PK5 Bukan Untuk Digusur

Menanggapi isu terkait penggusuran PK5 akibat pembangunan jembatan layang & Rektor UNM yang ingin mempercantik kampusnya membuat lagi-lagi kaum miskin kota dipinggirkan dan dialienasikan dengan alat produksinya. Mereka akan digusur dan diusir karena menganggu pemandangan. Padahal jika diatur dengan seksama maka akan tampak keteraturan. Mereka pun sudah mengatur sedemikian rupa, agar dapat tercipta keserasian dengan para pedestrian. Namun demi frasa serta persepsi yang estetik, serta hak pejalan kaki, hingga diskursus kemacetan, mereka dipinggirkan oleh pemerintah kota. Saya yakin kemacetan bukan soal PK5, jika telah tertata rapi. Saya yakin para pedestrian dapat berjalan dengan nyaman jika tertata. Semua butuh duduk bersama, bukan penggusuran kepada kaum miskin kota.

Di depan kampus negeri yang mendaku diri, mengkultuskan diri sebagai institusi kerakyatan. Tak lebih dari kampus penghamba CSR, gerbang penindas kaum agraris dan masyarakat adat. Mereka juga tak mendapatkan solusi dari para intelektual, yang sering berbicara ketimpangan dan toleransi. Intelektual tradisional penghamba rezim.

Lantas, pk5 depan UNM dan tempat pk 5 lainnya harus tetap ada dan menjadi tempat bersosialisasi, ramah pedestrian dan menjadi tempat mengais rezeki. Kami tidak butuh janji, namun berdialog dan merumuskan bersama. Bukan mengusir, seolah-olah kaum miskin kota itu hina

Budaya Senioritas

Dunia kemahasiswaan adalah penuh dengan pertentangan. Pertentangan berlangsung atas dasar adanya unsur dominasi yang berakibat kepada cara didikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Unsur dominasi yang dimaksud adalah sistem senioritas. Kata senior secara konteks tidak lagi menjadi asing terdengar diruang lingkup kemahasiswaan, kata itu seolah memiliki aturan serta hukum tersendiri. Dalam memasuki jenjang pendidikan diperguruan tinggi baik itu negeri maupun swasta sudah menjadi tradisi menjengkelkan diruang lingkup akademik kampus. Dimana peralihan status dari siswa menuju mahasiswa melahirkan suatu pemilahan antara mahasiswa dengan mahasiswa dalam eksistensi kemahasiswaan. Pemilahan dimaksud tak lain dengan adanya status senior dengan status junior yang dibungkus oleh status yang sebenarnya sama.

Pemilahan diatas dapat dilihat atau dinilai melalui momentum mahasiswa baru. Secara konteks mahasiswa baru yang baru menginjakkan kaki diperguruan tinggi itu senantiasa akan berhadapan dengan mahasiswa lama yang biasa disapa sebagai senior. Bentuk penghadapannya kerap terjadi saat-saat masa orientasi pengenalan akademik (opak) atau biasa disebut sebagai masa pengenalan mahasiswa baru. Dimana dimasa-masa pengenalan itu berlangsung kurang lebih tiga hari lamanya. hari pertama oleh universitas, hari kedua oleh fakultas, dan hari ketiga oleh jurusan. Nah dihari ketiga itulah dimana mahasiswa yang disapa senior itu melakukan tindakan yang kurang mendidik dengan mengatasnamakan himpunan mahasiswa jurusan (hmj) seperti baris berbaris , membersihkan kotoran sampah disekitar area fakultas atau jurusan. Dengan sistem komando (perintah). Pada momentum itu merupakan awal bagi senior untuk berlaku memerintah junior. Bahwa budaya senioritas adalah budaya ketertundukan. Budaya seperti ini tidak jauh bedanya dengan sistem perbudakan. Seperti sistem tuan tanah kepada hamba zaman kerajaan feodalis dulu.

Hal diatas menjadi tolak ukur bahwa sistem ketertundukan yang dilakukan oleh senior kepada junior sudah menjadi tradisi diruang lingkup kemahasiswaan. Seperti melakukan doktrin-doktrin pada saat moment mahasiswa baru; bahwa 'pasal 1, senior tidak pernah salah, pasal 2, jika senior salah maka kembali ke pasal 1'. Bahkan ada doktrin-doktrin yang lebih membungkam; bahwa 'suara senior adalah suara tuhan'. Maka hancurlah dunia kemahasiswaan jika dididik oleh orang-orang yang tidak berpengalaman!

Hal yang membingungkan adalah adanya unsur dominasi diruang lingkup kemahasiswaan. Artinya secara konteks senior itu mendominasi esensi junior bahkan mendominasi ruang-ruang privat (subjektif)nya. Dengan dalih 'menghormati yang lebih berusia'. Ini sebenarnya yang berakibat kepada pertentangan atau akan melahirkan konflik horizontal sesama mahasiswa. Bahwa budaya senioritas sekarang tidak lagi memandang esksistensi kemahasiswaan tapi lebih kepada politik identitas. Hal kemudian tercipta disaat mereka memaksa junior untuk memasuki organisasi yang digelutinya. Bukankah itu cara didikan yang mendoktrin? Lantas dalam hal apa junior mesti menghormati senior? Semester? Usia? Atau segala yang menyangkut eksistensi senior? Jika pendekatan senior kepada junior lebih kepada pendekatan ideologis maka esensi senioritasnya memiliki fungsi real. Artinya senior yang baik itu jika ia melakukan proses pengideologisasian dan melakukan proses penyadaran terhadap junior dalam kontesk sama-sama beresensialkan mahasiswa. Ketika bentuk pengawalan senior kepada junior lebih kepada politik identitas (doktrinasi) atau intimidasi maka pemanfaatan senior terhadap junior pastilah terjadi dan nyata adanya. Dan hal itu sekarang terjadi. Bahwa jika kita betul-betul secara totalitas beresensikan mahasiswa maka kelas senior dengan kelas junior haruslah segera dihapuskan atau dihilangkan diruang lingkup kemahasiswaan.

Ketika pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda dalam peristiwa rengasdengklok pra-kemerdekaan 45, tak terelakkan bahwa peristiwa itu dipelopori oleh kelompok pemuda. Maka tidak jauh bedanya dengan pertentangan antara senior dengan junior dalam peristiwa 'pemaksaan hak suara' serta 'pemanfaatan hak pilih'. Padahal senior dengan junior itu sama-sama berstatuskan mahasiswa. Kenapa mesti adanya dua kelas itu? Olehnya jika tidak segera dihilangkan budaya senioritas itu maka konflik horizontal pastilah terjadi. Bahwa dominasi tetap berlangsung kepada cara berpikir pragmatis yang berujung kepada politik praktis. Juga terhadap cara didikan yang tidak menyisahkan pengetahuan apapun. Justru yang ada hanyalah pengetahuan yang terdoktrin. Akhirnya seniorpun bertindak sebagai hakim yang membenarkan.

Dalam arti apa senior itu dihormati? Budaya ketertundukan dilakukan hanya akan memperpanjang garis perbudakan. Maka dalam perspektif akademik kita semua berstatuskan mahasiswa. Yang membuat pembagian (pemilahan) kelas mahasiswa itu tidak lain hanyalah mereka-mereka yang menganggap dirinya sebagai senior. Mulai dari ciri-ciri mahasiswa, definisi mahasiswa, fungsi mahasiswa, sampai kepada tugas mahasiswa, itu sebagian besar hanyalah doktrin-doktrin yang diberikan oleh senior untuk membodohi pikiran serta meredupkan kesadaran junior. Dan terbukti bahwa kebanyakan dari pemberian pemahaman yang sifatnya doktrin itu hanya sebatas konsep, tidak mendorong secara praktek perlawanan. Seandainya tidak ada senior dengan junior tapi lebih kepada satu pemikiran yaitu sama-sama berstatuskan mahasiswa maka penyatuan dalam melakukan gerakan perlawanan akan terlaksana. Maka mahasiswa secara definitif akhirnya adalah mahasiswa, yang sama-sama beresensialkan kemahasiswaan.

Budaya senioritas mestinya harus beralih kepada budaya mahasiswa. Tapi hal demikian mustahil dapat dilakukan oleh mereka-mereka yang kepingin disapa dan disebut sebagai senior. Dengan dalih harga diri serta wibawa senior itu harus ditinggikan sebagai bentuk penghromatan junior. Seperti apa sih didikan senior itu? Apakah mewajibkan junior dengan memanggilnya senior atau kanda? Pengawalannya lebih mengarah kemana? Jika mereka-mereka ingin dipanggil senior maka hilangkan budaya ketertundukan. Sebab saya akan rela serta ikhlas memanggil atau menyebut atau bahkan mengakui mereka sebagai senior jika mereka melakukan proses pengideologisasian serta melakukan proses penyadaran kemudian dengan secara bersama-sama dalam menyatukan gerakan dan sikap (tuntutan). Dengan begitu mereka akan mendapatkan gelar 'senior baik' jika itu mungkin. Senior bukanlah dewa yang selalu benar dan junior bukan kerbau yang harus menunduk.

ADA APA DENGAN KITA?

                           Oleh: Anas Fardilah
Mei 98 merupakan pelajaran. Runtuhnya rezim orde baru bukan berarti sistem kekuasaannya juga ikut runtuh. Kejatuhannya hanya sekadar formalitas, sementara kekuasaannya akan tetap berjalan menjalar sampai saat ini. Sudah terbukti bahwa yang mengendalikan sistem perekonomian nasional sekarang adalah antek-antek rezim orde baru yaitu koloni serta keluarga cendana. Reformasi total sebagai jargon aktivis 98 adalah reformasi yang gagal. Secara totalitas bukanlah reformasi. Olehnya pasca keruntuhan rezim otoritarian itu bukanlah capaian dalam pergerakan melainkan pelajaran untuk pergerakan. Pembungkaman, penindasan, itulah yang membuat 'mahasiswa' secara sadar melakukan suatu gerakan perlawanan. Namun apakah yang di tindas dan yang di bungkam sekarang sadar akan hal itu?

Terjadinya peleburan budaya di kalangan mahasiswa mengakibatkan mahasiswa itu tak lagi menyikapi kebijakan-kebijakan kampus yang di anggap melenceng. Akhrinya krisis pengetahuan dan pergerakan pastilah terjadi. Justru yang muncul adalah kontradiksi vertikal dan horizontal. Terutama dalam menyikapi tindakan represif, intimidasi, serta pembungkaman birokrasi oleh aparatur kampus. Kriminalisasipun di anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja dan biasa-biasa saja. Dalam menyikapi sistem pendidikan khususnya hanyalah tindakan pra-sadar yang mengarah kepada gerakan momentum yang akhirnya melahirkan tuntutan yang tidak tepat sasaran. Disebabkan tidak adanya penyatuan sesama mahasiswa. Baik itu penyatuan gerakan maupun penyatuan sikap. Akhirnya hubungan sesama mahasiswa melahirkan sentimen. Sudah termasuk budaya mahasiswakah sentimen itu? Bukankah penyatuan itu adalah kekuatan? 

Birokrasi-birokrasi kampus dengan gampang mengeluarkan segala macam regulasi. Regulasi yang secara real untuk menghancur-leburkan kesadaran mahasiswa. Dengan membuat segala doktrinasi serta intervensi kepada mahasiswa; salah satunya adalah membatasi masa perkuliahan terhadap mahasiswa. Akibatnya mahasiswa yang berpikiran akademisi akan berlomba-lomba untuk menuju kepada tahap penyelesaian. Apakah komersialisai pendidikan adalah cara mahasiswa untuk memperoleh nilai (IPK) yang tinggi? Bukankah itu bentuk tindakan 'melacurkan pengetahuan'?

Sekarang mayoritas ada yang sibuk mengemis meminta-minta tanda tangan dari sang dosen,  Ada juga sebagian kecil berlaku sentimen, ada lagi yang mempertahankan ego-sentrisnya, juga ada yang hendak melakukan politik identitas. Eksistensi mahasiswa menjadi terpilah-pilahkan. Seakan kata menyatu itu sifatnya ilegal. Birokrasi melahirkan konflik, mahasiswa juga ikut melahirkan konflik. Birokrasi berkepentingan, mahasiswapun juga berkepentingan. Entah itu kepentingan lembaga (organisasi) maupun kepentingan ideologi. Dosen bersentimen dengan mahasiswa, lagi dan lagi mahasiswa itu juga bersentimen dengan sesama mahasiswa. Kata mahasiswa akhirnya bukanlah satu kesatuan melainkan bermacam-macam satuan. Kenapa kita sesama mahasiswa terbecah-belah? Kenapa masing-masing dari kita saling bersentimen? Bukankah musuhnya kita adalah kapitalisme? Bukankah lawan kita adalah pembungkaman? Apa kita membiarkan tindakan represif aparatur kampus itu?
                                     "Menolak tunduk-menuntut tanggung jawab".!

MAHASISWA DIBALIK KATA-KATANYA

Akhirnya sampailah kita kepada titik dimana esensi ke-mahasiswa-an itu harus di pertanyakan. Sebab kebanyakan mahasiswa masing-masing memperebutkan kekuasaan. Disediakannya ruang-ruang 'penyelamat' oleh pihak kampus menjadikan mahasiswa bernaluri 'maling', berhasrat untuk berkuasa, serta berkehendak untuk menguasai. Seperti halnya dewan mahasiswa (DEMA), senat mahasiswa (SEMA), serta himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). Mahasiswa yang berwatak 'maling' itu tidak menjadikannya sebagai ruang-ruang strategis untuk memperbaiki kebobrokkan sistem kampus, justru yang ada mereka menjadi penindas-penindas baru. Saat momentum pemilihan dari ketiga 'ruang penyelamat' diatas, para kandidat (calon) masing-masing membangun kubu.
Mendoktrin mahasiswa baru (junior), serta memanipulasi hak kepemilikan suara dengan mengatasnamakan solidaritas dan perubahan.

Gerombolan mahasiswa diatas sama halnya seperti seribu anjing memperebutkan satu tulang. Saat terpilih, para penindas baru itu tidak meluruskan kebengkokkan sistem kampus; malah yang terjadi adalah menguasai serta mendominasi ruang-ruang itu. Fungsional dari penindas baru diatas bukan sebagai dewan mahasiswa, senat mahasiswa, himpunan mahasiswa jurusan, tapi fungsinya hanya untuk melakukan 'penggelapan uang' ke kantong-kantong pribadi "Bagi-bagi duit"!.
Serta yang paling konyol adalah mereka mendominasi ruang-ruang itu bersama angota-angotanya. Terbukti yang lebih dominan diruang-ruang itu adalah kalangan 'sesama organisasi'. Sehingga yang mengendalikan ruang-ruang mahasiswa adalah 'organisasi'. 

Uang bisa membuat mereka lupa diri. Tak perduli runtuhnya moral padahal ia katanya ber-esensikan moral. Inilah yang disebut sebagai moral kapitalis. Dosen menindas mahasiswa, mahasiswa menindas mahasiswa. Kenapa penindas baru diatas tidak pernah berlaku transparan? Dari mana sumber duitnya? Akan dialokasikan kemana? Fungsinya apa? Atau jutru merekalah yang melakukan politik uang (money politic)?. Renungkan! Pikirkan! Lakukan! Bertindaklah selayak-layaknya mahasiswa!
 
Bagi mahasiswa yang berpikir akdemis nilai (IPK) adalah penunjang utama. Sarjana (title) adalah capaian akhir. Ijazah adalah kitab suci pekerjaan. Tahap penyelesaian adalah tahap penentuan. Melewati segala penentuan dengan persyaratan. Mulai dari mengajukan judul, berkonsultasi dengan 'dosen pembimbing', menyusun draf, membuat proposal, sampai kepada skiprsi. Kesemuanya itu dilakukan atas nama ujian. Seolah tuhan menguji hambanya. Seakan dosen menguji mahasiswanya. Teriakkan lantang 'hidup mahasiswa' sudah terkubur dibawah selimut kesadaran palsu. Seperti inikah mahasiswa dibalik kata-katanya?

Sebagian lainnya mengklaim diri 'aktivis' saat berkecimpung diruang lingkup akdemik kampus. Berpikir kritis bahwa perubahan harus dilakukan. Membenarkan yang salah, menyalahkan yang salah. Pasca berakhir sebagai akademisi apakah masih berpikiran yang sama? Masih berpikir kritis kah? Anti penindasan kah? Kebanyakan dari mereka yang mengklaim dirinya 'aktivis' langgeng berpolitik praktis, menjalankan sistem sebagai penindas baru. Yang dulunya mereka berkata anti sistem, menolak sistem, akhirnya pasca itu mereka menjadi penjilat atas ludahnya sendiri!

Oleh Anas Fardilah
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html