Dunia kemahasiswaan adalah penuh dengan pertentangan. Pertentangan berlangsung atas dasar adanya unsur dominasi yang berakibat kepada cara didikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Unsur dominasi yang dimaksud adalah sistem senioritas. Kata senior secara konteks tidak lagi menjadi asing terdengar diruang lingkup kemahasiswaan, kata itu seolah memiliki aturan serta hukum tersendiri. Dalam memasuki jenjang pendidikan diperguruan tinggi baik itu negeri maupun swasta sudah menjadi tradisi menjengkelkan diruang lingkup akademik kampus. Dimana peralihan status dari siswa menuju mahasiswa melahirkan suatu pemilahan antara mahasiswa dengan mahasiswa dalam eksistensi kemahasiswaan. Pemilahan dimaksud tak lain dengan adanya status senior dengan status junior yang dibungkus oleh status yang sebenarnya sama.
Pemilahan diatas dapat dilihat atau dinilai melalui momentum mahasiswa baru. Secara konteks mahasiswa baru yang baru menginjakkan kaki diperguruan tinggi itu senantiasa akan berhadapan dengan mahasiswa lama yang biasa disapa sebagai senior. Bentuk penghadapannya kerap terjadi saat-saat masa orientasi pengenalan akademik (opak) atau biasa disebut sebagai masa pengenalan mahasiswa baru. Dimana dimasa-masa pengenalan itu berlangsung kurang lebih tiga hari lamanya. hari pertama oleh universitas, hari kedua oleh fakultas, dan hari ketiga oleh jurusan. Nah dihari ketiga itulah dimana mahasiswa yang disapa senior itu melakukan tindakan yang kurang mendidik dengan mengatasnamakan himpunan mahasiswa jurusan (hmj) seperti baris berbaris , membersihkan kotoran sampah disekitar area fakultas atau jurusan. Dengan sistem komando (perintah). Pada momentum itu merupakan awal bagi senior untuk berlaku memerintah junior. Bahwa budaya senioritas adalah budaya ketertundukan. Budaya seperti ini tidak jauh bedanya dengan sistem perbudakan. Seperti sistem tuan tanah kepada hamba zaman kerajaan feodalis dulu.
Hal diatas menjadi tolak ukur bahwa sistem ketertundukan yang dilakukan oleh senior kepada junior sudah menjadi tradisi diruang lingkup kemahasiswaan. Seperti melakukan doktrin-doktrin pada saat moment mahasiswa baru; bahwa 'pasal 1, senior tidak pernah salah, pasal 2, jika senior salah maka kembali ke pasal 1'. Bahkan ada doktrin-doktrin yang lebih membungkam; bahwa 'suara senior adalah suara tuhan'. Maka hancurlah dunia kemahasiswaan jika dididik oleh orang-orang yang tidak berpengalaman!
Hal yang membingungkan adalah adanya unsur dominasi diruang lingkup kemahasiswaan. Artinya secara konteks senior itu mendominasi esensi junior bahkan mendominasi ruang-ruang privat (subjektif)nya. Dengan dalih 'menghormati yang lebih berusia'. Ini sebenarnya yang berakibat kepada pertentangan atau akan melahirkan konflik horizontal sesama mahasiswa. Bahwa budaya senioritas sekarang tidak lagi memandang esksistensi kemahasiswaan tapi lebih kepada politik identitas. Hal kemudian tercipta disaat mereka memaksa junior untuk memasuki organisasi yang digelutinya. Bukankah itu cara didikan yang mendoktrin? Lantas dalam hal apa junior mesti menghormati senior? Semester? Usia? Atau segala yang menyangkut eksistensi senior? Jika pendekatan senior kepada junior lebih kepada pendekatan ideologis maka esensi senioritasnya memiliki fungsi real. Artinya senior yang baik itu jika ia melakukan proses pengideologisasian dan melakukan proses penyadaran terhadap junior dalam kontesk sama-sama beresensialkan mahasiswa. Ketika bentuk pengawalan senior kepada junior lebih kepada politik identitas (doktrinasi) atau intimidasi maka pemanfaatan senior terhadap junior pastilah terjadi dan nyata adanya. Dan hal itu sekarang terjadi. Bahwa jika kita betul-betul secara totalitas beresensikan mahasiswa maka kelas senior dengan kelas junior haruslah segera dihapuskan atau dihilangkan diruang lingkup kemahasiswaan.
Ketika pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda dalam peristiwa rengasdengklok pra-kemerdekaan 45, tak terelakkan bahwa peristiwa itu dipelopori oleh kelompok pemuda. Maka tidak jauh bedanya dengan pertentangan antara senior dengan junior dalam peristiwa 'pemaksaan hak suara' serta 'pemanfaatan hak pilih'. Padahal senior dengan junior itu sama-sama berstatuskan mahasiswa. Kenapa mesti adanya dua kelas itu? Olehnya jika tidak segera dihilangkan budaya senioritas itu maka konflik horizontal pastilah terjadi. Bahwa dominasi tetap berlangsung kepada cara berpikir pragmatis yang berujung kepada politik praktis. Juga terhadap cara didikan yang tidak menyisahkan pengetahuan apapun. Justru yang ada hanyalah pengetahuan yang terdoktrin. Akhirnya seniorpun bertindak sebagai hakim yang membenarkan.
Dalam arti apa senior itu dihormati? Budaya ketertundukan dilakukan hanya akan memperpanjang garis perbudakan. Maka dalam perspektif akademik kita semua berstatuskan mahasiswa. Yang membuat pembagian (pemilahan) kelas mahasiswa itu tidak lain hanyalah mereka-mereka yang menganggap dirinya sebagai senior. Mulai dari ciri-ciri mahasiswa, definisi mahasiswa, fungsi mahasiswa, sampai kepada tugas mahasiswa, itu sebagian besar hanyalah doktrin-doktrin yang diberikan oleh senior untuk membodohi pikiran serta meredupkan kesadaran junior. Dan terbukti bahwa kebanyakan dari pemberian pemahaman yang sifatnya doktrin itu hanya sebatas konsep, tidak mendorong secara praktek perlawanan. Seandainya tidak ada senior dengan junior tapi lebih kepada satu pemikiran yaitu sama-sama berstatuskan mahasiswa maka penyatuan dalam melakukan gerakan perlawanan akan terlaksana. Maka mahasiswa secara definitif akhirnya adalah mahasiswa, yang sama-sama beresensialkan kemahasiswaan.
Budaya senioritas mestinya harus beralih kepada budaya mahasiswa. Tapi hal demikian mustahil dapat dilakukan oleh mereka-mereka yang kepingin disapa dan disebut sebagai senior. Dengan dalih harga diri serta wibawa senior itu harus ditinggikan sebagai bentuk penghromatan junior. Seperti apa sih didikan senior itu? Apakah mewajibkan junior dengan memanggilnya senior atau kanda? Pengawalannya lebih mengarah kemana? Jika mereka-mereka ingin dipanggil senior maka hilangkan budaya ketertundukan. Sebab saya akan rela serta ikhlas memanggil atau menyebut atau bahkan mengakui mereka sebagai senior jika mereka melakukan proses pengideologisasian serta melakukan proses penyadaran kemudian dengan secara bersama-sama dalam menyatukan gerakan dan sikap (tuntutan). Dengan begitu mereka akan mendapatkan gelar 'senior baik' jika itu mungkin. Senior bukanlah dewa yang selalu benar dan junior bukan kerbau yang harus menunduk.