Sekiranya tema di atas bukanlah lagi menjadi barang baru bagi organisasi kita dalam melakukan pembacaan situasi hari ini. Jalan baru yang kita maksud adalah sebuah alternatif lain dalam berhadapan dengan Neoliberalisme yang kita pandang sebagai musuh bersama! Neoliberalisme telah melakukan sekian metemorfosa dalam melakukan penindasan-penghisapan terhadap rakyat, dan oleh karena itu pula mesin berkekuatan besar tersebut tidak mudah untuk dihancurkan. Hal ini tentu pula menjadi tantangan dalam kerja-kerja perubahan yang sedang dan akan terus kita kerjakan. Kiranya tak ada jawaban yang lebih konkrit untuk menjawab tantangan kerja tersebut selain melakukan terobosan aplikatif gagasan NDK sebagai antitesa atas situasi sosial hari ini.
Bersandar atas itu semua, bacaan ini semoga dapat membantu memberikan sebuah gambaran yang menyeluruh atas kerja-kerja organisasi kita ke depan. Di samping itu, begitu banyak percepatan laju gerak kader baik yang berada di dalam lingkup organisasi maupun tidak, menuntut kita untuk segera menemukan penyelarasan kerja di semua lini agar eksperimentasi yang telah dilakukan bisa menjadi suatu kerja-kerja organik yang sedikitnya mampu menjadi langkah kecil kita menuju cita-cita bersama atas pensemestaan Nasional Demokrasi Kerakyatan.
Pemanasan Global (Global Warming) & Model Pembangunan Neoliberalisme
Pemanasan global (global warming) akhir-akhir ini telah mengemuka menjadi isu sentral yang mengemuka di belahan dunia manapun. Selain itu, International Panel On Climate Change (IPCC) memperkirakan, kenaikan suhu bumi antara 0,5-2,0 derajat celcius tiap tahun terjadi peningkatan air laut hingga 10-12 cm, jika pemanasan global tidak ditekan, tahun 2010 air laut akan meninggi sampai 95 cm. Bahkan polusi semakin menggila, apabila karbondioksida (zat sisa pembakaran meningkat dua kali lipat bisa dipastikan temperatur bumi bakal menaik 4,5 derajat celcius. Pemanasan global juga memusnahkan 30 persen satwa dan tumbuhan Indonesia akibat kenaikan suhu 0,2-1 derajat celcius dalam 34 tahun terakhir ini. Tidak dapat diragukan lagi bahwa iklim bumi berubah karena tindakan manusia dan bukan karena sebab alami. Efek Rumah Kaca disebabkan oleh emisi gas-gas rumah kaca (GRK) semacam karbon dioksida, methane dan CFC. Gas-gas tersebut berasal dari dibakarnya bahan bakar fosil dan penebangan hutan. Perubahan seperti ini dapat berdampak drastis. Pola cuaca akan berubah, menyebabkan banjir, kemarau yang panjang dan mungkin musim dingin yang malah lebih dingin lagi di berbagai bagian dunia. Dengan melelehnya gunung-gunung es, laut akan pasang dan akan membanjiri daratan.
Di AS sudah ada gelombang panas yang menewaskan 200 an orang. Di China bagian tengah, Danau Donghu, Wuhan, Provinsi Hubei ribuan ikan seberat 30.000 kilogram mati karena polusi dan cuaca panas (Kompas, Jum’at, 13/07). Dampak ekologis tersebut terjadi akibat industri yang dijalankan sama sekali tidak memerhatikan keseimbangan tatanan struktur alam yang ada sehingga dampaknya pun akhirnya mengakibatkan bencana yang tak terelakkan lagi bagi mahluk hidup lainnya, termasuk manusia.
Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa pola manusia dalam memenuhi tuntutan ekonomisnya tidak bisa dipisahkan dari faktor alam yang melingkupinya. Semuanya memiliki keterkaitan erat antara yang satu dengan yang lain. Keseimbangan ekosistem ternyata turut juga dipengaruhi dari tata cara manusia dalam menjalani kehidupan dengan sekian tuntutannya. Hal ini terbukti dari meningkatnya suhu panas bumi akibat proses industrialisasi yang dijalankan tidak memerhatikan aspek lingkungan.
Pada akhirnya, sudah tidak bisa dihindari lagi bahwa permasalahan pemanasan global akan memberikan dampak masalah yang kompleks mulai dari persoalan ekonomi, lingkungan hidup, bahkan sampai kelestarian spesies mahluk hidup. Namun bila diteliti lebih jauh, fenomena perubahan iklim lebih disebabkan karena kompetensi laju gerak industri negara-negara maju yang membabi buta. Artinya, kampanye atas isu global warming sesungguhnya tidak lain hanya sebuah ketakutan para pemodal internasional akan "krisis" sumber daya alam yang pada nantinya akan mengancam keberadaan industri negara-negara maju itu sendiri dimana industri yang dijalankan tersebut amat sangat bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki negara-negara dunia ketiga.
Artinya, mode produksi kapitalisme yang membabi buta pasca terjadinya revolusi industri telah menyebabkan keseimbangan alam menjadi tidak terjaga. Seiring dengan itu semua, kebutuhan atas industrialisasi telah mendorong perjalanan sejarah peradaban manusia untuk meningkatkan kualitas pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga kemudian dimulailah babak baru baru untuk mencari bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industrinya di negara-negara dunia ketiga.
Pada akhirnya hubungan antara negara-negara maju dengan negara-negara dunia ketiga menciptakan hubungan antara negara pusat dengan negara pinggiran. Hubungan ini sangat tidak adil dalam perkembangannya, karena negara pusat hanya menjadikan negara pinggiran sebagai wilayah yang dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri negara pusat yang ironisnya tidak disertai dengan transformasi tekhnologi. Industrialisasi yang dilakukan negara-neara maju ini terjadi terus menerus membabi buta dengan menjadikan negara dunia ketiga sebagai korban karena sumber daya alam yang harusnya diperuntukkan bagi kemakmuran rakyatnya harus tersedot demi berlangsungnya industrialisasi.
Artinya, permasalahan sesungguhnya yang dihadapi umat manusia saat ini adalah mode prouksi global yang bertumpu pada sektor industri. Industri, sesungguhnya tidak selalu menghasilkan efek buruk bagi masyarakat jika saja industri tersebut berlandaskan kebutuhan masyarakat dan memerhatikan alam sebagai penyedia bahan baku. Akan ettapi praktek industrialisasi yang terjadi di dunia ketiga tidak memerhatikan kondisi yang dialami masyarakat saat ini. Industrialisasi yang berlangsung notabene adalah kepanjangan tangan dari ekonomi neoliberal untuk menghabisi kekuatan ekonomi nasional negara-negara pinggiran