Mahasiswa Mengikuti Zaman atau Zaman Mengikuti Mahasiswa

Oleh Bung Anas
"Rakyat tidak butuh angka, mereka perlu aksi nyata".

Seiring berkembangnya zaman maka segala keperluan dan kebutuhan sudah dipenuhi oleh zaman; entah itu berawal dari yang tiada-ada-mengadakan. Zaman lebih cenderung menciptakan sesuatu hal yang baru, Sesuatu yang tak disangka-sangka, tak pernah dipertanyakan, dan tak pernah dibayangkan akan kehadirannya. Maka segala bentuk kebutuhan seseorang serba instan; maka tidak alasan untuk kita tidak belajar dari sesuatu yang diciptakan atau diberikan oleh zaman tersebut.

Pada mulanya Penemuan alat tekhnologi itu merupakan salah satu bentuk perkembangan zaman. Zaman yang dimana dulu cara produksi manusia itu masih primitif hingga kini sudah beralih kepada cara produksi modern yang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan umat manusia pada umumnya.

Zaman kontemporer ini segalanya sudah serba digital dan serba canggih. Kini mahasiswa pun dapat menikmati dan merasakan kecanggihan alat tekhnologi tersebut. Alat tekhnologi kini justru dijadikan sebagai kebutuhan hidup bukan lagi sekedar keperluan hidup. Sehingga mahasiswa pun justru terjebak dalam mengikuti perkembangan zaman dan bukan sebaliknya; karna mereka justru cenderung mengkonsumsi ketimbang memproduksi. Akhirnya mahasiswa diciptakan oleh zaman bukan sebaliknya.

Hadirnya tekhnologi merupakan fenomenal yang paling dahsyat dikalangan mahasiswa; karna dengan memakai tekhnolgi, dengan mengikuti perkembangan zaman, mereka tidak akan diklaim sebagai mahasiswa yang ketertinggalan zaman, mereka justru akan meng-Akukan diri sebagai mahasiswa yang modern. Lewat tekhnolgi mereka justru membanggakan diri bahwa "ohh ini baru mahasiswa modern". Bangga dari hasil produksi orang lain apakah pantas untuk dibanggakan? Sungguh sesuatu yang sangat lucu untuk dibangga-banggakan.

Jika zaman yang mengikuti mahasiswa otomatis tidak ada batasan bagi mahasiswa untuk melakukan resistensi dan justru zaman akan mengikuti kemajuan pergerakan mahasiswa dengan geleng-geleng. Mahasiswa akan lebih menyatakan sikap untuk melawan perkembangan dan tantangan zaman dengan menggunakan tekhnologi sebagai alat propagandis sekaligus sebagai alat untuk menghapus budaya-budaya pembodohan dikalangan mahasiswa dan masyarakat pada umumnya; Tapi jika mahasiswa yang mengikuti zaman maka kemungkinan akan melahirkan generasi hedon, mereka akan berlagak seperti politisi sewalaulun sebenarnya mereka sudah dipolitiki, mereka akan bersikap acuh tak acuh terhadap kondisi yang sedang dihadapinya; Dan pada akhirnya mereka akan0„2 menggeleng-gelengkan kepala seraya tertawa dalam kerancuan dalam cara berpikir yang terkungkung dalam budaya hedonisme.

Iya lewat tekhnologi dapat mempermudah tugas kuliah, bisa vidio call, internetan, karaokean, bigo live, smulean dan lain sebagainya. Apa mereka memiliki otak untuk berpikir? Apa mereka tidah sadar bahwa tekhnologi bisa menumpulkan kesadarannya? Apa mereka rela otaknya dikendalikan dan dibentuk oleh tekhnologi? Percaya diri mahasiswa sudah dimandatkan kepada tekhnologi karna bagi mereka tekhnologi adalah bagian dari dirinya dan mereka tidak bisa hidup tanpanya. Apa mereka menganggap ini adalah sebuah lelucon kemahasiswaan? Mereka tidak ada satupun yang sadar bahwa mereka telah kehilangan identitasnya sebagai kaum intelektual dan kaum terpelajar.

Segala bentuk perkembangan zaman itu ditandai dengan hadirnya alat tekhnologi (formulasi ) baru. Zaman memang selalu menciptakan dan menghadirkan berbagai macam produk dengan secara cepat dan praktis yang akhirnya membuat mahasiswa atau masyarakat pada umumnya terjebak dalam pemahaman konsumtif tingkat tinggi (KTT). Pelipatan ruang yang dilakukan oleh tekhnologi membuat sebagian mahasiswa terhipnotis dan tertidur dari mimpi panjangnya, mereka tidak sadar bahwa polarisasi kehidupannya itu serba dikendalikan dan dikontrol oleh alat tekhnologi. Sehingga yang menidurkan dan membangunkan mahasiswa kini adalah tekhnologi. "Bukanlah tekhnologi yang menciptakan perubahan tapi mahasiswalah yang seharusnya menciptakan perubahan".

Mei 1998 (ORBA) merupakan pelajaran bagi mahasiswa, pemuda, dan rakyat indonesia; bahwa peristiwa militerisme merupakan fenomenil yang paling represif sepanjang sejarah. Lewat sistem otoritarianisme yang dijalankan oleh rezim orde baru itu selama TIGA PULUH DUA TAHUN BERKUASA menciptakan penyelewengan hukum, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Lewat konsep developmentalisme (REPELITA)nya itu masyarakat mengatakan bahwa "SOEHARTO ADALAH BAPAK PEMBANGUNAN". Pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, perampasan, pembungkaman, itu semua merupakan suatu peristiwa yang harus diselesaikan dan segera dituntaskan oleh gerakan perlawanan mahasiswa. Apakah kita dibungkam selama 32 tahun itu tidak membuat mahasiswa dewasa ini sadar? Apakah kita dipreteli selama 32 tahun itu tidak membangkitkan perlawanan mahasiswa? Tentu mahasiswa sudah seharusnya lebih jeli menganalisis dan mempelajari peristiwa 98 itu, dan menyegerakan diri untuk melakukan pembebasan.

Gerakan mahasiswa harus berani melawan tantangan zaman. Mahasiswa harus menciptakan zamannya sendiri dalam proses penyadaran, perlawanan, dan pembebasan oleh kelas tertindas, untuk kelas tertindas, dan dalam konteks ketertindasan masing-masing. "Gengsi bukanlah harga diri mahasiswa". Esensi mahasiswa harus segera dibuktikan dalam bentuk aksi nyata, aksi murni tanpa ada tunggangan, kepentingan, selain kepentingan seluruh rakyat indonesia.

Ketika zaman lewat tekhnologi bisa melakukan pelipatan ruang (cyberspace) maka mahasiswa harus mampu membuka ruang produktifitasnya dan bukan malah menutup ruang; karna menutup ruang merupakan salah satu bentuk budaya monotheisme. Ruang-ruang publik harus dijadikan sebagai obrolan ideologis bukan digunakan sebagai ruang privat. Ketika ruang publik itu tidak mampu diterjemahkan dalam wujud ideolog maka hanya akan melahirkan ruang publik yang di privatisasikan. Inilah yang disebut sebagai generasi fatalis atau manusia satu dimensi (one dimensional man) seperti yang dikatakan oleh marcuse.

Pelarangan berlembaga, pembatasan semester, penyuntilan berekspresi, pembatasan ruang aktivitas, ancaman drop out, ancaman error nilai, itu semua merupakan bentuk pembungkaman hak demokratisasi kampus. Sehingga lewat kebijakan, lewat ancaman, itu jugalah yang membuat kesadaran dan perlawanan sebagian mahasiswa sudah mulai redup. Maka mahasiswa tidak lagi berani untuk melakukan kritikan, tidak lagi berani berpendapat, tidak lagi berani beraspirasi, tidak lagi berani berpartisipasi; karna memang mereka justru lebih cenderung takut akan nilainya error, takut di drop out, takut dengan segala macam ancaman yang diberikan oleh borokrasi kampus. Kamu mahasiswa yang hanya mengejar nilai? Kamu mahasiswa nilai? Kamu pelopor atau pengekor? Ancaman-ancaman itu hanyalah strategi birokrasi untuk bagaimana meniadakan perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa; karna yang mereka (dosen) hanya membawa arogansi akademik, arogansi kampus untuk melanggengkan status quo. Ingat kamu telah musyrik ketika menjadikan dosen sebagai tuhan kedua diruang lingkup pendidikan. "Dosen bukanlah dewa, dan mahasiswa bukan kerbau" (soe hok gie). Mahasiswa layaknya bermulut tapi tak bersuara.

Baca buku jauh lebih berguna ketimbang smartphone, diskusi jauh lebih produktif ketimbang nge-gosip, orasi politik jauh lebih tersadarkan ketimbang karaokean, integritas sosial jauh lebih manusiawi ketimbang bazar, pernyataan sikap jauh lebih kritis ketimbang memilih bungkam, membangun kelompok belajar jauh lebih ideologis ketimbang sentimentil, dan melawan jauh lebih revolusioner.

Ketika mahasiswa mempertanyakan tentang kondisi realitas sosial maka itu bukanlah tindakan (praktek), tapi itu hanyalah gosip belaka. Mahasiswa harus bangkit melawan ketika melihat penyelewengan, ketidakadilan, dan penindasan; jangan merasa bangga, merasa jumawa ketika menjadi pengurus DEMA, pengurus HMJ, karna itu semua hanya akan membuat mahasiswa menjadi penindas baru; karna diruang-ruang seperti itulah dimana politik praktis dilakukan. Sehingga efek dominonya akan menjalar dalam diri sang junior.

Mahasiswa sebagai pelaku perubahan (agent of change) harus lebih jeli untuk menyikapi ketimpangan yang terjadi diruang lingkup pendidikan. Hak protes dan soft protes harus dipertumbuhkan terus untuk menjewantahkan suara-suara badut kolonial itu. Tidak perlu takut nilai, tidak perlu takut drop out, karna sesudah setelah kamu memakai toga maka kamu akan menjadi sarjana pengangguran. Kalau mulut tidak berani untuk bicara, maka biarkan pena berbicara. Maka untuk menghapus budaya pembodohan yang dilakukan oleh si badut kolonial itu, mari sekarang bangkit melawan dengan mendidik mahasiswa dengan pergerakan dan mendidik birokrasi dengan perlawanan.

"Menolak tunduk, Menuntut tanggung jawab".

Nahkoda Baru Fokmad

Jumat(16/02/2018). Anas Fardillah menjadi nakhoda baru FOKMAD setelah memperoleh dukungan suara terbanyak, mengalahkan kandidat kedua Ahmad Kadafi Faisal yang hanya mendapat suara sedikit.

Setelah mendapatkan amanat dari kawan-kawan FOKMAD, Anas bertekad menjalankan agenda-agenda organisasi secara massif lagi.


Selain itu berdasarkan hasil Keputusan KONFERBA (Konferensi Basis) FOKMAD (Forum Komunikasi Mahasiswa Demokrasi) yang ke - 2 menghasilkan beberapa rekomendasi, Yakni: Mengadakan pra-NDK basis, Membentuk Aliansi, Membuat kurikulum baru,Membangun komunikasi, Memasifkan proses pengawalan & pengorganisiran


Dalam orasi politiknya ketua baru berkata."Mendidik Rakyat Dengan Pergerakan Mendidik Birokrasi Dengan Perlawanan". 

Bersatu Kita Bersama


Makna gambar disamping cukup panjang, intinya yaitu merangkul sesama. Merangkul kesulitan yang ada didepan kita untuk dijalani bersama hingga mencapai kemudahan. Tapi, apakah bersama itu ada?
Ada karena memiliki tujuan yang sama atau juga tidak ada karena sikap dan tujuan berindividu terlalu kuat di benak seakan membuat kita berfikir 'sendiri juga bisa.' ya apatis. Meskipun bisa atau bahkan mustahil kata bersama itu, kita harus bisa menjalankannya sebisa dan seimbang mungkin. Tentu saja bersama dan individu tidak bisa di gabungkan menjadi hal yang lancar.
Menjalankan hal yang disebut bersama itu, tidak selalu dengan hal yg serupa secara kompak. Kita punya cara sendiri agar bisa mewujudkan hal yang baik maupun tidak baik, karena sekali lagi bersama, tidak selalu menuju ke positif bahkan bisa saja berujung negatif.
Intinya, yang dimaksud bersama pada tulisan ku kali ini adalah kekeluargaan.
Keluarga datang bukan karena tali persaudaraan yang lahir dari darah keturunan, tetapi keluarga bisa muncul dari kerjama sama, kekompakan yang dilakukan untuk tujuan bersama.
Ya, banyak sekali kata bersama disini. Ketika kita mengucapkan 'bersama', orang pasti tahu kalau yg dimaksud adalah pergerakan yang kuat. Pergarakan besar yang ditempuh dengan kekuatan seadanya. Berbekal kejujuran , keberanian serta tekad yang susah untuk dilebur pergerakan akan susah untuk dihentikan.
Marilah kita berfikir luas bahwa kebersamaan bisa membuat kita mencapai tujuan lebih baik, apalagi dilakukan dengan keadilan demi kebaikan kita semua. Keluarga yang berasal dari kebersamaan akan muncul dari kejujuran yang kita katakan dari awal.
Salam pemuda!
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html