Sebelumya saya ingin bertanya; apa kabar mahasiswa ini hari? Satu pertanyaan awal dari saya ini, tidak usah kalian jawab. Yang perlu dijawab itu adalah pertanyaan yang saya jadikan sebagai judul dari tulisan diatas.
Jika ternyata salah satu dari banyaknya mahasiswa yang akan diwisudakan bulan ini dengan bulan dua belas mendatang, maka teranglah bahwa pasca wisuda (sudah menjadi sarjana) pertanyaan itu tak lagi dianggap penting oleh para wisudawan dan wisudawati. Sebab yang terpenting bagi mereka adalah sudah wisuda dan telah sarjana.
Di salah satu kampus negeri yang berada di makassar sulawesi selatan (tepatnya kampus) UIN Alauddin Makassar (UINAM) dengan rektor barunya (hamdan juanis), akan menggelar 'acara wisuda' untuk para mahasiswanya yang sudah lebih dulu telah mendapatkan gelar sarjana (yudisium). Acara itu akan diadakan di bulan ini dan di bulan desember mendatang.
Perlu diperhatikan bahwa yang menjadi topik inti pembahasan kali ini bukan soal rektor barunya, bukan nama rektornya, dan bukan pula acara wisuda yang akan digelarnya. Tapi yang menjadi topik inti pembahasan adalah tentang keberadaan dan keadaan rill mahasiswa itu sendiri pasca diwisudakannya. Oleh karna itu, saya harap para pembaca tidak terkecoh dengan beberapa objek yang saya siratkan diatas. Pembaca lebih kritis dari penulis bukan?
Berdasarkan kenyataan (realitas) yang terjadi dalam diri mahasiswa yang sudah menjadi sarjana sebelumnya mengalami disorientasi pasca statusnya bukan lagi sebagai seorang mahasiswa. Disorientasi yang saya maksud adalah terletak dari orientasi dari pendidikan itu sendiri. Tentu para pembaca tak lagi asing dengan kalimat 'sarjana pengangguran' atau 'sarjana pulang kampung' bukan?
Senada dengan itu, arah pendidikan yang tidak jelas arahnya mau kemana, akan membuat jalan para sarjana semakin tak jelas arah pula. Akhirnya para sarjana-sarjana itu akan menemukan jalan buntu.
Pilihan sementara bagi mereka adalah cari kerja atau pulang kembali ke kampung halamannya. Mereka yang melamar kerja kesana kemari tanpa henti, tepatkah jika dikatakan bahwa orientasi dari pendidikan itu adalah kerja? Jika memang tepat, pekerjaan apa yang ditawari (dijamin) oleh pendidikan (pergurun tinggi) untuk mahasiswa-mahasiswa yang sudah sarjana?
Karena tidak adanya jaminan pekerjaan dari pemerintah untuk mahasiswa yang sarjana itu akhirnya dengan terpaksa mereka lebih memilih pulang ke kampung halaman saja. Sewalaupun ada juga sebagian yang masih tetap semangat membawa lamaran kerjanya ke tempat-tempat yang membuka lowongan kerja. Akhirnya semua bergantung kepada ekonomi. Iya ekonomi.
Selanjutnya, kartu pra-kerja yang diprogramkan oleh jokowi itu bukanlah kartu yang menjamin terbukanya lapangan kerja dengan seluas-luasnya untuk masyarakat menengah kebawah melainkan ia sekadar kartu untuk melancarkan pemerintah melakukan pembodohan secara massal. Ingat, salah satu titik fokusnya negara (pemerintah) saat ini adalah melakukan investasi secara besar-besaran.
Realisasi dari kartu pra-kerja itu sudah benar-benar terbukti tidak? Nyatanya masih banyak mahasiswa-mahasiswa yang sarjana pengangguran. Inilah salah satu disorientasi yang saya maksud diatas.
Untuk lebih memperjelas pertanyaan dari judul tulisan saya ini, marilah kita membenturkan konsep pendidikan dengan kenyataan yang dirasakan oleh para sarjana pasca wisuda. Satu hal yang paling nyata adanya adalah yaitu bahwa pendidikan itu adalah formalitas masa depan semata.
Realitasnya lebih dari nyata dari segala kebingungan mahasiswa yang sudah menjadi sarjana mau melakukan apa dan mau kemana. Adakah saya keliru?
Yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apakah ada jaminan untuk para sarjana-sarjana itu langsung kerja jika memang orientasi dari pendidikan itu adalah kerja? Secara langsung itu adalah suatu kemustahilan. Tidak salah jika saya harus mempertanyakannya. Mau apa dan mau kemana? Dua pertanyaan yang saya ajukan itu adalah perwakilan dari ribuan banyaknya realitas yang mengalami kerancuan. Siapakah yang membuatnya rancuh?
Sepenggal tanya jawab antara mahasiswa sarjana pendidikan, mahasiswa sarjana ekonomi, dan mahasiswa sarjana hukum. Ketiga-tiganya sudah lama menjadi seorang sarjana;
"Pasca baru-baru wisuda kemarin, kamu langsung kemana?" tanya mahasiswa sarjana pendidikan kepada kedua temannya. "Aku langsung pulang kampung" jawab mahasiswa ekonomi yang pertama.
"Kalau aku sih, ngadain acara syukuran dulu, setelahnya langsung pulang kampung." jawab sarjana hukum yang kedua. "Kalo kamu sendiri, langsung kemana?" giliran sarjana ekonomi bertanya balik kepada sarjana pendidikan. "Aku nggak kemana-mana kok. Aku hanya menunggu kartu pra-kerja yang diprogramkan oleh jokowi terealisasi." jawab sarjana pendidikan dengan nada sendu.
"Ah, ngapain menunggu janji-janji politik. Lebih baik kamu tungguin panggilan reviuwmu dari perusahan kemarin." ujar sarjana hukum menawarkan seketika.
"Benar juga tuh. Iya nih ujung-ujungnya kita mah bicara ekonomi." ungkap sarjana ekonomi melamunkan suasana. "Hmm. Ganti topik deh. Terus, kalian sekarang ngelakuin apa nih?" tiba-tiba sarjana pendidikan mengajukan pertanyaan baru. "Nggak tau nih, nganggur aja mah." jawab sarjana hukum sembari menundukkan kepalanya ke bawah kerikil. "Anjir,,, kita berdua senasib kayaknya sob." ujar sarjana ekonomi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah bangsat,,, kita bertiga benar-benar senasib." ujar sarjana pendidikan dengan murka.
"Terus habis ini, kita mau apa dan mau kemana nih sob? Tanya sarjana hukum segera.
"Nggak tau" jawab sarjana pendidikan dengan sarjana ekonomi serentak sambil sedikit mengangkat kedua bahunya. "Wah sama nih. Lucu yah, kita bertiga pada nggak tau mau apa dan mau kemana. Padahal kita sarjana. Hahaha" ungkap sarjana hukum mengakak.
"Hahaha, sama-sama sarjana pengangguran kita mah. " ketiga-tiganyapun sama-sama mengakak.
Sepenggal percakapan dari ketiga mahasiswa yang sarjana diatas, kiranya dapat dijadikan sebagai gambaran (bukti) dari realitas yang mereka alami. Kita harus membuat penjelasan terkait disorientasi yang acapkali terjadi. Sebab tanpa menjelaskannya, maka sama saja mahasiswa-mahasiswa saat ini sebagai ayam kampus yang terasing dari dalam kandang para induk-induknya.
Selebihnya, point penting yang saya mau sampaikan dalam tulisan ini adalah; Pertama, mahasiswa ditindas lewat regulasi birokrasi dan regulasi para penguasa. Kedua, regulasi tanpa realisasi sama saja basa basi. Ketiga, title sarjana yang dimasukkan dibelakang nama para mahasiswa tidak menjamin ketuntasan dalam menuntaskan segala tuntutan.
Oleh karena itu, yang harus dipertanyakan adalah; kapan tuntas! bukan kapan wisuda. Dengan mendidik mahasiswa dengan pergerakan, maka proses penyadaran itu harus dilakukan. Dengan mendidik birokrasi dengan perlawan, maka perubahan itu harus diciptakan.
Jadilah MAHASISWA, jangan jadi HAMASISWA.
Oleh: Anas Mbojo