AGAMA DAN PROBABILITAS SAINS
KESADARAN DAN IDENTITAS
APAKAH TANGGUNG JAWAB YANG AKAN MENGHANCURKAN PERJUANGAN?
Apakah tanggung jawab yang akan menghancurkan perjuangan?
Oleh: Akram Suhendra
Apabila tanggung jawab yang akan merubah garis perjuangan kenapa harus takut mengemban tanggung jawab? Namun jangan jadikan tanggung jawab sebagai kesewenang-wenangan dalam bertindak yang menanggalkan kesadaran kedewasaan dalam berorganisasi yang akan menghancurkan realnya perjuangan, realnya garis besar haluan organisas"GBHO" Itu sendiri dalam organisasi.
Terkadang ketakutan akan struktur yang mencekam menjadikan jabatan sebagai kekuatan kekuasaan atas kesewenawenangan yang menjadikan bagian terbawah sebagai kambing hitam atas ketidak jelaskan kerja-kerja yang terjadi terhadap tugas di bagian struktur dalam berorganisasi.
Yang perlu di garis bawahi bahwa dalam tugas struktur organisasi sudah jelas melalui tanggung jawab individu yang memegang penuh bagian dalam struktur melalui setiap bagian yang telah di tetapkan dalam organisasi. Terkadang individu seringkali melupakan tugas dan tanggung jawab hingga melenceng dalam tuntutan organisasi yang sedang individu itu emban di dalam struktur, sehingga seringkali terlalu takut ketika bagian yang menjadi tanggung jawabnya tak berjalan sesuai apa yang di tetapkan sehingga cenderung mencari kesalahan terhadap bagian terendah dalam struktur organisasi.
Sikap dalam berorganisasi bukan persoalan kekuasaan dan seberapa cerdas isi otak yang berfikir, namun seberapa baik sikap kesadaran berorganisasi tanpa menjatuhkan individu lain yang akan merusak mental setiap bagian dalam struktur organisasi.
Yang diharapkan adalah yang menjungjung tinggi kedewasaan berorganisasi. Seseorang yang terlibat dalam organisasi tentunya atau idealnya, harus memiliki hal ini. Legowo menerima kenyataan bahwa tugas dan tanggung jawabnya tidak berjalan selaras atau tak sesuai dengan tuntutan organisasi. Dalam organisasi bukan hanya satu kepala namun isinya banyak kepala, banyak kepentingan dan tidak hanya dia yang mempunyai tugas dan tanggung jawab pribadi. Idealnya dia bisa menekan ego pribadi, dan mengutamakan, dan tentunya mendukung pelaksanaan keputusan bersama dalam organisasi.
Menjadikan kritik yang masuk sebagai bagian yang wajar dalam berorganisasi adalah salah satu bentuk kedewasaan bukan malah megintimidasi bagian terendah dalam struktur organisasi yang menimbulkan perpecahan dalam organisasi. Dalam kritikan yang masuk individu harusnya menyadari kesalahan dan memulai merekonstruksi kembali kerja-kerja yang dijalankan bukan lagi mencari kambing hitam yang menjadikan bagian bawah struktur organisasi sebagai pelampiasan kesalahan yang akan memperkeruh situasi.
Yang perlu diingat bahwa, ukuran kedewasaan bukan atas dasar sudah seberapa besar tingkatan kesadaran, seberapa cerdas isi kepala tapi lebih ke seberapa kita mampu memilih tindakan yang positif dalam menyikapi semua yang berbeda yang mulai melenceng dari garis kordinasi organisasi, seberapa kita mampu melihat sisi celah kesalahan yang ada, menyelesaikan secara kolektif sehingga tak terjadi diskomunikasi dalam berorganisasi.
"MENDIDIK RAKYAT DENGAN PERGERAKAN, MENDIDIK BIROKRASI DENGAN PERLAWANAN. "
Habis wisuda, mau apa?
Sebelumya saya ingin bertanya; apa kabar mahasiswa ini hari? Satu pertanyaan awal dari saya ini, tidak usah kalian jawab. Yang perlu dijawab itu adalah pertanyaan yang saya jadikan sebagai judul dari tulisan diatas.
Jika ternyata salah satu dari banyaknya mahasiswa yang akan diwisudakan bulan ini dengan bulan dua belas mendatang, maka teranglah bahwa pasca wisuda (sudah menjadi sarjana) pertanyaan itu tak lagi dianggap penting oleh para wisudawan dan wisudawati. Sebab yang terpenting bagi mereka adalah sudah wisuda dan telah sarjana.
Di salah satu kampus negeri yang berada di makassar sulawesi selatan (tepatnya kampus) UIN Alauddin Makassar (UINAM) dengan rektor barunya (hamdan juanis), akan menggelar 'acara wisuda' untuk para mahasiswanya yang sudah lebih dulu telah mendapatkan gelar sarjana (yudisium). Acara itu akan diadakan di bulan ini dan di bulan desember mendatang.
Perlu diperhatikan bahwa yang menjadi topik inti pembahasan kali ini bukan soal rektor barunya, bukan nama rektornya, dan bukan pula acara wisuda yang akan digelarnya. Tapi yang menjadi topik inti pembahasan adalah tentang keberadaan dan keadaan rill mahasiswa itu sendiri pasca diwisudakannya. Oleh karna itu, saya harap para pembaca tidak terkecoh dengan beberapa objek yang saya siratkan diatas. Pembaca lebih kritis dari penulis bukan?
Berdasarkan kenyataan (realitas) yang terjadi dalam diri mahasiswa yang sudah menjadi sarjana sebelumnya mengalami disorientasi pasca statusnya bukan lagi sebagai seorang mahasiswa. Disorientasi yang saya maksud adalah terletak dari orientasi dari pendidikan itu sendiri. Tentu para pembaca tak lagi asing dengan kalimat 'sarjana pengangguran' atau 'sarjana pulang kampung' bukan?
Senada dengan itu, arah pendidikan yang tidak jelas arahnya mau kemana, akan membuat jalan para sarjana semakin tak jelas arah pula. Akhirnya para sarjana-sarjana itu akan menemukan jalan buntu.
Pilihan sementara bagi mereka adalah cari kerja atau pulang kembali ke kampung halamannya. Mereka yang melamar kerja kesana kemari tanpa henti, tepatkah jika dikatakan bahwa orientasi dari pendidikan itu adalah kerja? Jika memang tepat, pekerjaan apa yang ditawari (dijamin) oleh pendidikan (pergurun tinggi) untuk mahasiswa-mahasiswa yang sudah sarjana?
Karena tidak adanya jaminan pekerjaan dari pemerintah untuk mahasiswa yang sarjana itu akhirnya dengan terpaksa mereka lebih memilih pulang ke kampung halaman saja. Sewalaupun ada juga sebagian yang masih tetap semangat membawa lamaran kerjanya ke tempat-tempat yang membuka lowongan kerja. Akhirnya semua bergantung kepada ekonomi. Iya ekonomi.
Selanjutnya, kartu pra-kerja yang diprogramkan oleh jokowi itu bukanlah kartu yang menjamin terbukanya lapangan kerja dengan seluas-luasnya untuk masyarakat menengah kebawah melainkan ia sekadar kartu untuk melancarkan pemerintah melakukan pembodohan secara massal. Ingat, salah satu titik fokusnya negara (pemerintah) saat ini adalah melakukan investasi secara besar-besaran.
Realisasi dari kartu pra-kerja itu sudah benar-benar terbukti tidak? Nyatanya masih banyak mahasiswa-mahasiswa yang sarjana pengangguran. Inilah salah satu disorientasi yang saya maksud diatas.
Untuk lebih memperjelas pertanyaan dari judul tulisan saya ini, marilah kita membenturkan konsep pendidikan dengan kenyataan yang dirasakan oleh para sarjana pasca wisuda. Satu hal yang paling nyata adanya adalah yaitu bahwa pendidikan itu adalah formalitas masa depan semata.
Realitasnya lebih dari nyata dari segala kebingungan mahasiswa yang sudah menjadi sarjana mau melakukan apa dan mau kemana. Adakah saya keliru?
Yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apakah ada jaminan untuk para sarjana-sarjana itu langsung kerja jika memang orientasi dari pendidikan itu adalah kerja? Secara langsung itu adalah suatu kemustahilan. Tidak salah jika saya harus mempertanyakannya. Mau apa dan mau kemana? Dua pertanyaan yang saya ajukan itu adalah perwakilan dari ribuan banyaknya realitas yang mengalami kerancuan. Siapakah yang membuatnya rancuh?
Sepenggal tanya jawab antara mahasiswa sarjana pendidikan, mahasiswa sarjana ekonomi, dan mahasiswa sarjana hukum. Ketiga-tiganya sudah lama menjadi seorang sarjana;
"Pasca baru-baru wisuda kemarin, kamu langsung kemana?" tanya mahasiswa sarjana pendidikan kepada kedua temannya. "Aku langsung pulang kampung" jawab mahasiswa ekonomi yang pertama.
"Kalau aku sih, ngadain acara syukuran dulu, setelahnya langsung pulang kampung." jawab sarjana hukum yang kedua. "Kalo kamu sendiri, langsung kemana?" giliran sarjana ekonomi bertanya balik kepada sarjana pendidikan. "Aku nggak kemana-mana kok. Aku hanya menunggu kartu pra-kerja yang diprogramkan oleh jokowi terealisasi." jawab sarjana pendidikan dengan nada sendu.
"Ah, ngapain menunggu janji-janji politik. Lebih baik kamu tungguin panggilan reviuwmu dari perusahan kemarin." ujar sarjana hukum menawarkan seketika.
"Benar juga tuh. Iya nih ujung-ujungnya kita mah bicara ekonomi." ungkap sarjana ekonomi melamunkan suasana. "Hmm. Ganti topik deh. Terus, kalian sekarang ngelakuin apa nih?" tiba-tiba sarjana pendidikan mengajukan pertanyaan baru. "Nggak tau nih, nganggur aja mah." jawab sarjana hukum sembari menundukkan kepalanya ke bawah kerikil. "Anjir,,, kita berdua senasib kayaknya sob." ujar sarjana ekonomi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah bangsat,,, kita bertiga benar-benar senasib." ujar sarjana pendidikan dengan murka.
"Terus habis ini, kita mau apa dan mau kemana nih sob? Tanya sarjana hukum segera.
"Nggak tau" jawab sarjana pendidikan dengan sarjana ekonomi serentak sambil sedikit mengangkat kedua bahunya. "Wah sama nih. Lucu yah, kita bertiga pada nggak tau mau apa dan mau kemana. Padahal kita sarjana. Hahaha" ungkap sarjana hukum mengakak.
"Hahaha, sama-sama sarjana pengangguran kita mah. " ketiga-tiganyapun sama-sama mengakak.
Sepenggal percakapan dari ketiga mahasiswa yang sarjana diatas, kiranya dapat dijadikan sebagai gambaran (bukti) dari realitas yang mereka alami. Kita harus membuat penjelasan terkait disorientasi yang acapkali terjadi. Sebab tanpa menjelaskannya, maka sama saja mahasiswa-mahasiswa saat ini sebagai ayam kampus yang terasing dari dalam kandang para induk-induknya.
Selebihnya, point penting yang saya mau sampaikan dalam tulisan ini adalah; Pertama, mahasiswa ditindas lewat regulasi birokrasi dan regulasi para penguasa. Kedua, regulasi tanpa realisasi sama saja basa basi. Ketiga, title sarjana yang dimasukkan dibelakang nama para mahasiswa tidak menjamin ketuntasan dalam menuntaskan segala tuntutan.
Oleh karena itu, yang harus dipertanyakan adalah; kapan tuntas! bukan kapan wisuda. Dengan mendidik mahasiswa dengan pergerakan, maka proses penyadaran itu harus dilakukan. Dengan mendidik birokrasi dengan perlawan, maka perubahan itu harus diciptakan.
Jadilah MAHASISWA, jangan jadi HAMASISWA.
Oleh: Anas Mbojo
Kader Fokmad Angkatan VI

FPPI MAKASSAR Mengecam SK Skorsing UNANDA PALOPO
Sontak aksi demonstrasi tersebut menjadi tontonan sejumlah sivitas akademika Unismuh lainnya.
Mereka menggelar aksi penolakan sanksi skorsing yang dijatuhkan kepada mahasiswa UNANDA PALOPO yang mendapatkan Sanksi Skorsing akibat terlibat aktif dalam perjuangan mahasiswa. Komang Jordi, Febriansyah, & Mardanianto (Mahasiswa Fakultas Ekonomi) mendapat sanksi skorsing melalui Surat Keputusan Rektor Nomor 207/104.02/B/023/I/2019/. Dalam keputusan tersebut menyatakan tuduhan kepada Komang Jordi dkk atas tindakan yang memicu atau menghasut yang menimbulkan keonaran padahal mereka menuntut sarana & prasarana, transparansi uang BOP, turunkan uang final, dan evaluasi kinerja dosen terhadap kampus mereka sendiri. Atas tuduhan tersebut, Rektor melayangkan skorsing selama 2 Semester dan pelarangan untuk berkegiatan non akademik di lingkungan kampus UNANDA PALOPO.
“Kami dari FPPI Makassar berkomitmen dan untuk terlibat dalam mewakili masalah demokrasi dikampus dan kami menuntut cabut SK skorsing terhadap tiga mahasiswa Unanda, tolak represifitas yang dilakukan oleh birokrasi Unanda, wujudkan demokratisasi kampus dan cabut UUPT Nomor 12 tahun 2012,” jelas firdhas sebagai korlap.
Perempuan Bukan Boneka Kapitalisme
Berjuang atau Cari Tenar?
Penampilan merupakan salah satu syarat masyarakat modern untuk mengada. Demikian pula dalam setiap lingkup hidupnya, pengakuan atas predikat subjek menjadi penting seiring dengan perlombaan manusia mencari identitas. Hal ini tidak hanya terjadi pada subjek, namun juga kepada institusi atau organ masyarakat tertentu. Ketika subjek dalam organ masyarakat haus akan pengakuan, dengan demikian gerakan akan menjadi salah satu sarana eksisten. Kebanalan yang digambarkan Hannah Arendt dalam pribadi Adolf Eichmann kini tidak hanya terkait dengan kriminalitas. Kebanalan merasuk ke dalam moralitas dan mengeringkan rongganya, sehingga manusia berlaku bukan karena dirinya sendiri namun tuntutan atas pengakuan, yaitu predikat yang ditempelkan. Manipulasi identitas dan miskonstruksi jati diri.













