sendiri.
May Day tahun ini bukanlah kemenangan, melainkan salah satu momen historis untuk mengkampanyekan tuntutan-tuntutan pembebasan kaum buruh dari kemelaratan yang dialaminya sehari-hari. Buruh Indonesia hari ini masih menerima upah murah dalam 8 jam kerja. Untuk mendapatkan sedikit tambahan uang, ia harus lembur 3 jam, maka total jam kerja per hari 12 jam demi tambahan sedikit uang lembur. Selain itu, sistem kerja kontrak yang diulang-ulang selama lebih dari dua tahun terus menghalangi buruh kontrak untuk mendapatkan kepastian kerja. Lebih parah, sistem kerja outsourcing merebak di segala lini sektor produksi inti. Belakangan ini, pemerintah melegalkan sistem kerja magang dengan membuat Program Pemagangan Nasional, yang pada esensinya adalah memberikan hadiah kepada pengusaha berupa tenaga buruh murah dengan kedok “dalam rangka memacu tingkat produktivitas nasional”. Situasi ketidaklayakan ekonomis akan terus diidap oleh generasi angkatan kerja, bahkan hingga mencapai usia pensiun 15 atau 20 tahun mendatang, karena nilai jaminan pensiun yang terlalu rendah dan tidak layak.
Berdasarkan pada cermin situasi perburuhan diatas, maka sudah sepatutnya kaum buruh harus marah, mengekspresikan kemarahannya melalui aksi-aksi propaganda, salah satunya unjuk rasa. Dalam hal menyikapi May Day tahun ini, maka bersatulah dalam barisan aksi. Merupakan suatu pengkhianatan sejarah jika kaum buruh merayakan May Day dengan melakukan festival seperti yang dianjurkan oleh pejabat-pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Upaya-upaya pejabat pusat maupun daerah yang menganjurkan buruh agar merayakan May Day dengan festival adalah bukti keberpihakan mereka kepada kaum pengusaha anti gerakan buruh dan sekaligus pembodohan tersendiri kepada kaum buruh, yang dalam bahasa Antonio Gramsci disebut sebagai, hegemoni. Dalam Prison Notebooks, Gramsci memberi pengertian bagaimana kekuatan negara dipertahankan dengan gagasan—dibanding dengan kekerasan. Gramsci memandang lingkungan masyarakat sipil—serikat buruh dan kaum buruh juga termasuk didalamnya—dibawah negara borjuis, akan mengalami kesadaran semu akibat terkena penetrasi gagasan budaya yang di(rep)roduksi oleh aktor negara (salah satunya,) dalam rangka mempertahankan status quo ekonomi-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Anjuran perayaan May Day dengan tidak berdemonstrasi dan diganti dengan festivalisme adalah salah satu bius hegemoni kaum buruh. Dalam rangka konter-hegemoni, kaum buruh harus melakukan ‘perang posisi’, salah satu taktisnya adalah dengan membangun pemahaman alternatif dan memberikan pengetahuan alternatif diluar kerangka pemikiran penguasa. Gerakan sosial-politik adalah jawabannya.
Dalam konteks merayakan May Day tahun ini, oleh karenanya, sebagai simbol penghormatan kepada para buruh yang telah berjuang mengupayakan perbaikan kesejahteraan kaum buruh di dunia dan di Indonesia khususnya, dan sebagai sikap politik pribadi serta organisasi serikat buruh yang sadar akan ketertindasan kaum buruh, festivalisme adalah haram, dan aksi-aksi pergerakan progresif adalah wajib.
Selamat Menyambut Hari Buruh Sedunia dan Selamatkan Hari Buruh Indonesia!

Tugas-Tugas Kita Soal Budaya Literasi

Kita patut miris ketika memperhatikan kondisi hari ini karena Indonesia sebagai negara besar yang sedang berkembang mempunyai indeks minat baca yang sangat rendah. Dalam survey yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu menyebutkan bahwa dalam budaya literasi, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara [1]. Sedangkan menurut penelitian UNESCO pada 2012 menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang suka membaca. Sedangkan menurut penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, bahwa dalam kemampuan membaca siswa, Indonesia menempati urutan ke-69 dari 76 negara. Hasil tersebut bahkan lebih rendah dari Vietnam yang menempati urutan ke-12 dari total negara yang di survey [2]. Parahnya lagi, BPS pernah mengeluarkan data tahun 2012 yang menyebutkan bahwa 91,58% dari penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas lebih suka menonton televisi. Sedangkan yang minat membaca buku atau majalah hanya mencapai sekitar 17,58%. Tahun 2015, Perpustakaan Nasional RI juga mengeluarkan kajian, dimana hanya 25,1% dari masyarakat Indonesia yang minat membaca [3]. Banyak hasil-hasil survey lain juga yang menunjukkan budaya membaca kita sangat rendah.

Hal tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia mengalami krisis intelektualitas yang sangat parah. Bisa dipastikan bahwa budaya membaca rakyat telah berkurang sejak naiknya pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut dibuktikan dari adanya penghancuran generasi intelektual tahun 1965, pemberangusan buku-buku progresif, hingga dipisahkannya rakyat dari politik sehingga rakyat tidak mempunyai kesadaran kritis sama sekali. Pemerintahan otoriter Orde Baru pada akhirnya membuat propaganda-propaganda yang fungsinya untuk membodohi rakyat seperti membuat film yang berisi distorsi sejarah berjudul Pengkhianatan G30S/PKI serta membuat propaganda kebohongan lainnya. Buku-buku Benedict Anderson dan Pramoedya Ananta Toer yang sarat akan makna pun tidak lepas dari pemberangusan. Bahkan banyak buku-buku yang dicap buku komunis – atau bahkan buku ekstrimis kanan – pada akhirnya diberangus oleh pemerintah. Maka tidak heran jika kita baru mengenal Gramsci atau tokoh seperti Horkhaimer misalnya ketika pemerintahan Orde Baru runtuh. Selepas pemerintahan Orde Baru runtuh, rakyat Indonesia tidak terlepas dari masa kegelapan. Pada akhir-akhir ini misalnya banyak stigma komunis yang beredar, seperti Ahok yang dituduh komunis atau pemerintahan Jokowi yang disebut komunis hanya karena mengadakan kerjasama dengan Cina misalnya. Parahnya lagi, stigma komunis sama dengan liberal serta Atheis juga banyak beredar. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia sangat tidak tercerahkan karena berkurangnya indeks minat baca.

Sayangnya, para pemuda-pemuda progresif yang memulai gerakan literasi dengan tujuan untuk mencerdaskan rakyat banyak yang diberangus dengan tuduhan mengganggu ketertiban atau dituduh komunis. Masih segar dalam ingatan kita ketika 3 mahasiswa Telkom University diskorsing karena menyuarakan literasi, adanya pembubaran-pembubaran seminar Marxisme serta LGBT, hingga represi aparat terhadap perpustakaan jalanan di Bandung. Pada akhirnya, semua kampanye gerakan literasi diberangus oleh pemerintah dengan tujuan agar rakyat tidak kritis. Tidak mengherankan jika banyak rakyat Indonesia pada akhirnya tidak mengetahui situasi dan perkembangan dunia kini. Kebanyakan rakyat Indonesia hanya mengetahui hal tersebut dari televisi. Bayangkan saja, hasil survey yang dilakukan oleh KPI tahun 2015 menyebutkan bahwa indeks kualitas program siaran 15 televisi di Indonesia hanya 3,27% atau masih dibawah standar ketentuan KPI – yaitu 4.0 [4]. Jika rakyat Indonesia hanya melihat perkembangan dunia dari menonton televisi saja, bisa dipastikan bahwa rakyat Indonesia menonton banyak acara pembodohan dan cuci otak media.

Kurangnya minat baca dan meningkatnya partisipasi rakyat dalam menonton pembodohan tidak bisa terlepas dari sebab-sebab historis. Selain karena pembodohan dan kekerasan budaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap rakyat, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan budaya literasi kita tidak berkemajuan. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah banyaknya buku-buku yang dilarang beredar oleh pemerintah karena dianggap akan meracuni pemikiran anak bangsa seperti buku-buku filsafat atau buku-buku yang bertendensi sastra, kurangnya partisipasi dari kaum intelektual untuk menerjemahkan buku-buku dari negara lain, hingga adanya pelarangan dari kaum-kaum fanatisme terhadap beredarnya buku-buku lokal yang dianggap menghina agama seperti Serat Darmogandhul atau Serat Centhini Pegon yang terkesan berbau pornografi. Selain itu, kita juga perlu melihat bahwa rakyat juga mengalami alienasi akibat eksploitasi kerjanya. Misalnya, seorang pekerja tidak akan mungkin mempunyai waktu membaca buku karena waktunya banyak disediakan untuk bekerja (selama 8 jam misalnya), beristirahat atau bercengkrama dengan keluarga (selama 5-6 jam misalnya), lembur (selama 2 jam misalnya), sisanya mungkin digunakan untuk tidur. Dari akumulasi waktu yang ada, kebanyakan rakyat Indonesia tidak mempunyai waktu yang memadai untuk membaca buku atau sekedar membaca koran misalnya.

Hari buku sebagai momentum gerakan literasi internasional bukanlah sekedar hari seremonial membaca buku, tetapi lebih dari itu. Hari buku yang dahulunya merupakan simbol kebangkitan budaya literasi dengan mengambil tanggal kematian William Shakespeare sebagai seorang penulis besar, sekarang menjadi tanda matinya budaya literasi. Sebagai kaum progresif-revolusioner, kita patut menyikapi hal tersebut. Melihat kondisi tersebut, kita sebagai kaum progresif-revolusioner sudah seharusnya melakukan tugas-tugas pendidikan agar rakyat membuka mata terhadap kondisi dan situasi realitas di sekitarnya yang mempengaruhi mereka. Salah satu tugas pendidikan yang harus kita gapai ialah menggalakkan budaya literasi di kalangan pelajar, mahasiswa, kaum buruh, dan kaum tani. Kita perlu membuat counter-hegemony terhadap hegemoni ilmu pengetahuan yang ditetapkan pemerintah sebagai perpanjangan tangan korporasi. Kita perlu membuka kesadaran rakyat bahwa kita sudah dibutakan matanya dengan ilmu-ilmu yang terkesan menjauhi rakyat dari realitas. Dengan melaksanakan tugas-tugas tersebut tanpa memperdulikan kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang pro terhadap status quo pemerintahan serta korporasi, kita harus menyadarkan rakyat lewat kampanye budaya literasi sehingga rakyat sadar akan realitas yang melingkupinya dan mau melawan eksploitasi atas diri mereka.

Sumber:

[1] Sjafri Ali. Komisi X: Budaya Literasi Indonesia Perlu Ditingkatkan. 22 Desember 2016. Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat.
http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/12/22/komisi-x-budaya-literasi-indonesia-perlu-ditingkatkan-388550
diakses pada 7 Maret 2017.

[2] ____. Dari 76 Negara, Minat Baca Siswa Indonesia Peringkat ke-69. 22 Maret 2016. Dimuat dalam Harian Jogja.
http://www.harianjogja.com/baca/2016/03/22/penelitian-terbaru-dari-76-negara-minat-baca-siswa-indonesia-peringkat-ke-69-703442
diakses pada 23 April 2017.

[3] Syahrul Minar. Minat Baca Rendah, Mayoritas Warga Hobi Nonton Televisi. 28 April 2016. Dimuat dalam Harian Kompas.
http://regional.kompas.com/read/2016/04/28/21020061/Minat.Baca.Rendah.Mayoritas.Warga.Indonesia.Hobi.Nonton.Televisi
diakses pada 23 April 2017.

[4] Dwi Erianto. Survey Litbang Kompas: Televisi, Dua Sisi Mata Uang. 30 Maret 2016. Dimuat dalam Harian Kompas.
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/05374961/Survei.Litbang.Kompas.Televisi.Dua.Sisi.Mata.Uang
Diakses pada 23 April 2016.


MENYOAL NEPOTISME

Oleh Dilan

Hai bung, besok lusa, jika kalian mendapatkan sesuatu, maka pastikan itu sungguh karena kualitas dan kerja keras kita. Bukan karena “kasihan”, “balas jasa”, “titipan”, apalagi hingga “hasil menyuap”, “nepotisme”, dan sejenisnya.

Hidup ini sebentar saja kalau hanya soal posisi, jabatan, dan sebagainya. Kadang kita merasa sudah keren sekali, tapi orang orang boleh jadi tidak respect sama kita. Banyak contohnya, di kantor BUMN misalnya, ada yang mendadak jadi komisaris, titipan karena pernah berjasa secara politik. Mendadak jadi direktur, lagi lagi titipan karena punya relasi, hubungan. Dia mendapat respek? TIDAK. Bawahan, koleganya mungkin tersenyum saat di depannya, tapi seluruh gedung, seluruh perusahaan (termasuk tukang sapu) juga tahu, dia hanya berkualitas “titipan” saja.

Apapun yang besok lusa kita gapai, pastikan adalah hasil kerja keras, keringat, dan semua kehormatan yang kita miliki. Tidak mengapa jika posisi kita “rendahan” menurut orang lain, tapi semuanya adalah asli kerja keras kita. Bukan karena imbal jasa, terima kasih.

Saya pernah menemukan kasus, ada orang yang diterima bekerja dan diberikan posisi tinggi, gaji tinggi, fasilitas tinggi. Tapi cuma sebulan, orang ini memilih mundur. Kenapa mundur? Dia bilang, pemilik perusahaan tempat dia bekerja, menerimanya hanya karena kebetulan dia memiliki hubungan keluarga. Dia tidak mau dinilai dari sisi itu, dia mau diterima di sana karena memang kompeten, bisa bekerja dengan baik. Maka mundurlah dia (meski dibujuk berpuluh kali oleh pemilik perusahaan). Orang ini, adalah contoh seseorang yang memiliki kehormatan. Tidak ada salahnya jika dia tetap mau terus bekerja di sana, tapi menurut hati kecilnya, dia tidak mau menduduki posisi karena sekadar dianggap membawa keberuntungan. Dia mau dinilai dari kualitas sesungguhnya.

Di kasus lain, juga ada orang yang menolak sebuah posisi karena dia tahu posisi itu diberikan karena “balas jasa”. Menyesal menolaknya? Orang ini menggeleng mantap. Sama sekali tidak. Inilah orang-orang dengan harga diri.

Bung, dengan bekerja keras, tidak ada yang menjamin bahwa hidup kita akan sukses menurut kaca mata orang lain. Tapi percayalah, hanya dengan bekerja keras, kita bisa memastikan hati kita selalu lega dan lapang. Pun kalau besok-besok tetap begitu begitu saja, kita tetap bisa berbahagia, menghargai prosesnya, selalu membumi. Punya-lah harga diri dan kehormatan. Jika kita tahu persis posisi itu diberikan hanya karena “terima kasih” mending tidak. Lebih baik orang orang respek pada kita karena sesungguhnya kita, daripada kita bergaya, tapi orang orang no respect at all dengan kita.

Jangan kecil hati jika kita melihat orang orang punya “jalan pintas”, orang orang lain tertawa bahagia dengan posisi “titipan”, terlihat keren dengan jabatan “nepotisme”,  karena sejatinya, mereka tidak akan pernah bertahan lama. Loyang tidak bisa dipoles seolah emas, kemudian dideretkan bersama emas lainnya, lama-lama akan ketahuan kualitasnya cuma loyang. Sementara emas, meski dilemparkan di atas tumpukan paling tidak berharga, hanya soal waktu, dia akan mendapatkan posisi terbaiknya.

Selamat datang generasi dengan pemahaman terbaik.

KEMANA KURIKULUM PENDIDIKAN KITA DIARAHKAN

Oleh: Dilan

Pada umumnya banyak orang memandang bahwa pendidikan adalah kegiatan mulia yang berwatak netral dan lahir dari niat tulus untuk memperbaiki kondisi hidup manusia. Praktek pendidikan mencangkup transformasi segenap ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan sehari hari. Tuanya praktek pendidikan sama dengan tuanya usia umat manusia karena sejak lahir sampai kematiannya manusia selalu mengalami proses pendidikan.

Namun tak banyak orang yang sadar mengenai tujuan dan hakikat dibalik praktek pendidikan. Pendidikan ternyata tak lepas dari berbagai macam kepentingan ideologis. Perbedaan ideologis dalam pendidikan muncul sebagai akibat dari perbedaan mendasar mengenai pandangan tentang hakikat manusia dan kehidupan. Praktek dan tujuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah misalnya tak dapat dilepaskan dari ideologi yang dianut oleh pemerintah sendiri. Pemerintah yang menghendaki pembangunan dan industrialisasi dan memilih jalan ideologis tertentu, jelas akan banyak menyiapkan sekolah dan kampus yang akan mendukung tujuan tersebut. 

Hendri Giroux dan Aronowitz dalam bukunya yang berjudul Ideology, Culture, And The Process Of Schooling, melakukan klasifikasi mengenai tiga paradigma utama dalam dunia pendidikan yang terkadang luput dari perhatian setiap orang.

Paradigma pendidikan pertama ialah pendidikan konservatif. Pendidikan konservatif berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia sejak lahir sudah diciptakan dengan kemampuan yang berbeda satu sama lain dan hal tersebut adalah hukum alam yang sulit untuk dirubah. Pandangan konservatif lama meyakini bahwa kondisi seseorang ditentukan oleh kekuatan diluar dirinya, misalnya oleh kekuatan takdir tuhan. Lalu pandangan konservatif baru meyakini bahwa kondisi seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri. Pintar atau bodohnya seseorang merupakan sesuatu yang alamiah namun bisa dirubah jika dia beruntung. Jika tidak beruntung, bagaimanapun usahanya, kondisinya tak akan pernah berubah. Sehingga penting bagi setiap orang untuk memiliki sikap sabar dan menerima apa adanya atas kondisi yang ada.

Paradigma yang kedua ialah pendidikan liberal. Pendidikan liberal berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia diciptakan dengan kemampuan setara. Akibatnya setiap orang selalu memiliki potensi untuk menjadi manusia unggul, ia terisolir dari sistem sosial ekonomi dan politik yang ada, ia dapat unggul tergantung seberapa keras usaha yang dilakukannya.  Manusia menurut pandangan liberal adalah individu otonom yang lepas dari objek lainnya serta memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.

Paradigma yang ketiga ialah pendidikan kritis. Pendidikan kritis berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang setara namun sistem sosial, ekonomi dan politik  yang ada membuat manusia akhirnya tidak setara. Ada manusia yang diuntungkan oleh sistem sedangkan ada manusia yang dirugikan oleh sistem. Oleh karena itu pendidikan menurut paradigma kritis, ialah arena perjuangan bagi setiap orang untuk melanggengkan atau meruntuhkan sistem yang ada. Usaha yang dilakukan untuk mengubah kondisi diri seseorang tak akan membuahkan hasil tanpa usaha untuk merubah sistemnya.

Ketiga paradigma pendidikan diatas berdampak luas para tujuan dan praktek pendidikan.  Pendidikan konservatif sangat mendambakan situasi aman dan harmonis, karena kondisi manusia sudah ditentukan sejak lahir serta setiap oranghanya diwajibkan untuk bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuannya, maka apapun hasilnya harus diterima tanpa ada penyesalan atau pemberontakan. Pendidikan konservatif tak mau berurusan dengan usaha usaha yang bertujuan untuk mengubah kondisi masyarakat karena bagi mereka hal tersebut hanya akan melahirkan kekacauan. Pendidikan konservatif ingin melanggengkan status quo atau kondisi yang ada dan tidak menghendaki adanya perubahan radikal dalam masyarakat. Konsekuensi dari keyakinan tersebut nampak dalam upaya mempertahankan tradisi yang telah mapan seperti misalnya tentang tradisi pembelajaran satu arah antara guru dan murid dimana guru sebagai subjek pembelajaran dan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Guru berada pada posisi yang tinggi dan dengan demikian tidak menghendaki adanya perubahan peran yang akan membuat posisinya setara dengan murid. Pada pendidikan formal, kurikulum yang disusun selalu berpedoman pada kebenaran yang dianggap absolut, selalu berpegang pada nilai nilai lama dan menganggapnya universal, serta ingin melestarikan tatanan yang telah ada. Usaha perubahan yang dilakukanpun hanya sekedar diarahkan untuk mengembalikan nilai nilai lama yang hilang.

Sementara pandangan liberal sangat mendambakan kondisi dimana individu bebas untuk memaksimalkan potensi dan kreativitas dirinya tanpa hambatan apapun sehinga perubahan dalam masyarakat akan selalu terjadi bahkan harus selalu terjadi untuk mengikuti perkembangan kecerdasan manusia meskipun bertentangan dengan nilai nilai lama. Karena setiap individu otonom dan bebas dari objek lain, maka ia tidak terikat pada sistem dan tidak pula punya tanggung jawab pada orang lain. Pandangan liberal juga meyakini bahwa karena semua manusia dilahirkan dengan potensi yang setara, maka pendidikan akan membuat setiap orang memiliki kemampuan dan keterampilan hidup yang setara juga tergantung usaha dan kerja keras yang dilakukannya. Konsekuensi dari pandangan tersebut misalnya tercermin pada perubahan peran guru yang dahulu menjadi subjek pembelajaran dan sumber ilmu berubah menjadi guru sebagai motivator dan fasilitator saja bagi murid untuk mendorong murid agar mandiri dan bekerja keras. Guru memotovasi murid untuk sukses dengan cara kerja keras, disiplin, berani berkompetensi, berani bersaing, punya semangat juang tinggi, pantang menyerah, dan lain lain. Dalam pendidikan formal, kurikulum yang disusun selalu mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman. Jika murid hidup dalam sistem kapitalisme, maka kurikulum dalam pendidikan liberal menyiapkan murid untuk siap dan unggul dalam sistem kapitalisme. Pendidikan liberal berupaya membekali murid dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan yang akan membuatnya memenangkan pertarungan di masa depan. Pendidikan liberal tak perlu mempertanyakan sistem yang ada, melainkan menyiapkan murid agar siap dalam menghadapi sistem tersebut.

Dan yang terakhir, pandangan kritis sangat mendambakan perubahan dalam masyarakat menuju kondisi yang lebih baik karena pandangan kritis melihat dalam masyarakat terdapat banyak ketidakadilan dan ketimpangan. Pendidikan bagi paradigma kritis, harus mampu menyadarkan bahwa ketidaksetaraan yang muncul dalam masyarakat bukan karena manusia dilahirkan tidak setara, bukan pula karena sebagian manusia lebih unggul dan lebih keras usahanya dibanding manusia lain, melainkan karena sistem sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung saat ini memang tidak adil dan menguntungkan sekelompok orang. Bagi pandangan kritis, pendidikan konservatif hanya menciptakan murid murid penakut yang tunduk pada keadaan sehingga melanggengkan dominasi yang ada. Begitujuga bagi pandangan kritis, pendidikan liberal hanya menciptakan orang orang yang tamak yang lupa akan kondisi masyarakatnya dan hanya mementingkan dirinya sendiri.

Bagi pandangan kritis, praktek dari dua paradigma pendidikan tersebut merupakan praktek dehumanisasi atau praktek penjauhan manusia dari nilai nilai kemanusiaannya. Konsekuansi dari pandangan kritis ialah tercermin dari peran guru yang bukan lagi menentukan nilai baik dan buruk bagi murid, bukan lagi menjadi motivator dan fasilitator bagi murid, melainkan menjadi orang yang menyadarkan murid atas kondisi yang tidak adil dalam masyarakat. Misalnya, murid diajak untuk menganalis mengapa terjadi ketimpangan dan kemiskinan ditengah pertumbuhaan kapital yang tinggi. Murid diajak untuk belajar dan merasakan penderitaan yang dialami oleh orang miskin sehingga muncul kepekaan sosial dan keinginan untuk mengubah kondisi masyarakatnya dan menggugat sistem yang membuat orang orang miskin dan melarat. Pada pendidikan formal, kurikulum pandangan kritis selalu menggugat tatanan yang sudah mapan, mempertanyakan status quo, mendialogkan setiap keyakinan dan kebenaran yang ada, selalu mencari alternatif baru dalam menghadapi masalah, dan menganggap bahwa pendidikan adalah sebuah proses transformasi masyarakat menuju kondisi yang lebih baik serta merupakan sarana pemberontakan yang efektif untuk menghancurkan tatanan nilai dalam sistem yang tidak adil dan memiskinkan masyarakat.

Berdasarkan klasifikasi dari Henri Giroux dan Aronowitz diatas, kita melihat bahwa pendidikan adalah ranah yang tidak netral melainkan senantiasa diperebutkan oleh setidaknya 3 ideologi besar yang berusaha menetukan arah pendidikan. Diluar itu memang ada varian ideologi lain yang merupakan kombinasi dari ketiga ideologi utama diatas. Lantas, jika kita berkaca pada klasifikasi Hendri Giroux dan Aronwitz serta melihat penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia saat ini, kemanakah kurikulum pendidikan kita diarahkan?

Referensi

F. Oneil, William. Ideologi-Ideologi Pendidikan. 2008. Pustaka Pelajar: Jakarta

Giroux, H.A. Ideology, Culture and the Process of Schooling. 1981. Temple University and Falmer Press: Philadelphia

ANSOS

Diskusi Teoritis
"ANALISIS SOSIAL"

18-April-2017

Ansos merupakan salah satu cabang pengetahuan yang digumuli dalam diskusi Fokmad.

Apakah sebenarnya ansos itu? Apakah ciri yang membedakannya dengan pengetahuan lainnya seperti seni dan agama? Bagaimana cara kita melakukan ansos? Sarana-sarana keilmuan apa saja yang harus dikuasai agar kita mampu melakukan kegiatan ansos dengan baik?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terjawab malam ini

FPPI MAKASSAR & IM3I KECAM OKNUM KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAKAN PEMUKULAN DI MAJENE

(16/04/2017) Kecaman terhadap aparat kepolisian Sulbar Kab  Majene yang melakukan tindak pemukulan terhadap pemuda Sulbar bernama Aldi kian meluas
Kecaman tersebut kali ini disampaikan oleh pengurus Front Perjuangan Pemuda Indonesia ( FPPI) Achmad Fakar dan ketua Ikatan Mahasiswa Mandar Majene Indonesia (IM3I) Abd Rahman Wahab
Mereka menilai tindakan aparat hukum polres Majene jelas pelanggaran hukum, karena telah melanggar kode etik kepolisian RI UU No 2 tahun 2002 tentang fungsi kepolisian NKRI
Menurutnya, tindakan aparat adalah perbuatan keji dan tidak manusiawi
Fakar dan Rahman berharap, kasus tersebut harus diusut tuntas sampai ke akar-akar nya

MATINYA PERGERAKAN MAHASISWA

Kita tidak bisa mengingkari lahirnya sebuah bangsa berawal dari sebuah gejolak dan pergolakan. Bangsa Indonesia terlahir dari sebuah gejolak dan pergolakan yang bermula dari proses panjang penjajahan koloni Belanda-Jepang. Kekejaman para penjajah yang mengebiri rakyat Indonesia di bumi pertiwi, dan hak berkehidupan direnggut dengan secara tidak  manusiawi.
Berbicara mengenai sejarah panjang Indonesia, mulai dari penjajahan Belanda  dan diakhiri dengan penjajahan Jepang. Seperti halnya membuka luka lama yang tidak kian sembuh. Kendatipun dari gejolak dan pergolakan itulah, pergerakan-pergerakan kaum terpelajar pada waktu itu lahir menuntut manisnya kemerdekaan.
Jika mengacu pada literatur sejarah Indonesia, ada empat fase dari pergerakan mahasiswa Indonesia. Mulai dari fase pergerakan nasional (1900-1945), yang ditandai dengan lahirnya perhimpunan Indonesia  oleh mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1925. Dari sinilah, ide dan gagasan besar tentang gerakan kaum muda yang terorganisir secara plural lahir. Hal ini ditandai dengan adanya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menjadi episode lanjutan dari gerakan kaum muda tadi.
Fase kedua dari keempat fase pergerakan mahasiswa, dimulai setelah proklamasi kemerdekaan dideklarasikan. Yaitu dari 1945-1965 yang kemudian lebih dikenal sebagai fase orde lama. Fase ketiga pergerakan mahasiswa semenjak orde baru berkuasa (1965-1998), sedangkan fase terakhir dimulai semenjak era reformasi (1998-sekarang).
Dari awal proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh sang founding father yaitu Bung Karno, pada 17 Agustus 1945 lalu, gejolak dan pergolakan semakin menjadi-jadi. Banyaknya kepentingan-kepentingan luar negeri untuk kembali mengambil alih bangsa Indonesia, pun termasuk koloni Belanda yang tidak ingin melepas Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Tidak terkecuali ideologi komunis dengan PKI-nya semakin menjadi bumerang dari kemerdekaan itu sendiri. Perang ideologi berbangsa melahirkan tiga kekuatan besar partai politik, yaitu, PNI sebagai partai yang berpatron pada nasionalis-sekuler, Masyumi dengan patron nasionalis-islam, dan PKI dengan ideologi komunisnya.
Perang ideologi antar partai dan golongan dalam menentukan ideologi dan asas bangsa Indonesia menjadi spektrum lanjutan, terlebih ketika terbentuknya piagam Jakarta. Bahkan pergerakan mahasiswa yang dijadikan alat dan afiliasi partai politik tertentu menjadi benalu dari proses demokrasi yang tengah diperjuangkan. Keberadaan pergerakan kemahasiswaan semakin menguat dengan menyatunya seluruh pergerakan kemahasiswaan dalam tubuh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Setelah pecahnya KAMI, para aktifis pergerakan kemahasiswaan mendapat jatah jabatan dan kedudukan di lingkaran pemerintah. Akibatnya demikian, munculnya pergerakan-pergerakan mahasiswa pengkhianat karena yang semula bersuara lantang, tetapi ketika diberi jatah oleh penguasa suara pun melempeng.
Meskipun begitu kekuatan besar pergerakan kemahasiswaan terbukti kuat setelah berhasil menggulingkan kekuasaan orde baru. Mereka menganggap orde baru telah memberangus idealisme mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control. Reformasi berkebangsaan menjadi wajib hukumnya, karena pemerintah dinilai belum berhasil membawa rakyat pada tingkat kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Reformasi Indonesia menjadi titik nadir peran serta pergerakan kemahasiswaan, dimana mahasiswa menjadi aktor utama dari perubahan bangsa ini. Setelah itu, pergerakan mahasiswa kembali vakum dan terjajah dengan pragmatisme kemahasiswaan mereka. Saat ini, setelah reformasi pergerakan mahasiswa layaknya sebuah semak-semak belukar yang tidak terurus.
Padahal peran serta pergerakan mahasiswa tidak hanya sekedar menjadi agent , tetapi juga menjadi director of change dan director of social control. Glamor dan hedon seakan telah menjadi budaya dan tren baru di kalangan mahasiswa, dunia pergerakan kemahasiswaan sepi seperti tidak berpenghuni. Jikapun berpenghuni para aktivis pergerakan kemahasiswaan terlalu nurut dan patuh terhadap kebijakan kampus ataupun pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Dunia pergerakan kemahasiswaan sudah tidak plural, bahkan mahasiswa seperti halnya boneka percobaan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Lebih parahnya lagi, dunia pergerakan kemahasiswaan belakangan ini ditunggangi kepentingan-kepentingan yang tidak pro-rakyat. Terlebih pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden, pergerakan kemahasiswaan terlalu pragmatis dan materialistis. Idealisme pergerakan kemahasiswaan terberangus kepentingan elit, independensi pergerakan kemahasiswaan tergerus oleh politik berbasis patronase.
Pergerakan kemahasiswaan telah mati, dan kemerdekaan hanyalah menjadi asap di atas ngebulnya bara api. Pergerakan kemahasiswaan harus segera bangkit, sebab Indonesia sedang krisis. Krisis komitmen berkebangsaan yang memperjuangkan bangsa berlandaskan integritas moral, kecakapan intelektual dan kecakapan manajerial. Lantas sampai kapan pergerakan kemahasiswaan mengalami kematian?

DOSEN REVOLUSIONER

DOSEN REVOLUSIONER

“Dosen bukanlah Dewa yang selalu benar, dan mahasiswa bukan kerbau.”

Ucapan sang demontran tersebut barangkali bisa menjadi representasi yang kuat dalam membaca kondisi sikap ‘manutan’ mahasiswa sekarang. Ada sebuah kenaifan dalam mahasiswa yang sinis jika membicarakan tentang birokrasi kampus, Pemilwa, pemilihan rektor, dan lain-lain. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dalam membaca realitas di sekitar mereka dan memilih lebih baik apatis daripada mengurusi semua itu. Kita digempur secara struktural dan kultural, tinggal siapa yang lebih kuat dia yang menang. Malahan ada oknum-oknum tertentu yang sengaja memanfaatkan keapatisan mahasiswa untuk kepentingan mereka sendiri. Parahnya lagi mereka yang bisa ‘diajak ngobrol’ pun apatis. Lalu bagaimana?

Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab sakaratul maut-nya kekritisan mahasiswa sekarang. Pertama mahasiswa kurang kritis pada diri sendiri. Kedua, mahasiswa kurang kritis pada temannya sehingga saat ingin mengkritisi realitas sosial itu buntu. Dilihat dari lalu lalang informasi sendiri, pamphlet kurang apa? Acara seminar kurang berapa banyak? Pers kurang apa? Setiap hari saja portal berita online kampus update. Dalam sebulan beribu bulletin pers di tingkat universitas dan fakultas terbit. Pers sudah melakukan counter-hegemoni, tetapi kesadaran tetap saja tak terbentuk, belum ada kesadaran massa disana. Mahasiswa hanya diam saja, merasa baik-baik saja, masih mending jika mau membaca berita-berita kampus atau hanya sekedar bilang, “Oh, iyo-iyo” thok.

Tak hanya pers, di tataran fakultas sendiri ada beberapa fakultas yang melakukan diskusi rutin yang sifatnya fakultatif tapi yang bertahan lagi-lagi hanya segelintir saja. Lalu masalah apa yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa sehingga keapatisan itu bisa sedemikian parahnya?

Di sisi lain ada kenyamanan dalam mahasiswa itu sendiri. Banyak sekali faktor kenyamanan itu. Misalnya, mahasiswa terhegemoni kenyamanan kampus. Ada pola pikir yang mempengaruhi mahasiswa yang itu terulang setiap hari: masuk kelas, duduk, diam mendengarkan, pulang. Ditambah mahasiswa terkungkung dalam media sosial (setelah BBM, mampu menggeser fungsi FB sendiri, juga pastinya menggeser buku-buku). Mahasiswa seolah memiliki dua dunia yang membelenggu mereka, antara realitas nyata dan menjadi aktivis maya. Juga ada pergeseran budaya yang membunuh kesadaran mahasiswa, kebudayaan yang menyamankan itu seperti maraknya café, mall, warkop, dan lain sebagainya.

Angin segarnya, ada semacam kesadaran ‘mahasiswa harus sadar, mahasiswa harus kritis, mahasiswa harus baca buku’. Kesadaran seperti itu muncul dari mereka para intelektual organik, baik kalangan aktisvis terlebih lagi dosen. Jika ranahnya kelas, sekarang yang dikritik tak cuma mahasiswa, tapi juga dosen!

Revolusi Dosen

Saat bicara mahasiswa kita juga bicara dan berhadapan dengan sistem di atasnya yaitu dosen. Posisi jadi dosen itu nyaman. Banyak dosen sekarang yang membiarkan mahasiswanya terlontang lantung. Dan parahnya sistem menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Dosen pun juga merasa tenang-tenang saja dengan kultur mahasiswa yang apatis seperti itu. Ada juga sebagian dosen yang melakukan penelitian yang hasilnya tidak jelas dan ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan sendiri, semisal prasyarat gaji dan kenaikan pangkat. Dosen yang mengikuti logika pasar, innalillahi…

Yang ingin saya katakan melalui tulisan ini ialah semacam kritik terhadap keapatisan mahasiswa melalui prolog mahasiswa di atas dan kritik terhadap “dosen”. Kenapa dosen? Karena setiap hari yang didengar mahasiswa adalah dosen (baik itu mahasiswa ktitis, apatis, lebih-lebih mahaiswa kupu-kupu—yang tak tahu dunia luar, kecuali kamar kos dan kelasnya saja). Secara psikologi, sadar atau tidak dosen bisa memberikan ruang penyadaran yang masif terhadap mahasiswa. Jika pemantiknya dari kalangan sebaya tidak ada legitimasi, kalau dosen pasti ada.

Manusia asli adalah manusia yang mau berbagi

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html